MALANG, tugumalang.id – Hotel Pelangi adalah salah satu bangunan cagar budaya Kota Malang yang ditetapkan pada 2018 lalu. Hotel yang terletak di Jalan Merdeka, Kota Malang itu merupakan hotel tertua yang menjadi saksi bisu perkembangan tanam paksa di wilayah Malang.
Di awal abad ke-18, wilayah Malang tak banyak dilirik, masih sepi dan tak memiliki penggerak perekonomian yang menarik perhatian. Saat itu, Indonesia masih dijajah kolonial Belanda. Sementara Malang merupakan bagian dari karesidenan Pasuruan.
Situasi Malang kemudian berubah pasca peristiwa Perang Jawa pada 1830an. Saat itu, Belanda kehabisan persediaan, baik alat tukar atau uang maupun bahan pangan. Mereka kemudian melancarkan kebijakan tanam paksa. Salah satunya di Malang.
Di tahun 1840an, mulai muncul gerakan menanam kopi di berbagai wilayah Malang. Titik perkembangan penanaman kopi pertama di Malang meliputi, Kelurahan Penangungan, Jatimulyo, Dinoyo, Sengkaling hingga Punjon.
Berkembangnya waktu, kopi di Malang mulai menjadi primadona. Malang menjadi pemasok kopi ke berbagai daerah, bahkan diekspor ke beberapa negara. Tak hanya itu, praktik tanam paksa tebu juga mulai berkembang.
Tentu yang melancarkan dan menikmati praktik itu adalah kolonial Belanda. Dari situlah para pekerja hingga petinggi petinggi kolonial Belanda yang awalnya terpusat di Pasuruan, mulai berdatangan ke Malang.
“Orang orang Belanda itu tentu butuh penginapan di Malang, karena mereka awalnya dari Pasuruan. Saat itulah, penginapan pertama di Malang bernama Lapidoth Hotel didirikan pada tahun 1860, saat ini menjadi Hotel Pelangi,” kata Agung Buana, Pemerhati Sejarah dan Budaya Kota Malang.
Seiringnya waktu, tanam paksa kopi meluas hingga ke Malang Selatan dan berada di puncak kejayaan pada 1870an. Sementara tanam paksa tebu meluas hingga ke wilayah Blitar. Belanda pun juga membangun jalur jalur kereta api pengangkut hasil tanam paksa di Pasuruan-Malang pada 1879.
Alhasil, Malang semakin ramai, pergerakan ekonomi mulai terpusat di Malang. Pekerja, pedagang, orang Belanda mulai datang ke Malang. Lapidoth Hotel semakin ramai kunjungan dan menjelma menjadi hotel ternama.
Hotel lain seperti Yansen, Herome, Mabes, YMCA, Ema hingga Melinda mulai muncul. Namun hotel hotel itu hancur pada peristiwa Malang Bumi Hangus, termasuk Lapidoth. Dari semua hotel itu hanya Lapidoth yang kemudian mampu berdiri kembali dan bertahan hingga saat ini.
“Jadi hotel yang sampai saat ini masih bertahan dan masih ada itu hanya Hotel Pelangi,” ucap Agung.
Lapidoth Hotel sempat berkali kali berubah nama mulai Yansen, de Palace, Republik hingga Hotel Pelangi. Pasca pembangunan pada 1860, hotel ini sempat direhab pada 1903 dan 1917.
“Jangan dibayangkan Hotel Pelangi dulu bentuknya kayak sekarang. Dulu bentuk bangunannya kayak Joglo, ada pilarnya 2, kiri kanan kamar, tengah tempat makan dan resepsionis,” bebernya.
Arsitektur Hotel Pelangi sendiri mengadopsi gaya perpaduan bangunan Belanda dan Jawa. Gaya arsitektur itu memang cukup populer di Hindia Belanda masa itu. Bangunannya simetris, ruang tengah jadi pusat kegiatan dan beratap kuncup.
Gaya bangunan itu masih dipertahankan hingga saat ini. Meski tak 100 persen sama, namun kesan heritage hotel ini tetap terjaga. Hotel Pelanggi kemudian di tetapkan sebagai cagar budaya pada 2018.
Kini di depan Hotel Pelangi, berdiri kafe yang hampir menutupi pemandangan hotel. Namun kafe itu tampaknya mengadopsi nama lama Hotel Pelangi, yakni Lapidoth dengan gaya bangunan tempo dulu.
Reporter: M Sholeh
editor: jatmiko