MALANG – Melambungnya harga kedelai di pasaran tak membuat produsen tempe di Kota Malang mandek produksi. Berbagai macam cara dilakukan para perajin mensiasatinya. Agar biaya produksi tak membengkak. Ada yang mengecilkan ukuran tempe, ada pula yang menaikkan harga.
Hal ini diungkapkan Ketua Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kota Malang, Chamdani, bahwa siasat ini muncul pasca lonjakan tajam harga bahan baku kedelai impor. Semula Rp 6.500-7.600 per kilogram, kini Rp 9.100 – Rp 10.000 per kilogram.
“Kenaikan harga (kedelai) itu mulai awal November 2020. Naik sekitar Rp 1.600 dari harga awal. Sekarang, sudah sampai Rp 9.150 per kilogram,” kata Chamdani dihubungi, Selasa (5/1/2021).
Pengecilan ukuran tempe atau pengurangan isi pada keripik tempe terpaksa dilakoni perajin. Misalnya, dari satu lonjoran tempe dengan ukuran lebar 23 cm, panjang 52 cm dan tebal 6 cm, itu diperkecil.

Sekarang lebar 20 cm, panjang 50 cm dan tebal 4,5 cm. Diperkecil ukurannya (satu lonjoran). ”Tapi sebagian juga ada yang tetap, tapi memilih untuk menaikkan harga,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, salah seorang perajin tempe, Laili Afrida (58) mengatakan, terkadang agar biaya produksi tak bengkak, isian kripik tempe dikurangi tanpa mengurangi kualitas dan rasa.
Hal senada diakui perajin tempe lain, bahwa dirinya terpaksa melepas tempe ke pasaran dengan ukuran yang lebih kecil.
”Karena harganya gak bisa ikut naik. Siapa yang mau beli kalau harganya ikutan naik,” katanya yang diamini sejumlah ibu perajin tempe di Kampung Sanan.
Chamdani juga menambahkan, warga perajin tempe memilih tetap menggunakan kedelai impor dibanding kedelai lokal, meski harganya melambung tinggi. Kata dia, lebih kurang karena soal kualitas. ”Kalau untuk tempe pakai kedelai lokal kurang bagus,” ungkapnya.
Rata-rata, lanjut Chamdani, kebutuhan kedelai untuk perajin tempe di Kampung Sanan bisa mencapai 17,5 hingga 20 ton per hari. “Tapi kalau untuk kebutuhan perajin se-Kota Malang, bisa sampai 25-30 ton,” pungkasnya.
Seperti diketahui, kenaikan bahan baku kedelai ini sudah terjadi sejak sekitar Agustus 2020 silam. Dari yang semula Rp 6.500 per kilogram, tiap bulannya terus merangkak hingga kini mencapai Rp 9.200 hingga Rp 10.000 per kilogram.