MALANG, Tugumalang – Seribu seniman Jaranan mengguncang bundaran Alun-alun Tugu Kota Malang. Para seniman itu membuat decak kagum para penonton saat tampil serentak dalam ‘Gelaran Agung Jaranan Malang Raya pada Minggu (11/12/2022).
Dalam gelaran seni budaya itu, mereka menampilkan kesenian khas Jawa mulai Jaranan Dor Kidalan, Bantengan hingga Reog Ponorogo. Mereka tampil serentak mengitari bundaran Alun Alun Tugu Kota Malang. Ribuan penonton juga tampak memadati lokasi itu.
Ketua Pelaksana Gelaran Agung Jaranan Malang Raya, Ratmoko mengatakan bahwa kegiatan ini sekaligus sebagai ajang silaturahmi dan persatuan ratusan grup kesenian Jaranan di Malang Raya.
Menurutnya, Jaranan merupakan kesenian yang pernah digunakan para wali sebagai media dakwah dalam menyebarkan ajaran Islam. Untuk itu, kegiatan ini juga sebagai wadah merawat warisan peninggalan leluhur.
“Jaranan itu ajaran kebenaran. Dulu Jaranan ini sebagai media dakwah oleh para wali untuk mempererat persatuan, kerukunan dan toleransi,” ucapnya.
Sementara itu, Jaran Dor Kidalan sendiri berasal dari Jaran Dor Desa Kidal yang berkaitan erat dengan kerajaan Singhasari. Tepatnya Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.
Desa Kidal yang ada sejak tahun 1200-an merupakan saksi bisu lahir dan berkembangnya kesenian khas Malang tersebut. Jaranan yang disimbolkan sebagai kuda itu konon merupakan kendaraan Raja Anusapati saat sedang singgah di Desa Kidal. Seiring berjalannya waktu, Jaranan dikembangkan menjadi kesenian rakyat.
“Jadi berawal pada tahun sekitar 1200-an itu. Dulunya menjadi tempat istirahat Raja Anusapati di Desa Kidal dan munculah kesenian Jaranan,” bebernya.
Melalui kegiatan Gelaran Agung Jaranan Malang Raya ini, dia berharap seni budaya asal Jawa ini tetap bisa lestari. Sebab menurutnya, setiap kesenian memiliki historis dan sejarah yang bisa menjadi ilmu pengetahuan.
“Jadi kita harus terus memperkenalkan historis dan arti dari Jaranan ini ke masyarakat dan para pelaku keseniannya juga,” tandasnya.
Hujan Lebat Tak Surutkan Penampilan
Langit yang awalnya cerah tiba tiba berubah mendung saat mereka tampil. Tak berselang lama hujan lebat turun. Para penonton yang menyaksikan mereka sebagian berlari mencari tempat berteduh. Namun sebagian bertahan dengan berlindung di bawah payung hingga alas tikar plastik yang mereka bawa.
Dalam kondisi itu, para seniman tetap melanjutkan penampilan mereka hingga rampung. Suara lantunan gamelan pengiring tari Jaranan itu juga tak berhenti menggema. Hujan yang turun bukan menjadi penghalang bagi mereka.
“Ini adalah kesempatan saya untuk tampil pertama kali sejak pandemi. Saya sudah lama tidak tampil. Jadi tidak masalah ada hujan turun,” kata Rahmad Abdul Setiawan, salah satu seniman Jaranan asal Kota Malang yang turut tampil di bawah guyuran hujan.
Dia mengaku sudah menjadi seniman Jaranan sejak 2012 lalu. Namun sejak pandemi melanda, dia sudah tidak pernah memainkan Jaranan yang memang juga dia gandrungi sejak kecil itu.
Baginya, beraksi dalam kesenian Jaranan ini bisa membuatnya merasakan ketenangan batin. Terlebih, kesenian Jaranan juga merupakan warisan leluhur yang harus terus dijaga dan dilestarikan.
“Kesenian ini bisa menenangkan batin saya. Ini juga adalah warisan leluhur kita. Saya juga ingin terus melestarikannya,” ujarnya.
Penampilan seniman Jaranan di tengah hujan yang mulai mengguyur di bundaran Alun-alun Tugu Kota Malang (M Sholeh)Melalui kegiatan Gelaran Agung Jaranan Malang Raya ini, dia berharap nilai nilai luhur dan keberadaan kesenian ini bisa diketahui oleh generasi muda. Menurutnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu merawat budayanya sendiri.
“Saya harap kesenian ini terus maju dan lestari. Kita juga harus merawat kesenian lokal ini,” tandasnya
Reporter: M Sholeh
editor: jatmiko