Aqua Dwipayana*
Beberapa waktu lalu seorang teman yang merupakan Jenderal Purnawirawan sengaja komunikasi sama saya. Kami membicarakan banyak hal termasuk institusi tempatnya mengabdi selama puluhan tahun.
Jenderal tersebut saat masih bertugas sangat disegani dan dihormati baik oleh senior, teman seangkatan, maupun para junior. Itu karena dia memiliki karakter yang kuat.
Meski di institusi tempatnya bekerja menganut sistem komando, namun Jenderal itu berani bersikap dan menunjukkan warnanya. Tidak khawatir dicopot dari jabatannya.
“Harus berani menyampaikan suatu kebenaran apa adanya. Meski harus menghadapi konsekuensi misalnya dicopot dari jabatan. Bagi saya itu tidak ada masalah. Terpenting saya berkata jujur sesuai hati nurani,” ujar Jenderal itu suatu hari saat masih menjabat pada jabatan strategis.
Jenderal tersebut menambahkan, “Sebagai komandan yang paling berat adalah pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Jika tidak amanah saat menjabat maka akan dirasakan balasannya di akhirat. Bisa saja setelah tidak menjabat ketika masih hidup menerima dampaknya negatifntya. Sudah banyak contoh tentang ini.”
Saat menyinggung tentang institusi tempatnya mengabdi selama puluhan tahun, Jenderal itu menyampaikan keprihatinannya yang mendalam. Kualitasnya merosot tajam dibandingkan ketika dia masih aktif.
Salah satu kunci institusi berkualitas atau tidak, lanjut Jenderal yang bicara blak-blakan dan apa adanya itu tergantung pada komandan yang memimpinnya. Jika tidak punya jiwa dan kemampuan memimpin dapat dipastikan organisasi yang dipimpinnya tidak berkualitas.
Dampaknya terasa langsung di internal dan eksternal organisasi. Banyak masalah yang akhirnya menurunkan citra organisasi.
“Pak Aqua yang selama belasan tahun intens mengamati bahkan mengabdi di institusi tersebut bisa melihat dan menilainya sendiri. Bandingkan ketika saya masih aktif. Beda jauhkan kualitasnya,” ujar Jenderal itu dengan mimik serius.
Kualitas Institusi Menurun
Kemudian menceritakan pengalamannya ketika masih menjabat. Orang yang sekarang menjadi komandan di institusi tersebut datang ke dia minta-minta jabatan.
Ketika itu orang yang dimaksudnya masih melati dua. Diberi jabatan meski tidak persis seperti yang diinginkannya.
Sekarang setelah jadi komandan, lanjut Jenderal itu, saat ditelefon dan dikirim WA, sama sekali tidak direspon. Memprihatinkan sekali.
Menurutnya itu adalah salah satu contoh tentang junior yang tidak menghargai seniornya. Padahal selama memimpin masukan dari para senior tetap dibutuhkan karena lebih dulu menjabat pada jabatan itu.
“Para junior sudah tidak butuh senior. Mereka merasa bisa memimpin dengan sukses tanpa dukungan senior-seniornya yang telah pensiun. Mereka lupa bahwa dulu pernah dipimpin senior. Setelah mendapat amanah jadi pemimpin seakan melupakan semuanya termasuk seluruh kebaikan seniornya,” tutur Jenderal itu.
Jika sikap tersebut dipertahankan, kata Jenderal itu, dapat diperkirakan yang bakal terjadi. Kualitas institusi itu akan terus menurun. Hanya masalah waktu kepercayaan masyarakat jadi berkurang secara drastis.
Padahal menurutnya untuk mempertahankan eksistensi institusinya perlu terus-menerus mendapat dukungan dari rakyat. Apalagi sehari-hari langsung maupun tidak langsung aktivitasnya bersentuhan dengan masyarakat.
Putus Silaturahim karena Jabatan
Jenderal itu juga menyinggung tentang teman seangkatan saat awal masuk, ketika pendidikan, hingga bekerja. Kelihatan di permukaan kompak. Namun semua itu semu.
