Tugumalang.id – Sosok Mohammad Tabrani sangatlah penting dalam sejarah gerakan pemuda di era kemerdekaan. Atas jasanya, tokoh Jong Java asal asal Madura Jawa Timur ini menjadi salah satu nama yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada momen peringatan Hari Pahlawan Nasional 2023.
Nama Tabrani ditetapkan bersamaan dengan nama pahlawan lainnya, yakni Ida Dewa Agung Jambe (Bali), Bantaha Santiago (Sulawesi Utara), Ratu Kalinyamat (Jawa Tengah), K.H. Abdul Chalim (Jawa Barat) dan K.H Ahmad Hanafiah (Lampung).
Lantas, seperti apa sosok dan profil dari Mohammad Tabrani? Berikut ini kisah perjalanan hidup, perjuangan dan kontribusinya bagi bangsa Indonesia.
Baca Juga: Abdul Manan Wijaya, Pahlawan Nasional Asli Malang yang Ahli Strategi Perang
Riwayat Hidup Mohammad Tabrani
Nama lengkapnya adalah Mohammad Tabrani Soerjowitjirto yang kemudian disingkat menjadi M. Tabrani S. Pria kelahiran Pamekasa, 10 Oktober 1904, ini adalah seorang politikus muda sekaligus jurnalis yang memberi pengaruh besar pada penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Lahir dari pasangan R Pandji Soeradi Soerowitjitro dan R Ayu Siti Aminah, Tabrani kecil menghabiskan masa kecilnya dengan bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Surabaya karena pada masa itu, di Madura belum terdapat MULO.
Dikemudian hari, Tabrani pulang kampung dan mendirikan Neutrale MULO sehingga anak-anak Madura tak perlu jauh-jauh ke Surabaya usai lulus dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS).

MULO merupakan sebutan bagi pendidikan dasar atau sekolah menengah pertama yang masuk dalam program pendidikan dasar 9 tahun. Usai bersekolah di Surabaya, Tabrani melanjutkan pendidikan ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren atau OSVIA yang ada Bandung.
OSVIA merupakan sekolah khusus bagi pribumi yang nantinya diproyeksikan menjadi pegawai negeri sipil. Sekolah untuk calon pegawai bumiputra ini dikemudian hari kita kenal dengan nama Institut Pemerintahan Dalam Negeri atau IPDN.
Baca Juga: KH Masjkur, Pahlawan Nasional Asal Malang yang Sempat Jadi Menteri di Era Kemerdekaan
Jejak Karir Tabrani Sebagai Jurnalis
Mengutip catatan Soebagijo I.N (1981) dalam karyanya berjudul “Jagat Wartawan Indonesia”, minat jurnalistik Tabrani mulai muncul usai ia menamatkan sekolahnya di OSVIA pada 1925. Kala itu, ia sudah memimpin Harian Baroe.
Setelahnya, saat ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Köln di Eropa, Tabrani masih berkontribusi dan membantu surat kabar Indonesia selama periode 1926 hingga 1930. Di Eropa, Tabrani menempuh pendidikan Ilmu Jurnalistik yang kala itu tak terlalu populer dan hanya ada beberapa orang, seperti Djamaluddin Adinegoro dan Jusuf Jahja
Sosok Mohammad Tabrani memang lekat dengan dunia jurnalistik. Usai menamatkan pendidikan dan kembali ke tanah air, karir Tabrani sebagai jurnalis dan redaksi media terus menanjak. Ia pun dipercaya menjadi pimpinan majalah Reveu Politik Jakarta pada 1930 hingga 1932.
Setelahnya, pada 1932 hingga 1933, Tabrani memimpin media Sekolah Kita yang ada di Pamekasan. Lalu ia juga memimpin redaksi di Harian Pemandangan dan Mingguan Pembangoenan.
Kala itu, melalui harian Pemandangan, Tabrani memperjuangkan dan menyuarakan Petisi Sutardjo. Yang mana berisi tuntutan pada Hindia Belanda untuk memberi kesempatan rakyat Indonesia membentuk parlemennya sendiri pada 1936.
Tabrani menjadi pemimpin majalah Reveu Politik di Jakarta dari tahun 1930 hingga 1932, pemimpin surat kabar Sekolah Kita di Pamekasan dari tahun 1932-1936, dan menjadi direktur sekaligus pemimpin Harian Pemandangan dan Mingguan Pembangoenan.
Di Harian Pemandangan, Tabrani pun menjabat sebagai pemimpin redaksi selama dua periode. Mulai Juli 1936 hingga Oktober 1940 dan Juli 1951 hingga April 1952. Ia pun sempat bergabung dengan bagian jurnalistik Dinas Penerangan Pemerintah. Kiprahnya membuat Tabrani juga dipercaya sebagai ketua umum Persatuan Djurnalis Indonesia atau PERDI pada 1939 hingga 1940.
Beda Pendapat dengan Moh Yamin, Tabrani Usulkan Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Nasional
Jejak perjuangan dan sosok Mohammad Tabrani tak hanya dikenal sebagai jurnalis. Namun juga berdiri di barisan organisasi kepemudaan. Terbukti dengan dipercayanya Tabrani menjadi Ketua Kongres Pemuda 1 yang berlangsung di Loge Ster in Het Oosten atau Lojo Bintang Timur Batavia pada 30 April hingga 2 Mei 1926.
Salah satu momen paling terkenal adalah saat Tabrani berbeda pendapat dengan Mohammad Yamin pada kongres pemuda pertama tersebut. Dalam laman Kemdikbud, disebutkan bahwa Mohammad Yamin sempat naik pitam karena Tabrani menolak butir ketiga pidato Yamin yang berisi “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu”.
Alasannya, karena bahasa Melayu lebih merujuk pada salah satu suku bangsa di Nusantara. Ia mencontohkan bahasa Melayu Riau atau bahasa Mardiken yang juga digunakan oleh kolonial Portugis dan Belanda. Menurut Tabrani, harusnya bahasa persatuan adalah bahasa nasional yang dapat digunakan dan dituturkan oleh masyarakat dari Aceh hingga Papua.
Sebagai ketua kongres, Tabrani berpendapat bahwa bahasa persatuan harusnya menggunakan Bahasa Indonesia, bukan Melayu. Perbedaan pendapat ini bahkan membuat pengambilan keputusan ditunda hingga tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian dikenal sebagai ikrar sumpah pemuda. Dimana akhirnya Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa persatuan.
Tabrani pun wafat pada 12 Januari 1984 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Atasa jasanya, ia dianugerahi tanda jasa perintis kemerdekaan. Hingga pada Jumat, 10 November 2023 ia mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. Demikianlah sosok Mohammad Tabrani patut menjadi teladan bagi generasi muda.
Penulis: Imam A. Hanifah
Editor: Herlianto. A