MALANG – Desa Purwodadi, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang ternyata tidak hanya menyimpan keindahan panorama pantai Wedi Awu, Pantai Lenggoksono, Pantai Wedi Putih, hingga Air Terjun Banyu Anjlok saja. Ternyata desa ini menyimpan sejarah perkembangan budaya jaranan yang terus berusaha dilestarikan warganya.
Ketua Kelompok Jaranan Turonggo Satrio Budoyo, Mukhlis, menceritakan bahwa perkembangan jaranan di desanya bermula sejak berdirinya Desa Purwodadi pada 1940.
“Sejarahnya itu Desa Purwodadi berdiri sekitar tahun 1940, sebelum kemerdekaan. Dulu di sini dikenal sebagai daerah persembunyian gerilyawan. Dan di buku sejarah desa ada seperti itu,” terangnya saat dikonfirmasi tugumalang.id pada Rabu (16/06/2021).
Ia menceritakan bahwa sejak awal pembukaan Desa Purwodadi sidah banyak pendatang dari Ponorogo, Blitar, Tulungagung, sampai Trenggalek.
“Justru yang dari Malang tidak terlalu banyak. Bahkan, salah satu tetua desa yang bernama Mbah Siti itu berasal dari Ponorogo. Makanya ada jaranan dan reog itu karena para pendatang ini,” ungkapnya.
Salah satu kelompok seni jaranan tertua di Desa Purwodadi lahir di tahun 1970an bernama Jaranan Karya Bakti. Mukhlis sebelum mendirikan Kelompok Jaranan Turonggo Satrio Budoyo, ia bergabung dalam kelompok ini.
“Kita dulunya iuran untuk membeli alat-alat sederhana. Dari tahun 1970 sampai 2019 itu jatuh bangun,” kenangnya.
“Jaranan dan reog ini biasanya ada ketika event larung sesaji yang diadakan setiap 15 Suro. Jadi kita memiliki tradisi larung sesaji yang diiringi kesenian tradisional yang ada,” sambungnya.
Pria yang juga guru SDN Purwodadi 3 ini mengatakan jika kesenian reog masoh ada, sementara kesenian ludruk sudah punah. Sementara untuk jaranan masih berusaha dibangkitkan kembali.
“Lalu sekitar 2 tahun yang lalu kita berinisiatif membangkitkan kembali kesenian jaranan dengan nama Turonggo Satrio Budoyo. Seperti tradisi untuk membangkitkan jaranan iita lakukan gebyakan (pementasan) sebanyak 7 kali dan disepakati setiap hari tertentu. Gebyakan ini seperti ujian, kalau bisa melewati 7 kali rutin artinya itu sukses,” ungkapnya.
“Akhirnya kita berhasil melewati itu dan akhirnya bisa seperti kejayaan dulu di tahun 1980-1990 dimana dulu ada 3-4 kelompok jaranan,” imbuhnya.
Ternyata, kebangkitan Turonggo Satrio Budoyo ini merangsang kelompok-kelompok jaranan lain untuk ikut bangkit. Ia juga mengatakan jika semua kelompok jaranan yang akan bangkit ini pendanaannya secara swadaya.
“Misalnya muncul kelompok Turonggo Magyojoyo yang rencananya akan mulai gebyakan. Akhirnya kita sepakat untuk melestarikan budaya,” ucapnya sambil tersenyum.
Mukhlis menceritakan untuk para pemainnya ada yang merupakan pemain lama yang dikombinasikan anak-anak muda.
“Setiap kelompok biasanya ada 60 sampai 70 orang, kalau di Turonggo Satrio Budoyo sekitar 60 orang. Di Kita ada mulai dari penari usia SD, SMP, SMA, bahkan ada yang dewasa. Dan yang dilatihkan mulai dari Pegon Klasik sama karawitan,” tuturnya.
“Dan yang membedakan dengan jaranan lain itu kita tidak ada kesurupan, karena kita murni seni tari. Kita juga memakai konsep panggung, atau memakai konsep sendratari, kalau dibuat kesurupan bisa ambruk panggungnya,” tambahnya.
Selain itu, ternyata Mukhlis juga mengikutsertakan latihan jaranan ini dengan paket wisata di Desa Wisata Purwodadi.
“Kita latihan seminggu 3 kali, bahkan kita paketkan dengan wisatawan yang menginap. Kita kerjasamakan drngan Pokdarwis Bowele untuk wisatawan yang menginap kita kasih paket belajar kuda lumping, gamelan, dan karawitan. Wisatawan ini ada yang dari Amerika, Jerman, Spanyol, dan negara Eropa lainnya,” bebernya.
Terakhir, Mukhlis mengatakan jika saat ini jaranan di Desa Purwodadi masih terkendala Pandemi COVID-19 yang membatasi kegiatan mereka.
“Saat ini untuk event di luar desa belum, karena kita bangkit setahun langsung krna pandemi. Jadi sebenarnya sudah ada pementasan di luar desa, akhirnya dicancel karena adanya pandemi itu. Kita sebenarnya ada pementasan di Pakisaji hingga Kota Blitar karena pandemi. Di sini (dalam desa) sebenarnya sempat tersendat juga karena pandemi,” tuturnya.
“Sekarang kalau event sudah mulai berjalan tapi sifatnya lokalan, jadi sifatnya latihan rutin drngan yang hadir orang lokal,” pungkasnya.