“Kekompakkan teman seangkatan tersebut kelihatan hanya di permukaan saja. Realitanya tidak seperti itu. Dengan caranya masing-masing setiap orang berusaha mendapatkan jabatan strategis. Apapun dilakukan untuk mewujudkan keinginannya termasuk “menyikut” orang lain. Tidak peduli dengan teman seangkatannya,” tegas Jenderal itu.
Kemudian menceritakan pengalamannya dengan teman seangkatannya. Di antaranya ada yang saling sikut-sikutan untuk mendapatkan jabatan strategis.
Akibatnya saat masih aktif bertugas silaturahimnya dengan teman seangkatan jadi rusak bahkan putus sama sekali. Ketika ketemu tidak saling menyapa. Nuansa permusuhan sangat terasa.
Begitu pensiun, baru terasa semuanya. Padahal seharusnya kebersamaan dan keharmonisan sejak di pendidikan – sama-sama di barak – saat bertugas, hingga pensiun perlu terus-menerus dipertahankan bahkan ditingkatkan.
Kenyataannya saat masih bertugas ada silaturahimnya yang terganggu bahkan hingga putus sama sekali. Itu terjadi karena “rebutan” jabatan yang semu. Hitungannya hanya tahun.
“Semua itu sudah saya rasakan sendiri. Pengalaman yang semestinya tidak diulang oleh seluruh junior saya karena lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya,” pungkas Jenderal yang sampai sekarang tetap konsisten dengan serius.
Saya menyimak semua yang disampaikannya. Dalam hati berucap betapa ruginya mereka yang memutus silaturahimnya karena “rebutan” jabatan yang sesaat dan semu.
Enam Akibat Memutus Silaturahim
Dikutip dari kumparan.com, bahwa memutuskan tali silaturahim merupakan dosa besar dan sangat tidak disukai oleh ALLAH SWT. Sedikitnya ada enam akibatnya.
Pertama, Dilaknat oleh ALLAH SWT. Allah SWT berfirman dalam QS. Muhammad ayat 22-23 yang artinya:
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.”
Kedua, seperti memakan bara api. Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
“Ada seorang laki-laki yang menemui Rasulullah, dan laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai keluarga dan ketika aku berbuat baik kepada mereka, mereka berbuat jelek terhadapku. Mereka acuh terhadapku, padahal aku telah bermurah hati kepada mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika demikian, maka seolah-olah kamu memberi makan mereka dengan bara api. Dan pertolongan Allah akan selalu senantiasa menyertaimu selama kamu begitu (berusaha bersilaturahmi).” (HR. Muslim).
Ketiga, tidak terkabulnya doa.
“Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: Allah akan segera mengabulkan do’anya; Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak; Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian.” (HR. Ahmad)
Keempat, hukumannya disegerakan di dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada baghyu (kezhaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan kerabat.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud, al-Hakim, dan lainnya)
Kelima, putusnya rahmat dari Allah SWT.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya (kata) rahmi diambil dari (nama Allah) yaitu ar-Rahman. Allah berkata, “Barangsiapa menyambungmu (kerabat), Aku akan menyambungnya, dan barangsiapa memutuskanmu, Aku akan memutuskannya.” (HR. Bukhari)
Keeenam, jauh dari surga.
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan (silaturahmi).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian bahaya dari keputusan atau tindakan manusia jika harus memutuskan tali silaturahmi. Manusia yang sebagai makhluk sosial tidak seharusnya melakukan itu. Bahkan, dalam Islam, setiap umat muslim atau muslimah yang menjalin tali silaturahmi dengan baik dapat membuka suatu kebajikan. Wallahualam.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua yang disampaikan Jenderal itu. Aamiin ya robbal aalamiin…
>>Dari Bogor saya ucapkan selamat berusaha secara konsisten menghormati semua orang tanpa melihat latar belakangnya dan tetap menjaga silaturahim. Salam hormat buat keluarga. 22.00 27072021😃<<<
*Pakar Komunikasi, dan penulis buku Trilogi The Power of Silaturahim