Oleh: Jakfar Shodiq, mahasiswa magister NPTU Taiwan
Tugumalang.id – Di tengah hiruk-pikuk politik dan proses pemilihan di Pilkada 2024, kita sering menemukan fenomena yang menarik: beberapa calon yang kembali mencalonkan diri, padahal masih memegang jabatan yang sebelumnya telah mereka emban dengan berbagai janji dan komitmen.
Tentu saja, antusiasme untuk mengabdi lebih luas dan ambisi untuk memberikan dampak positif lebih besar patut kita apresiasi.
Namun, kita juga perlu bertanya: benarkah pencalonan ini murni demi kepentingan masyarakat, atau ada keinginan lain yang melandasinya?
Baca Juga: Pengamat Sosial Politik Dorong Hasil Survei Elektabilitas Calon Pemimpin Kota Malang Dipublikasi
Jika mereka terpilih kembali dan harus melepaskan jabatan yang saat ini dipegang, tidakkah hal itu berarti mengingkari janji dan komitmen yang sebelumnya mereka buat?
Masyarakat menaruh harapan besar pada para pemimpin yang mereka pilih, mengingat jabatan publik adalah amanah yang menuntut dedikasi penuh.
Ketika seseorang memutuskan untuk maju lagi dalam pemilihan, sementara masih ada janji yang harus ditepati di posisi sebelumnya, muncul kekhawatiran bahwa komitmen lama terancam terabaikan.
Bagaimana mungkin mereka dapat memastikan keberlanjutan tugas dan amanah lama, ketika perhatian sudah diarahkan ke ambisi baru?
Kita tentu mendambakan pemimpin yang benar-benar hadir bagi rakyat, yang komitmennya pada jabatan bukan sekadar formalitas.
Baca Juga: Pilkada, Menyelamatkan Demokrasi dari Tangan Oligarki
Setiap jabatan publik mengandung tanggung jawab moral dan sosial yang besar, dan janji-janji yang diberikan dalam kampanye sebelumnya haruslah dipegang dengan teguh.
Namun, ketika calon pemimpin justru tergoda untuk maju lagi tanpa menyelesaikan amanah yang sedang diemban, wajar jika masyarakat mulai mempertanyakan komitmen mereka. Apakah ini benar-benar semangat pengabdian, atau sekadar hasrat untuk mengejar posisi baru?
Tindakan mencalonkan diri kembali juga berpotensi mengesankan bahwa jabatan terdahulu dianggap sebagai batu loncatan semata, bukan komitmen serius yang perlu dijaga.
Bayangkan jika mereka terpilih dan harus meninggalkan posisi lama, apakah tanggung jawab terhadap jabatan awal telah benar-benar selesai? Apakah ini bukan bentuk dari pengabaian janji-janji yang telah diberikan kepada masyarakat saat mereka pertama kali terpilih?
Kita semua tentu menginginkan pemimpin yang bisa kita percayai dan andalkan. Seseorang yang mengutamakan penyelesaian tugas yang telah diembannya tanpa tergoda untuk mengumpulkan jabatan lain. Bagi para calon pemimpin, ini seharusnya menjadi refleksi.
Menjadi pemimpin yang baik bukan hanya tentang berhasil menduduki jabatan, tetapi tentang kemampuan menjaga integritas dan komitmen. Jabatan publik bukanlah sekadar prestise, tetapi merupakan tanggung jawab untuk merealisasikan janji-janji kampanye dan komitmen yang sebelumnya diucapkan.
Sebagai masyarakat yang bijak, kita perlu mempertimbangkan hal ini dalam memilih. Tentu kita semua berharap para pemimpin kita tidak mudah teralihkan oleh ambisi baru, terutama bila amanah sebelumnya belum sepenuhnya dijalankan.
Kualitas kepemimpinan tidak dilihat dari berapa kali mereka terpilih, tetapi dari seberapa baik mereka menepati janji dan komitmen yang telah diberikan.
Masyarakat berharap pemimpin hadir bukan hanya untuk sekadar meraih jabatan baru, tetapi juga untuk menuntaskan amanah dengan dedikasi tinggi. Rakyat ingin melihat bukti, bukan sekadar janji yang berulang.
Harapan kita sederhana: pemimpin yang teguh pada komitmen, yang mengedepankan pengabdian nyata di atas ambisi pribadi, yang hadir secara penuh untuk menyelesaikan tugas yang telah diamanahkan, bukan hanya untuk mencari jabatan baru.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Editor: Herlianto. A