Tugumalang.id – Komunitas Swara Pertiwi RW 09 Kelurahan Merjosari, Kota Malang, menorehkan sejarah baru dalam perjalanannya sebagai komunitas seni.
Pada ajang Festival Seni Tradisi #1 yang berlangsung pada 22-23 Februari 2025 di Taman Krida Budaya, Kota Malang, Jawa Timur, komunitas yang seluruh anggotanya merupakan emak-emak ini menghadapi tantangan yang tak biasa: menjadi penabuh gamelan untuk mengiringi Mini Ludruk (Ludruk Malangan).
Bagi mereka, ini bukan sekadar penampilan biasa, melainkan sebuah pengalaman penuh keringat, ketegangan, dan kebanggaan.
Baca Juga: Rumah Budaya Ratna, Wadah untuk Asah Kreativitas Para Seniman dan Sastrawan di Malang
Swara Pertiwi selama ini dikenal aktif dalam berbagai kegiatan seni dan budaya di tingkat lokal. Namun, menjadi pengiring ludruk merupakan hal baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Tantangan ini datang dari Studi Akting Malang, yang mengajak mereka bergabung dalam proyek seni pertunjukan tersebut.
Kesempatan emas ini bukan tanpa hambatan. Sebagai pengiring ludruk, Swara Pertiwi harus menguasai ritme khas Ludruk Malangan dalam waktu yang sangat singkat—hanya dua minggu.
Berbagai kendala mereka hadapi, mulai dari memahami struktur musik, menjaga kekompakan permainan, hingga mengatasi rasa gugup tampil di hadapan penonton.
Baca Juga: Tinggalkan Pekerjaan Sebagai Arsitek, Seniman Teguh Nuswantoro Jadikan Kegiatan Seni Rupa Sebagai Merawat Hobi Masa Kecil
“Awalnya terasa mustahil. Kami belum pernah bermain gamelan untuk mengiringi ludruk sebelumnya, tiba-tiba harus tampil di panggung besar. Deg-degan luar biasa!” ungkap Tutik, salah satu penabuh gamelan Swara Pertiwi.
Menyadari keterbatasan waktu, Swara Pertiwi bergerak cepat mencari dukungan. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah bekerja sama dengan Laboratorium Gamelan Universitas Gajayana Malang (UNIGA).
Pimpinan perguruan tinggi ini menyambut baik inisiatif tersebut dan memberikan fasilitas latihan guna mempercepat proses adaptasi.
“Kami sangat mendukung kegiatan-kegiatan seni dan budaya seperti ini. Selain sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan sekitar, ini juga menjadi cara untuk menjaga keberlanjutan seni tradisional,” ujar Prof. Dr. Ernani Hadiyati, M.S, Rektor Universitas Gajayana.

Setiap malam selama dua minggu, tangan-tangan yang sebelumnya terbiasa mengurus rumah tangga kini memukul kendang, bonang, saron, peking, demung, dan gong dengan penuh semangat.
Kesalahan demi kesalahan mereka lalui, rasa lelah diabaikan, semua demi sebuah penampilan yang membanggakan.
Minggu, 23 Februari 2025, menjadi hari yang tak terlupakan bagi Swara Pertiwi. Dengan kostum yang telah dipersiapkan secara cermat oleh Irwan AKA, mereka melangkah ke panggung dengan hati berdebar.
Dukungan dari Sindu dan Fandi sebagai pendamping sekaligus pelatih memberikan energi tambahan untuk menghadapi panggung besar.
Saat alunan pertama gamelan menggema, suasana di Taman Krida Budaya Jawa Timur berubah. Nada-nada gamelan yang dimainkan Swara Pertiwi berpadu dengan aksi para pemain ludruk di atas panggung. Getaran tabuhan gamelan menciptakan atmosfer magis yang membuat penonton terpukau.
“Begitu tabuhan pertama keluar, rasa gugup langsung hilang. Kami seperti masuk ke dalam dunia lain, dunia di mana gamelan dan ludruk menjadi satu kesatuan yang hidup,” ujar Novie Kusumawati, penabuh kendang sekaligus ketua komunitas Swara Pertiwi.

Penonton yang hadir tidak hanya menikmati pertunjukan, tetapi juga memberikan apresiasi tinggi terhadap keberanian dan dedikasi Swara Pertiwi dalam melestarikan seni tradisional.
Festival Seni Tradisi #1 merupakan ajang yang bertujuan untuk merayakan dan menjaga seni tradisional yang telah diwariskan turun-temurun. Berbagai komunitas seni dari berbagai daerah turut serta dalam perhelatan ini, menampilkan beragam bentuk kesenian tradisional Indonesia.
“Kami ingin menciptakan ruang bagi masyarakat untuk kembali merasakan keindahan dan kekuatan tradisi yang tetap hidup di tengah modernisasi. Seni tradisional bukan sesuatu yang usang, melainkan warisan berharga yang harus kita jaga bersama,” ujar salah satu panitia penyelenggara.
Bagi Swara Pertiwi, keterlibatan dalam festival ini bukan hanya soal tampil di atas panggung, tetapi juga soal membangun keberanian, menumbuhkan solidaritas, dan merasakan makna mendalam dari seni tradisional. Lebih dari itu, mereka berhasil membuktikan bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar dan berkarya.
“Komunitas ini akan terus berlatih dan terbuka untuk berbagai kolaborasi seni ke depan. Siapa tahu suatu hari nanti kami bisa memiliki pertunjukan sendiri, atau bahkan melahirkan lebih banyak perempuan yang mencintai gamelan,” kata Novie dengan penuh optimisme.
Langkah ini menjadi bukti bahwa seni tradisional bisa menjadi ruang inklusif bagi siapa saja, tanpa memandang latar belakang atau usia.
Melalui semangat belajar dan kebersamaan, Swara Pertiwi menunjukkan bahwa tradisi tetap bisa hidup, berkembang, dan menyentuh banyak hati. Dentingan gamelan mereka kini bukan sekadar suara instrumen, tetapi simbol ketekunan, keberanian, dan cinta pada warisan budaya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Sumber: Rilis komunitas Swara Pertiwi
Editor: Herlianto. A