Tugumalang.id – Peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara oleh Presiden RI Prabowo Subianto menuai pro kontra dari berbagai pihak. Menyoal ini, pakar ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang (UB Malang) turut angkat bicara.
Menurut Pakar Ilmu Ekonomu UB, Dr.rer.pol. Wildan Syafitri, S.E., M.E., Danantara pada dasarnya adalah holding untuk mengkoordinasi, juga mengumpulkan dana-dana yang bersumber dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tanpa kontribusi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca Juga: Kenaikan Gaji Guru, Investasi Strategis Indonesia Berintegritas?
”Danantara menjadi salah satu upaya untuk tidak menggunakan APBN, sumber-sumbernya dari keuntungan BUMN dalam sektor manufaktur, Telkom, kemudian juga beberapa bank yang ikut terlibat,” kata dia, Selasa (29/4/2025).
Namun banyak pihak mengkhawatirkan terkait keterlibatan bank negara dalam proyek ini. Wildan bilang jika sebenarnya bank itu sudah punya ekosistem perbankan yang pruden, hal itu tidak diperlukan.
”Karena di bank itu ada Capital Education Ratio, bank tidak boleh meminjamkan kredit lebih besar dari rasio yang ditetapkan. Jadi, asalkan itu tetap dijaga ya sebenarnya aman,” kata Wildan.
Baca Juga: Pesan Pj Wali Kota Batu Buat Investor: Silahkan Investasi Tapi Tetap Jaga Alam
Dia juga menambahkan bahwa posisi Danantara sebagai lembaga baru justru berpotensi akan mendatangkan beberapa keraguan bagi para investor. Kepercayaan masyarakat itu penting, juga integritas dari pengelola juga menjadi kunci.
”Jadi, mereka berintegritas, masyarakat percaya, tentunya banyak investor yang akan tertarik,” kata Wildan.
Menurutnya, pembuktian Danantara ini harus dilakukan melalui proyek-proyeknya yang menguntungkan, tentunya juga cost recovery. Nantinya, investasi ini nanti bisa digunakan lebih banyak untuk infrastruktur karena infrastruktur kita kurang.
”Tapi kalau menurut saya, tak hanya infrastruktur, tetapi juga investasi sumber daya. Danantara itu juga bisa digunakan untuk berinvestasi kepada SDM (Sumber Daya Manusia), membiayai beasiswa, penelitian, atau riset. Karena kalau kita ingin investasi kita unggul, alokasi anggaran riset development itu harus tinggi,” ujarnya.
Selain itu Wildan menambahkan pentingnya lembaga pengawas investasi. Ini mengingat nasyarakat tidak bisa mengawasi sendiri.
Bisa Dewan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), atau lembaga yang sudah ada sekarang misalnya seperti Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK).
Sementara, Pakar Komunikasi Politik UB, Dr. Verdy Firmantoro, S.I.Kom., M.I.Kom., lebih menyoroti pada respon negatif masyarakat. Hal ini sangat bisa dipahami karena momentum peluncuran Danantara dianggap kurang tepat.
“Danantara menuai polemik itu karena muncul di saat publik menaruh perhatian tentang korupsi di berbagai instansi, efisiensi anggaran di banyak sektor, termasuk tenaga kerja yang di PHK besar-besaran,” ujar Verdy.
Verdy juga menyatakan kekhawatiran terkait figur-figur yang ada dibalik Danantara. Menurut dia, orang-orang di baliknya itu cenderung memiliki relasi kuasa, baik dengan elit politik ataupun elit bisnis,
“Kita harus melihat di balik proyek itu siapa saja, harus dipastikan integritasnya, harus klir. Karena kalau ada konflik kepentingan, maka itu yang akan membuat masyarakat menjadi distrust,” tambahnya.
Keterlibatan publik juga patut digarisbawahi, pengadaan proyek sebesar ini harus melibatkan masyarakat. Menurut Verdy, komunikasi kepada publik yang minim dan terkesan elitis membuat persepsi masyarakat cenderung negatif.
Sebaiknya, pemerintah terutama Danantara harus merangkul dan mengajak bahkan mendengar masukan masyarakat.
Partisipasi masyarakat Indonesia untuk mengawasi jalannya Danantara menjadi hal yang penting.
“Jangan sampai niat baik disalahpahami oleh masyarakat. Masyarakat harus dilibatkan dalam konsultasi publik pada saat merumuskan kebijakan. Perlu ada transparansi. Jadi, jangan sampai sebuah kebijakan itu lahir tanpa proses konsultasi publik dan partisipasi dari masyarakat yang utuh,” kata Verdy.
Ia berharap Danantara tidak menjadi alat bancakan korupsi. Jika itu terjadi, bukan hanya kepercayaan publik yang hancur, tetapi juga akan menciptakan mega krisis di tengah upaya pemerintah membangun citra dan reputasi.
”Jadi, orkestrasi komunikasi publik harus dikelola dengan agar terhindar dari blunder dan resistensi. Selain itu, menjaga marwah institusi pengelola dana publik harus menjadi pondasi utama yang tidak bisa ditawar,” tegasnya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter : M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A