Malang, tugumalang.id– Setiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai bentuk penghormatan kepada Raden Ajeng (R.A.) Kartini, sosok pelopor emansipasi perempuan di Tanah Air.
Perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879 ini dikenal sebagai tokoh yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama akses terhadap pendidikan di masa penjajahan Belanda. Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pemikiran Kartini tentang kesetaraan gender dan pentingnya pendidikan bagi perempuan tetap relevan hingga kini. Berikut tiga fakta menarik tentang Kartini yang mungkin belum banyak diketahui:
1. Sekolah Kartini di Malang, Terinspirasi dari Gagasan Emansipasi
Meski R.A. Kartini tidak secara langsung mendirikan sekolah di Malang, pemikiran progresifnya menjadi landasan berdirinya Sekolah Kartini (Kartini School) pada tahun 1915. Sekolah ini diinisiasi oleh Menteri Pendidikan Belanda, Jacques Henrij Abendanon, melalui Yayasan Kartini yang dikelola oleh keluarga Deventer.
Sekolah ini berlokasi di kawasan Bareng, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Kartini School kemudian berkembang di sejumlah kota lain seperti Surabaya, Yogyakarta, Madiun, dan Cirebon. Bangunan sekolah ini sempat berubah fungsi menjadi Bioskop Kelud, namun kini sudah tidak lagi beroperasi.
Baca juga: Haul Ratu Kalinyamat, Tokoh Perempuan Nusantara yang Terlupakan
2. Lahir dari Keluarga Bangsawan
Kartini berasal dari kalangan bangsawan Jawa. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, adalah seorang patih yang kemudian diangkat menjadi Bupati Jepara. Ibunya, Mas Ajeng Ngasirah, juga berasal dari keluarga terhormat.
Jika ditelusuri lebih jauh, Kartini memiliki garis keturunan dari Sultan Hamengkubuwono VI melalui kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro Adiningrat IV, dan neneknya, Gusti Kanjeng Ratu Ayu.
Baca juga: Peringati Hari Kartini, Kampung Budaya Polowijen Gelar Singhasari Kebangkitan
3. Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang Ikonik
Pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya kepada sahabat pena asal Belanda, J.H. Abendanon, dihimpun dalam buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku ini pertama kali terbit di Belanda pada 1911 dengan judul asli Door Duisternis tot Licht.
Pada 1922, sastrawan Armijn Pane menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia, menjadikannya salah satu karya literasi paling berpengaruh dalam sejarah perjuangan perempuan Indonesia.
Dengan mengenang sosok Kartini, kita diingatkan pentingnya memperjuangkan pendidikan, kesetaraan, dan hak-hak perempuan. Semangat Kartini akan terus hidup dan menginspirasi generasi masa kini.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Bagus Rachmad Saputra
redaktur: jatmiko