Oleh: Khoiron As_Saidany*
Tugumalang.id – Sejak ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional tahun 2015, bulan Oktober seolah menjadi bulannya para santri se-nusantara. Tentu tidaklah berlebihan jika semua santri menyambutnya dengan penuh gegap gempita.
Tulisan ini bukan bermaksud memberikan resep, atau obat dari penyakit kronis yang akhir-akhir ini melanda dunia kepesantrenan seperti kasus-kasus kejahatan yang melibatkan oknum kiai atau ustadz yang terjadi di lingkungan pesantren, namun tulisan ini ingin mengajak kembali kepada para pembaca untuk mendalami atau menghayati bahwa pesantren adalah ekosistem tata nilai yang seharusnya kita artikulasikan ke-dalam sikap dan perilaku positif demi kemajuan bangsa dan negara.
Baca Juga: Upaya Penuh Cinta Kasih
Perlu kita ketahui bahwa, sejak Islam masuk di Indonesia, pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan yang genuine atau asli dalam sejarah pendidikan Indonesia. Sebab, sebelum ada sekolah-sekolah formal, para kiai di nusantara telah cukup lama mendidik para santrinya untuk ber-tafaqquh fiddin atau mendalami ilmu agama.
Dalam pandangan cendekiawan Muslim Nurchalis Madjid, jika saja bangsa Indonesia tidak terpengaruh dengan pendidikan kolonialisme, sangat mungkin hari ini kita bisa menyaksikan kampus-kampus top dalam negeri yang berbasis pondok pesantren seperti Universitas Termas di Pacitan, Universitas Lirboyo Kediri, Universitas Tebu Ireng dan Tambak Beras di Jombang dan lain-lain yang sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia.
Sebagai pendidikan asli Indonesia, tentu pesantren telah banyak mencetak intelektual yang secara keilmuan terjaga reputasinya. Sebab, terdapat semacam intellectual chains atau rantai keintelektualan yang tidak terputus, karena diantara satu kiai dengan kiai lainnya bersambung keilmuannya.
Dengan kata lain, keterikatan jaringan dalam intellectual chains yang dikenal dalam terminologi pesantren disebut “sanad” adalah wujud dari pada reputasi keilmuan dari generasi satu kegenarasi berikutnya.
Baca Juga: Krisis Keteladanan Para Elit
Sebagai lembaga pendidikan, terdapat beberapa tradisi dalam penerpaan ilmu antara lain metode bahsul masa’il, bandongan, sorogan dan lalaran. Metode bahsul mas’ail sendiri memiliki kedudukan penting di NU, sebab selain sebagai forum atau arena pergulatan keintelektualan, juga dalam rangka memberi status hukum terhadap persoalan keagamaan sehari-hari yang menjadi polemik di masyarakat.
Caranya adalah setiap pesantren (biasanya satu wilayah, atau di luar wilayah) akan mendelegasikan 3 sampai 4 santri senior pesantren yang cukup di dalam memahami kitab-kitab al muktabaroh, dan tidak sedikit terjadi deadlock (mauquf), atau tidak ada kesepakatan kolektif dari para peserta atas persoalan tertentu.
Metode bandongan terbentuk ketika sekelompok santri duduk mengelilingi sang kiai yang sedang membaca dan menjelaskan naskah-naskah atau kitab. Metode ini menjadi metode yang banyak dilakakukan di pesantren. Berbeda dengan bandongan, metode sorogan justru sang kiai yang mendengarkan bacaan dan penjelasan dari setiap santri secara bergantian.
Adapun metode lalaran, merupakan metode yang independen dan bertujuan untuk meningkatkan hafalan materi, pemahaman, dan penjelasan atas suatu ilmu yang dilakukan secara individual.
Pendidikan di pesantren tidak hanya identik dengan keislaman saja, tetapi juga terdapat makna keaslian Indonesia dimana terdapat tradisi yang dimiliki dan menjadi ciri khas. Lebih jelasnya, kita bisa melihat praktik kehidupannya yang cukup berbeda dengan kalangan masyarakat di luar pesantren yang oleh Gus Dur kemudian disebut sebagai ‘sub-kultur’.
