Oleh: Dr. KH. Abdurrahman Said, Direktur Pesantren Center Nusantara.
Filosofi Bahtera Keselamatan
Tugumalang.id – Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, disebutkan bahwa nasab merupakan perwujudan dari bahtera keselamatan bagi seluruh keturunan nasab tersebut atau bahkan untuk yang lain.
Nabi menggambarkan bahwa keturunan beliau bagaikan bahtera Nabi Nuh, yaitu sebagai suatu kendaraan yang memang disiapkan oleh Tuhan untuk menyelamatkan umat Nabi Nuh dari amukan azab, yang ternyata tidak semua orang mendapatkan kesempatan atau bahkan bersedia untuk menaiki Bahtera Nuh tersebut sebagaimana yang terjadi pada umat Nabi Nuh.
Dalam satu ayat, konsepsi bahtera ini juga disebutkan, dimana Tuhan berfirman; “dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami ikutkan (alhaqna) anak cucu mereka (di dalam surga) bersama mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thur: 21).
Baca Juga: Bedah Buku Filsafat untuk Pemalas: Tidak Ada Persoalan dalam Filsafat
Assuyuthi dan Ibnu Katsir dalam tafsir mereka, menjelaskan bahwa anak cucu mereka akan bersama mereka dalam surga, bahkan dalam level yang sama, walaupun amal ibadah anak cucu tersebut tidak sama persis jika dibandingkan dengan amal ibadah para pendahulu mereka itu.
Menunjang konsepsi ini, menariknya dalam surat al-Waqiah, ternyata Allah tidak membagi manusia dalam dua kelompok pada hari kiamat, namun justru membagi mereka dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah muqorrobin, mereka ini adalah orang-orang saleh terdahulu atau kita sebut dengan para salaf sholih.
Kelompok yang kedua adalah kelompok abror, maymanah atau ashhabul-yamin, yaitu mereka yang mengikuti kelompok pertama yang sejak dahulu dan sampai sekarang kelompok ini sangat banyak. Baru kemudian kelompok yang ketiga yang berbeda dari dua kelompok sebelumnya, yaitu golongan mas’amah atau ashabul-syimal mereka inilah yang tidak selamat di hari kiamat.
Baca Juga: 7 Buku Filsafat Ditulis dengan Ringan, Cocok untuk Anak Muda
“Dan kamu menjadi tiga golongan, yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan ini, dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu, dan orang-orang yang paling dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu (masuk surga) (sabiqun).” (QS. Al-Waqiah: 7-10).
Kemudian Allah menjelaskan kelompok yang pertama tersebut, yaitu assabiqunal awwalun, yaitu mereka adalah golongan muqorrobun. “Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah), berada dalam surga kenikmatan, Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang sekarang (QS. Al-Waqiah: 11-14).
Sementara golongan yang kedua adalah ashabul maymanah, ashabul yamin atau abrar yang diinformasikan bahwa mereka ini golongan yang besar atau banyak dari orang-orang yang terdahulu dan juga golongan yang besar pula dari orang-orang yang sekarang.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyimpulkan beberapa riwayat bahwa maksud dari golongan-golongan tersebut adalah golongan terdahulu dan golongan yang sekarang dari umat Nabi Muhammad Saw.
Ini sejalan dengan informasi dari Nabi sendiri bahwa umat terbaik adalah orang-orang yang berada di masa beliau, kemudian orang-orang yang hidup setelah itu (yang mengikuti jejak-jejak para salaf sholih sebelumnya) dan demikian seterusnya.
Dalam ayat yang lain, Tuhan menegaskan kembali konsepsi bahtera keselamatan tersebut dalam tubuh umat Nabi Muhammad Saw.
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) (sabiqun awwalun) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah: 100).
Beberapa ayat di atas memberikan indikasi kuat secara simbolis-filosofis; bahwa orang-orang yang hidup setelah generasi awal adalah golongan yang dapat berpotensi untuk mendapatkan previllage yang sama dengan orang-orang yang hidup pada generasi-generasi sebelumnya, dengan cara mengikuti dan melestarikan ajaran dan jejak-jejak mereka. Inilah yang kemudian digambarkan sebagai sebuah bahtera Nuh oleh Nabi.
Belajar dari Bahtera Nuh
Bahwa bahtera keselamatan simbolis-filosofis dari nasab yang digambarkan dari Bahtera Nuh sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, di mana Allah berfirman; “bahwa diantara tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan, dan kami ciptakan juga untuk mereka (angkutan lain) seperti apa yang mereka kendarai.” (QS. Yasin: 41-42).
Ini berarti bahwa selain Bahtera Nuh, Tuhan juga menciptakan bahtera-bahtera lain untuk mengangkut dan atau menyelamatkan manusia beserta anak turunannya, yang secara simbolis-filosofis itu adalah bahtera keselamatan berupa nasab.
Tentu ada banyak sekali bahtera keselamatan simbolis yang bermuara pada manusia-manusia salaf yang saleh, misalnya keturunan Walisongo, keturunan para Ulama, Kyai dan para Wali yang lain di seluruh dunia, bahkan yang bermuara kepada Nabi Muhammad Saw.
Namun dalam kenyataannya, bahtera itu hanyalah bahtera, yang tidak bisa mengangkut dan menyelamatkan setiap orang. Rupanya ada di antara manusia yang justru menolak untuk ikut menaiki bahtera tersebut walaupun sudah mendapatkan informasi yang cukup dan undangan yang jelas, bahkan memiliki ikatan kekeluargaan yang dekat sekalipun.
Sebagaimana yang terjadi pada Bahtera Nuh, bahwa ada salah satu anak biologis dari Nabi Nuh yang justru menolak dengan tegas untuk mengikuti Nabi Nuh menaiki bahtera, walaupun sudah sangat jelas kebenaran informasi dan undangan Nabi Nuh serta fungsi dari bahtera yang dibuat dan disiapkan oleh Nabi Nuh tersebut.
“Dan Nabi Nuh memohon kepada Tuhannya (sambil berkata), ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janjimu itu pasti benar. Engkau adalah Hakim yang paling adil.”
Lalu Allah berfirman “wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepadaku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasehatimu, agar engkau tidak termasuk orang yang bodoh.” (QS. Hud: 45-46).
Jika memang nasab digambarkan oleh Nabi sebagai bahtera keselamatan secara simbolis-filosofis, maka yang penting bukan bahteranya, tapi justru apakah orang yang memiliki nasab tersebut pantas dan layak untuk menaiki bahtera?
Apakah ia mendapatkan undangan dari orang yang memiliki bahtera? apakah kemudian kalau memang benar-benar sudah naik di atas bahtera ia dapat dijamin keselamatannya? Sebagaimana Allah menyatakan; “dan jika Kami menghendaki, Kami tenggelamkan mereka. Maka tidak ada penolong bagi mereka dan tidak pernah mereka diselamatkan.” (QS. Yasin: 43).
Oleh karena itu, belajar dari konsepsi bahtera keselamatan Nabi Nuh; siapapun yang memiliki trah keturunan nasab dengan privilege tertentu yang bermuara pada orang-orang salih bahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Maka ia wajib untuk instropeksi diri; apakah ia layak untuk berada dalam bahtera tersebut? dan kemudian terselamatkan karena dibawa oleh para pendahulunya?
Baca Juga Berita tugumalang.id di Google News
Editor: Herlianto. A