Oleh: Masbahur Roziqi*
Tugumalang.id – Fenomena yang menimpa anak beberapa tahun ini cukup sedih. Berbagai peristiwa tak mengenakkan terkuak menimpa anak Indonesia. Mulai dari dugaan kekerasan seksual oleh orang dewasa hingga korban anak meninggal akibat perundungan oleh sebaya.
Anak yang jadi korban pasti berpotensi mengalami trauma. Jika tidak mendapat penanganan serius, berakibat mengalami degradasi diri. Bahkan khawatirnya menjadi pelaku berikutnya.
Sejatinya anak menjadi amanah bersama. Pengembangan diri melalui pemaksimalan potensi diri dan pemunculan empati. Itu lah kebersamaan yang harusnya muncul bersama dengan anak.
Baca Juga: 7 Rekomendasi Film Indonesia Bertema Pendidikan, Nikmati Cerita Sembari Gugah Semangat Belajar
Cara utama dengan membersamai anak mengenali dirinya. Kemudian mengenali lingkungannya dan bertindak untuk mewujudkan pengalaman hasil pengenalan dirinya. Pendampingan orang dewasa, dalam hal ini orang tua, masyarakat, dan guru, penting untuk melancarkan proses tumbuh kembang anak.
Sayangnya fenomena kejahatan pada anak justru yang belakangan ini malah marak, atau bukan belakangan ini kemungkinan kejadiannya. Bahkan bisa saja sudah lama kejadiannya namun baru terkuak belakangan ini.
Tidak jarang pelaku kejahatan terhadap anak bisa orang dewasa, bisa pula teman sebayanya. Pelaku juga bisa berasal dari orang yang dipercaya anak. Seperti kasus dugaan kekerasan seksual dan kasus perundungan yang mengakibatkan korban trauma, atau bahkan depresi.
Tentu ini menjadi pekerjaan rumah besar. Pada tulisan ini saya mengomentarinya dari sudut pandangan guru. Sebagai orang dewasa yang mendapat amanah orang tua di sekolah, sebenarnya apa sih yang bisa guru dan segenap warga sekolah lakukan untuk anak.
Baca Juga: Fakta Menarik Seputar Malang, dari Bahasa Walikan Sampai Kota Pendidikan
Bagaimana pendampingan anak mewujudkan pengembangan dirinya? Bagaimana prinsip utama yang harus semua pihak pegang dalam berinteraksi di sekolah? Ini penting karena sekolah menjadi rumah kedua bagi anak. Khususnya bagi anak yang menempuh pendidikan formal.
Setiap anak memiliki nyala hidupnya sendiri. Ada yang mungkin saat ini sudah terang, tapi ada pula yang masih hampir terang, atau bahkan masih remang-remang. Tentu nyala tiap anak berbeda.
Warnanya berbeda. Prinsip utama yang harus semua bapak ibu guru miliki yakni anak bukan lah kertas kosong. Anak memiliki kodrat. Kodrat biologis dan kodrat intangibe. Kedua kodrat ini merupakan bawaan. Bagian dari anugrah Tuhan. Sesuatu yang guru ajak anak-anak bersama untuk terus berkembang bersamanya.
Lantas apa yang harus guru lakukan bersama anak? Guru menuntun anak sesuai kodratnya untuk mewujudkan budi pekerti atau karakter luhur. Caranya dengan memburamkan kodrat yang kurang baik untuknya dan menebalkan kodrat yang baik untuknya.
Contoh ketika anak memiliki bawaan pemarah, maka kita berupaya untuk mengajarinya mengelola emosi marahnya. Seperti dengan cara menarik napas panjang, kemudian melepaskan pelan-pelan dengan memejamkan mata.
Atau kita alihkan dengan dia menggambar perasaannya saat itu pada kertas. Cara yang guru ajarkan ini lah yang disebut pendidikan.
Tentu ketika guru melakukan pendidikan, prasyarat utama, guru harus selesai dengan dirinya. Artinya mendarmabaktikan dirinya untuk tujuan mendidik anak. Bukan hanya mengajar atau transfer ilmu. Karena jika hanya transfer ilmu, saat ini sudah banyak yang dapat menggantikan.
Mulai google, instagram, bahkan mungkin tiktok dan youtube. Namun untuk mendidik, guru masih bisa berdinamika di dalamnya. Melalui mendidik, guru berdampingan dengan anak untuk mewujudkan karakter luhur. Prasyaratnya, guru sudah harus pula memiliki karakter luhur. Sehingga dalam mendidik anak, tak lagi bias dengan dirinya.
Pada beberapa kasus kekerasan seksual yang melibatkan guru, saya meyakini guru tersebut belum selesai dengan dirinya. Dia tidak mampu menyadari dirinya bagian dari pendidik.
Bersama orang tua mengantarkan anak menumbuhkembangkan dirinya. Kodrat negatif yang guru ini bawa tak mampu dia buramkan. Sehingga dominan dan menguasai dirinya. Ini yang membuat munculnya tindakan tak patut yang guru tersebut lakukan pada murid.
Demikian pula dengan kasus perundungan yang melibatkan teman sebaya. Masih ada paradigma lama jika perundungan itu bagian dari bercanda. Padahal tidak. Perundungan bagian dari kejahatan.
Harus sejak awal guru pahamkan pada anak. Pada sekolah kami, selalu saat MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) kemarin tegas sekolah katakan ada tiga hal jangan sampai murid lakukan baik di sekolah maupun luar sekolah.
Pertama perundungan/bullying, kedua intoleransi, dan ketiga kekerasan seksual. Harapannya jika sejak awal guru ingatkan, maka akan membekas dan para murid jadikan tuntunan dalam berinteraksi di sekolah.
Pemerintah sebenarnya telah menfasilitasi munculnya paradigma menyalakan hidup anak pada dunia pendidikan formal.Paling utama adanya program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Sebuah program setara dengan pembelajaran sehari-hari pada sekolah formal.
Tapi bukan belajar mapel tertentu. Namun guru bersama anak merancang program untuk menumbuhkan enam profil pelajar pancasila. Mulai dari beriman dan bertakwa pada Tuhan dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, gotong royong, mandiri, kreatif dan bernalar kritis.
Artinya tidak melulu hanya mengejar pencapaian akademis. Melainkan pula menumbuhkan murid berprofil pelajar Pancasila. Lantas bagaimana sekolah anda? Bagaimana sekolah anak atau keluarga anda? Mari kawal bersama nyala anak-anak kita di sekolah.
*Penulis adalah mahasiswa S2 Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang-Guru Bimbingan dan Konseling SMAN 1 Kraksaan Kab. Probolinggo
Editor: Herlianto. A
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News