Oleh: Herlianto. A
Tugumalang.id – Suatu hari Samuel P. Huntington, penulis politik hebat, ditanya soal demokrasi. Apa kriteria suatu negara disebut demokratis? Jawaban dia, apabila suatu negara mampu menjalankan Pemilu sebanyak tiga kali dengan damai, maka negara itu boleh disebut demokratis. Jawaban ini yang kemudian disebut demokrasi prosedural, yaitu demokrasi yang diukur dari terpenuhinya ketentuan-ketentuan aturan yang dibuat.
Dalam praktiknya, di kemudian hari ini menjadi bumerang, para pembajak demokrasi justru “berbaju putih” di dalam prosedur tersebut. Bukti paling konkret prosedur demokrasi yang disebut Pemilu itu melahirkan demagog adalah kecurangan dalam Pemilu yang masif tetapi tidak bisa dinilai sebagai kecurangan. Pembaca tanyakan pada banyak pemilih apakah ada bagi-bagi uang (money politics) saat pemilihan, sepertinya 90 persen dari mereka akan menjawab iya.
Tapi, belum ada sejarahnya calon atau kontestan dalam Pemilu, baik Pileg, Pilpres hingga Pilkada, yang didiskualifikasi gara-gara money politics. Ini aneh bin ajaib. Paling mentok yang terjadi hanya pencoblosan ulang (PSU) di TPS, tak lebih.
Inilah kemudian yang melahirkan jenis kriteria demokrasi berikutnya yaitu demokrasi substansial. Demokrasi yang berbasis pada suara hati nurani, bukan suara uang. Demokrasi yang ingin mencapai tujuan sebenarnya dari praktik berpolitik itu sendiri yaitu kecukupan diri dalam kehidupan sosial (autarkheia). Kondisi yang mampu melahirkan pemimpin yang arif, rakyat yang berdaulat, dan keluarga yang sejahtera.
Tetapi mampukah Pemilu melahirkan demokrasi substansial ini? Siapa agen-agennya? Pertanyaan ini sangat krusial di momen menjelang pesta Pilkada pada November 2024 mendatang. Akankah Pilkada sebagai prosedur demokrasi melahirkan demagog atau ratu adil? Dalam konteks politik, agen-agen Pemilu bisa kita sebut partai politik, penyelenggara, lembaga-lembaga swadaya, dan masyarakat pemilih itu sendiri.
Semua elemen tersebut, punya andil besar untuk mendorong pesta demokrasi ke level demokrasi prosedural atau substansial. Kalau mau dibuat hirarkinya, penyelenggara dan partai politik punya kekuatan lebih besar untuk menentukan proses Pemilu, tetapi lembaga swadaya dan masyarakat pemilih sebagai penentu akhir dari proses pemilihan.
Baca Juga: Ternyata Segini Total Kekayaan Calon Wali Kota Batu di Pilkada 2024, Sosok Sang Diva jadi Calon Terkaya
Ibarat pasar, yang pertama adalah penjualnya sementara yang kedua adalah pembelinya. Penjual boleh saja menjual barang yang “terlihat bagus” tetapi pembeli boleh saja tidak membelinya. Ini yang barangkali seharusnya terjadi dalam Pilkada (das sollen) tetapi tampaknya yang terjadi saat momen pencoblosan (das sain) masyarakat justru menjadi penjual dalam hal ini penjual suara, sementara parpol dan penyelenggara menjadi pembelinya.
Anomali demokrasi inilah yang melahirkan kutukan pada demokrasi sejak zaman peradaban Yunani Klasik, di mana ide demokrasi itu pertama kali muncul. Kutukan itu datang dari tokoh sekaliber Platon. Dia bilang demokrasi akan tergelincir menjadi timokrasi dan selanjutnya ke oligarki.
Apa itu? Yaitu beking-beking pengusaha di balik setiap kontestan Pilkada yang siap membiayai pembelian suara pemilih dengan konsesi yang macam-macam yang paling rasional adalah mengamankan bisnis sang pengusaha.
Secara nasional, kita sebut berbagai nama “naga”, di politik lokal ada juga nama naga-naga juga di mana politisi lokal datang cium tangan dan pulang bawa koper. Ini yang membuat demokrasi “dibungkus” oleh para oligarki.
Dalam keadaan demikian pemilih selalu dirugikan, karena yang lahir nanti adalah para koruptor yang siap-siap mengembalikan modal yang dihabiskan saat Pilkada. Kita bisa membaca data berapa jumlah koruptor level gubernur dan kota/kabupaten yang terseret dalam kasus korupsi.
Bahkan “yang gokil” dalam bahasa Gen Z, beberapa dewan terpilih di tahun 2024 berlomba menggadaikan SK dewannya untuk dapat pinjaman uang, ini termasuk terjadi di Kota Malang sendiri. Suatu fakta yang tak bisa dibohongi bahwa kontestasi demokrasi butuh modal yang tidak sedikit. Peluang inilah yang ditangani dengan dengan baik oleh para oligarki.
Baca Juga: Insiden Penembakan Donald Trump Saat Pidato Kampanye, Jadi Catatan Kelam Demokrasi Amerika Serikat
Lalu, siapa kemudian yang bisa memutus mata rantai lingkaran setan kejahatan Pemilu ini? Sebetulnya semua agen demokrasi bisa saja melakukannya, tetapi pemilih menurut saya memiliki peluang lebih besar, karena dalam demokrasi prosedural-elektoral ini suara pemilih menjadi sangat berarti, bahkan segalanya
Pemilih mungkin saja mengambil jarak untuk tidak menjual suaranya dengan berapapun besarnya serangan fajar yang diberikan, dengan logika bahwa pemimpin yang lahir dari proses yang tidak demokratis justru akan menjadi petaka bagi dirinya dan orang banyak.
Demikian, fakta demokrasi nasional maupun lokal. Kita sebagai warga tetap berharap pesta demokrasi bisa melahirkan pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat. Pemimpin yang tidak banyak sowan ke oligarki, tetapi pemimpin yang mendengarkan jerih-rintih warganya yang miskin, lalu mewujudkan cita-cita bernegera di kehidupan mereka. Semoga ini bukan ilusi.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Tugumalang.id