Malang, Tugumalang.id – Pernahkah kamu merasa terdorong untuk membeli barang hanya karena diskon besar atau karena merasa harus memiliki produk terbaru agar tidak ketinggalan tren? Fenomena ini, yang dikenal sebagai budaya konsumtif. Mencerminkan kecenderungan untuk mengutamakan konsumsi secara berlebihan, seringkali didorong oleh keinginan emosional daripada kebutuhan nyata.
Menurut artikel berjudul “Perspectives on Consumer Culture” (Featherstone, 1990) menjelaskan bahwa Budaya konsumen, didorong oleh akumulasi komoditas, dapat menyebabkan manipulasi, kontrol, dan hubungan sosial, sementara juga menghasilkan kesenangan emosional dan estetika.
Dalam kata lain budaya konsumen itu kompleks dan punya dampak ganda. Ia tidak hanya bicara soal ekonomi, tapi juga soal bagaimana kita membentuk identitas diri, hubungan sosial, dan merasakan emosi melalui konsumsi.
Baca juga: Tekan Gaya Hidup Konsumtif, FEB UNISMA Ajak Milenial Belajar Financial Planning
Budaya konsumtif muncul dari berbagai faktor yang saling terkait. Secara emosional, impulsivitas membuat kita membeli barang karena perasaan senang, stres, atau bahkan kebosanan. Selain itu, fenomena FOMO (Fear of Missing Out) membuat kita merasa harus memiliki sesuatu yang sedang tren, sementara pengaruh iklan agresif dan media sosial semakin menguatkan keinginan untuk terus berbelanja. Untuk menjelaskan lebih rinci, berikut beberapa faktor utama yang memicu budaya konsumtif:
Impulsivitas: Membeli barang karena dorongan emosi sesaat
FOMO: Takut ketinggalan tren atau produk viral.
Gaya Hidup Hedonis: Mengidentifikasi diri melalui kepemilikan barang mewah.
Pengaruh Iklan dan Sosial Media: Strategi pemasaran yang intens memicu keinginan untuk segera membeli.
Dampak dari perilaku konsumtif ini tidak hanya berdampak pada pengeluaran pribadi, tetapi juga mempengaruhi kesejahteraan mental dan bahkan lingkungan. Belanja impulsif dapat menimbulkan masalah keuangan, seperti menumpuknya utang apalagi dengan mudahnya akses paylater, serta menyebabkan stres dan kecemasan akibat perasaan bersalah. Di sisi lingkungan, limbah barang yang tidak terpakai semakin mencemari alam, sementara hubungan sosial pun dapat terganggu akibat konflik antara anggota keluarga atau pasangan yang memiliki pola konsumsi yang berbeda.
Baca Juga: FOMO, YOLO, dan FOPO: 3 Penyakit Pikiran Serang Siapa Saja, Apakah Kamu Termasuk Orangnya?
Untuk mengatasi budaya konsumtif, terdapat beberapa strategi efektif yang bisa diterapkan, antara lain:
Membuat Daftar Prioritas: Buat list kebutuhan versus keinginan sebelum melakukan pembelian.
Unfollow Akun Promosi: Batasi paparan iklan di media sosial untuk mengurangi godaan belanja.
Coba Tunda 24 Jam: Tunda pembelian barang non-esensial selama 24 jam untuk menilai kembali kebutuhan sebenarnya.
Penerapan Metode Budgeting: Alokasikan pendapatan secara seimbang untuk pengeluaran kebutuhan, keinginan, dan tabungan.
Alihkan kegiatan: Gantikan kebiasaan belanja dan scroll olshop dengan kegiatan produktif seperti olahraga, membaca, atau belajar skill baru.
Dengan menerapkan strategi tersebut, kita dapat lebih bijak dalam mengelola keinginan untuk berbelanja, sehingga budaya konsumtif tidak lagi menguasai pola hidup kita. Kesadaran akan dampak negatif dan upaya pengendalian diri merupakan kunci untuk mencapai keseimbangan antara gaya hidup modern dan kesehatan finansial serta emosional.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Muhammad Veri Adrianto Ivansa (magang)
redaktur: jatmiko