MALANG, Tugumalang.id – Kelompok Studi Budaya Ananta Malang mengajak komunitas Akar Tuli menonton film bareng. Kegiatan yang dikemas seperti nonton layar tancep bertajuk ‘Sinema Bergerak’ ini digelar di Dewan Kesenian Malang pada Minggu (9/4/2023) malam.
Kegiatan nobar ini bertujuan agar karya film juga dapat diakses oleh semua orang, tanpa terkecuali, dalam hal ini Komunitas Tuli. Kebanyakan karya sinematografi di Indonesia masih tidak menyertakan subtitle atau terjemahan bahasa pada filmnya.
Padahal, minat menonton film dari para Tuli juga tinggi. Seperti dikatakan Ketua Akar Tuli Malang, Muhammad Arsa Alamsyah yang juga merupakan pecinta film, bahwa sebagian besar film Indonesia tidak ramah bagi penyandang disabilitas.
Sebab itu, untuk menyalurkan minat menontonnya, Arsya lebih memilih menonton film luar negeri karena disertai teks percakapannya. ”Itu yang membuat teman-teman akhirnya lebih memilih film luar negeri karena ada terjemahan bahasanya di sana,” ungkap Arsya usai nobar.
Dalam pemutaran film malam itu memutar 2 film yang memang mengakomodir kebutuhan khusus untuk penyandang disabilitas. Menggunakan ASL (American Sign Languages). Kedua film itu berjudul Lagi-Lagi Ateng karya Monty Tiwa dan Mekkah I’m Coming karya Jeihan Angga.
”Ya akhirnya ada film Indonesia yang kayak begini. Rasanya campur aduk setelah melihat filmnya. Lucu. Alurnya runtut dan tentunya bisa dinikmati sama teman-teman tuli,” ungkap Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang ini.
Ketua Kelompok Studi Budaya Ananta, Bima Brahmana menuturkan jika terselenggaranya nobar film itu juga berkat kolaborasi dengan Akar Tuli dan Dewan Kesenian Malang bersama Kemendikbud dan Kemenkeu RI.
”Dari nobar film ini kita belajar bahwa kesenian juga berhak dinikmati oleh siapapun tanpa terkecuali. Harapannya memang film di Indonesia juga sudah harus mengakomodir penyandang disabilitas,” tutur Bima.
Ke depan, pihaknya akan menjalin kolaborasi lintas komunitas untuk menggairahkan industri film lokal di Malang Raya. Mereka masih akan menggelar pemutaran film di 6 titik lainnya. Jika kegiatan ini rutin digelar, maka kesempatan sineas lokal agar karyanya dinikmati publik semakin luas.
Sementara itu, Ketua Dewan Kesenian Malang (DKM), Dimas Novib Septinov menuturkan dalam kegiatan itu memang merupakan dorongan kepada penyandang disabilitas untuk juga aktif berkegiatan.
Sebab itulah dalam kerja bareng itu juga melibatkan penyandang tuli. Dengan begitu, nilai universal karya seni harus bisa diakses oleh siapapun. Jangan sampai ada satu kelompok yang tidak bisa mengakses film.
”Kemarin itu kami tidak hanya mengundang difabel tuli saja, tapi juga yang lain. Hanya saja karena memang kendala, akhirnya hanya komunitas tuli yang bisa datang,” ungkapnya.
Reporter: Ulul Azmy
editor: jatmiko