Oleh: Aqua Dwipayana*
Salah seorang teman saya yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan negara, Senin tadi pagi (10/5/2021) menyampaikan curahan hatinya. Dia menyesal pindah kerja ke Jakarta sehingga sedang mempertimbangkan untuk kembali ke daerah buat menekuni profesinya yang sangat mulia.
Teman itu yang selama ini dikenal sangat idealis menceritakan alasan penyesalannya. Terutama adalah lingkungan kerjanya yang tidak kondusif. Bahkan sebagian pegawai lama menganggap kehadirannya sebagai saingan dan ancaman.
Kondisi itu membuat dirinya merasa tidak nyaman bekerja. Ngga betah berlama-lama di lingkungan tersebut.
“Ternyata saran Pak Aqua beberapa bulan lalu ke saya agar tidak mengambil tawaran pindah kerja ke Jakarta, terbukti kebenarannya. Waktu itu saya dengan berbagai pertimbangan setelah menerima masukan dari banyak orang, akhirnya memutuskan menerima tawaran itu. Meski Pak Aqua menyarankan jangan diambil tawaran tersebut,” ujar teman itu penuh penyesalan.
Beberapa bulan lalu, teman itu kontak saya. Menyampaikan permintaan plus tawaran kepada dia untuk pindah kerja ke Jakarta. Jabatannya strategis lengkap dengan berbagai fasilitas.
Pejabat tinggi tersebut menawarkan pekerjaan itu setelah melihat kinerja teman tersebut yang luar biasa. Di saat pandemi Covid-19 prestasinya hebat sekali. Tidak ada yang mengimbangi secara nasional.
Sebelum memutuskan mengambil tawaran itu, pejabat tinggi tersebut mengundangnya ke Jakarta. Mengajak bicara sekaligus menyampaikan penawaran pindah kerja ke pusat.
Pekerjaannya cukup menantang. Skalanya nasional. Menyangkut hajat hidup orang banyak. Jadi sangat strategis.
Menghadapi Banyak “Tembok”
Teman itu menceritakan secara detil semuanya ke saya. Sengaja itu disampaikan agar saya tahu kronologisnya. Setelah itu dia minta saran saya apakah tawaran yang kelihatan menggiurkan itu diambil atau tidak.
Saya menyimak semua ceritanya. Sambil membayangkan yang bakal dikerjakannya di Jakarta. Juga tantangan yang akan dihadapinya dan harus mampu “ditaklukkan”.
Setelah teman itu selesai cerita tentang tawaran pindah kerja tersebut dan membayangkan pejabat tinggi yang menyampaikan penawaran kerja, saya langsung berkesimpulan bahwa kerjaan di Jakarta meski sangat menantang dan bergengsi, tidak cocok buat teman yang idealis itu. Dia bakal menghadap banyak “tembok” dan benturan dengan berbagai pihak.
Dengan tegas saya menyarankan kepada teman itu untuk tidak mengambil tawaran yang cukup menggiurkan tersebut. Selain tidak cocok dengan idealismenya, sedikit banyak saya tahu plus minus pejabat tinggi yang menawarkan pekerjaan itu.
“Sebaiknya tawaran itu tidak usah bapak ambil. Fokus saja pada semua pekerjaan yang sedang dikerjakan. Meski skalanya lebih kecil namun bapak bisa berkreasi dan berinovasi sepuas-puasnya karena sudah lama menekuninya,” ujar saya.
Lagi pula, lanjut saya, selama ini dia sudah menekuni pekerjaan di daerah. Hasilnya mendapat apresiasi dari banyak orang. Itu saja ditekuni terus.
Setelah menyimak semua saran saya, teman itu mantap untuk melaksanakannya. Menekuni pekerjaan yang sudah ada.
“Pemikiran saya sama dengan Pak Aqua. Lebih baik saya menekuni pekerjaan yang sudah ada daripada pindah ke Jakarta. Saya akan sampaikan kepada yang menawari pekerjaan bahwa tawarannya tidak saya ambil,” kata teman itu mantap.
Berubah Pikiran
Saya mengapresiasi keputusannya yang saya nilai bijak. Saya yakin prestasi teman itu bakal lebih banyak karena sangat menguasai pekerjaannya secara komprehensif.
Beberapa minggu kemudian saya kaget karena teman itu berubah pikiran. Memutuskan mengambil tawaran pekerjaan di Jakarta. Dia langsung pindah ke ibu kota negara.
Saat saya tanyakan kenapa berubah pikiran, teman itu mengatakan setelah menerima masukan dari banyak orang termasuk atasannya di daerah. Jadi dia mantap bekerja di Jakarta.
Sementara saya yang melihatnya dari mata batin dan menilai secara obyektif, memperkirakan teman itu tidak akan betah kerja di Jakarta. Suasana kerja dan iklimnya beda sekali dengan pekerjaannya di daerah. Tempat kerjanya di pusat penuh intrik dan menimbulkan banyak gesekan.
Jadi perkiraan saya teman itu bekerja di Jakarta hanya seumur jagung. Hitungannya bulan. Idealismenya akan berbenturan dengan banyak orang dan sulit untuk kompromi karena tidak sesuai nurani.
Perkiraan saya yang menggunakan mata batin plus logika berdasarkan semua fakta ternyata menjadi kenyataan. Teman itu sudah tidak betah dan ingin kembali menekuni pekerjaannya di daerah.
Saya katakan semua itu pelajaran dan pengalaman berharga. Ambil hikmahnya. Jangan sampai terulang kembali kejadian serupa.
“Makasih banyak Pak Aqua. Semua itu jadi pelajaran dan pengalaman berharga buat saya. Ke depan saya akan mengoptimalkan untuk mengikuti nurani agar tidak salah mengambil keputusan,” pungkas teman itu.
Setelah kami bicara lebih dari 30 menit, saya bersyukur dan puas. Bisa menyadarkan teman yang menyadari keputusannya salah. Alhamdulillah…
>>Dari Bogor menjelang istirahat saya ucapkan selamat berusaha mengingatkan teman yang “tersesat”. Salam hormat buat keluarga. 23.45 10052021😃<<<
*Pakar Komunikasi, Motivator Nasional, Penulis Buku Trilogi The Power of Silaturahim