MALANG – Para petani di 11 desa di Kecamatan Pakis dan Tumpang, Kabupaten Malang, mengeluhkan kekuarangan air akibat mata air Sumber Pitu yang selama ini menyumplai kebutuahan air mereka berkurang.
Sumber yang berada di Desa Duwetkrajan, Kecamatan Tumpang, ternyata dimanfaatkan oleh Perumda Tugu Tirta (PDAM Kota Malang). Akibat kekurangan air tersebut, para petani kerap mengalami gagal panen.
Yoyon Hermanto, seorang petani asal Desa Banjarejo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, mengatakan semestinya dalam satu kali panen, petani memberi air kepada tanaman sebanyak 3-4 kali. Tetapi karena kekurangan air petani hanya memberikan sebanyak dua kali saja, terutama pada saat musim kemarau.
“Dua kali pun kami harus giliran dengan petani-petani lain. Jadi walaupun sudah waktunya, nggak kami kasih air karena nunggu giliran. Akhirnya banyak yang gagal panen karena tanaman tidak bisa tumbuh secara maksimal,” jelas Yoyon kepada reporter Tugu Malang ID, Selasa (13/9/2022).
Kecamatan Pakis, menurutnya, merupakan sentra produksi sayur bagi Kota Malang hingga Kota Surabaya. Sehingga ironis jika pertanian di sana mengalami kekeringan karena air dari Sumber Pitu dieksploitasi untuk warga Kota Malang.
“Sangat berdampak sekali pada kami petani dengan adanya pengambilan air yang begitu banyak,” imbuhnya.
Yoyon menegaskan bahwa ini bukan berarti petani menolak berbagi sumber air dengan warga Kota Malang.
“Kalau waktu musim hujan, kami oke-oke saja karena debit air melimpah. Tapi kalau musim kemarau kami harapkan jangan mengambil air terlalu banyak, kasihan kami para petani ini,” tuturnya.
Krisis air ini juga berdampak pada hubungan antar petani. Karena sering berebut air, terjadilah gesekan-gesekan.
“Kami berebut supaya tanaman kami bagus, tapi kenyataannya airnya nggak ada. Jadi sering terjadi gesekan itu,” kata Yoyon.
Untuk mengatasi permasalah ini, Yoyon mengaku ia dan petani lainnya telah melakukan demo dan dengar pendapat di DPRD Kabupaten Malang. Aksi ini dilakukan sejak tahun 2015 atau dua tahun setelah pemasangan pipa untuk mengalirkan air di Sumber Pitu.
Dari aksi tersebut, para petani mendapatkan beberapa janji dan kesepakatan, seperti pembangunan irigasi, pengurangan resapan, dan pengurangan debit air. Namun tidak ada yang benar-benar terealisasi.
“Harapan kami, minimal (janji) itu bisa ditepati,” kata Yoyon.
Namun yang paling utama, ia berharap pengambilan air di musim kemarau tidak terlalu banyak agar para petani juga mendapatkan air.
“Kalau musim penghujan boleh diambil, kalau kemarau jangan diambil banyak-banyak karena petani juga membutuhkan air,” tutupnya.
Koordinator Advokasi Forum Penyelamat Sumber Pitu, Zulham Ahmad Mubarok menyebutkan petani sudah sepatutnya mendapat prioritas aliran air dari Sumber Pitu. Hal ini diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
Dalam UU tersebut disebutkan prioritas penggunaan sumber daya air yang pertama adalah untuk kebutuhan pokok sehari-hari, kedua untuk pertanian rakyat, dan ketiga untuk kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui Sistem Penyediaan Air Minum.
“Harapan kami, tata kelola air ini direstrukturisasi ulang. Tidak hanya melulu komersil, tetapi juga melibatkan warga sekitar dan juga orang-orang yang lebih berhak sesuai undang-undang,” ujar Zulham.
Reporter: Aisyah Nawangsari
Editor: Herlianto. A