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid (2001), sub-kultur itu ditandai dengan pola kehidupannya yang berbeda, juga berlangsung proses pembentukan tata-nilai dan menjadi alternatif ideal bagi sikap dan perilaku hidup. Dalam arti, terdapat tata nilai atau sistem nilai tersendiri yang berbeda dengan sistem nilai masyarakat pada umumnya.
Sebagai contoh, di pesantren terdapat beberapa nilai utama (the main value) seperti semua hal dimaknai sebagai ibadah, mencintai ilmu dan keikhlasan. Tata nilai atau nilai utama tersebut kemudian diartikulasikan pada seluruh aktivitas para santri dimana praktik ideal kehidupan mereka adalah mengorientasikan aktivitas keduniawian ke-dalam suatu tatanan nilai ilahiyah (transenden), termasuk keyakinan mereka pada barokah adalah keyakinan/kepercayaan yang kuat dalam tradisi pesantren.
Pesantren mempunyai sistem pendidikan yang otonom, dimana wewenang dan kekuasaan pendidikan berada pada kekuasaan kiai. Kiai juga menjadi pembimbing utama terutama dalam sistem pengkajian kitab-kitab keagamaan.
Di dalam tradisi pesantren, kiai tidak hanya berperan sebagai seorang guru, namun juga menjadi pembimbing spiritual baik di kalangan pesantren dan juga masyarakat umum. Lebih dari itu, di era demokrasi seperti sekarang ini, para pejabat, aktor politik dan masyarakat umum tidak sedikit yang bertumpu pada fatwa atau legitimasi kiai, karena ia tidak hanya mempunyai kedalaman pengetahuan agama, namun juga mempunyai pengikut yang banyak sebagai elit agama. Di dalam posisi seperti inilah, kiai adalah aktor startegis di tengah masyarakat.
Semua keilmuan dalam tradisi pesantren bersifat aplikatif, dan harus dilakukan dalam kehidupan para santri sehari-hari mereka. Para santri mencontoh bagaimana sikap, perilaku dan pandangan hidup sang kiai dalam kehidupan sehari-harinya, baik di lingkungan pesantren, lebih-lebih di lingkungan masyarakat luas.
Selama ini, kiai dipersepsikan sebagai pribadi yang saleh, mempunyai kelebihan yang berbeda dengan masyarakat umum, dan dianggap sosok yang sangat dekat dengan Tuhan. Sosok kiai kemudian dianggap orang suci, dan sebuah entitas yang merupakan kelompok elit dalam struktur sosial, politik, ekonomi masyarakat Indonesia.
Dari sini, tidak berlebihan jika kemudian para kontestan dalam politik melakukan safari atau silaturahmi kepada para kiai demi mendapatkan dampak elektoral yang mereka inginkan.
Melalui berbagai macam penempaan ilmu di lingkungan pesantren di atas, kita semua berharap para santri baik yang masih dalam lingkungan pesantren atau telah menjadi masyarakat umum bisa mengartikulasikan tata nilai ke-dalam wujud sikap dan perilaku yang mencerminkan sikap kesederhanaan dan kemandirian.
Dari sikap dan perilaku positif inilah, kontribusi dan relevansi pesantren sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia dapat dirasakan oleh masyarakat luas.
***
Rubrik catatan ini disupport oleh Toko Buku Togamas. Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh tentang Togamas atau ingin mendapatkan buku-buku berkualitas, langsung saja KLIK INI YA. Tetapi bila Anda ingin bekerja sama dengan Togamas dalam berbagai bidang literasi lainnya, bisa langsung kontak ke sini ya: +62 851-7549-0109.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
*Penulis adalah alumni PP. MUS Sarang Rembang sekaligus Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Malang
Editor: Herlianto. A