Tugumalang.id – Pakar Hukum Universitas Brawijaya (UB), Dr Prija Djatmika SH MS, menyebut bahwa polisi tidak bisa mengelak soal kesalahan penembakan gas air mata dalam Tragedi Kanjuran. Artikel ini akan mengulas secara lengkap argumen Jatmika soal tragedi yang mematikan itu.
Malam 1 Oktober 2022 menjadi pil pahit yang harus ditelan Aremania. Laga dengan titel derbi penuh rivalitas Arema FC melawan Persebaya Surabaya itu berujung maut. 135 orang suporter meninggal dunia dan 600 lebih luka-luka akibat penembakan gas air mata ke arah tribun.
Kejadian ini membuat pecinta sepak bola di seluruh dunia terhenyak. Peristiwa brutal itu bahkan tercatat menjadi tragedi terbesar kedua di dunia sepanjang sejarah sepak bola. Suporter dari berbagai belahan dunia ikut bersolidaritas, termasuk suporter dalam negeri.
Mereka berharap penanganan hukum atas tragedi kemanusiaan ini ditegakkan seadil-adilnya, setuntas-tuntasnya.
Tugumalang.id berkesempatan untuk berbincang dengan Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya (UB) Malang, Dr Prija Djatmika SH MS. Dia juga menjadi ahli pidana dalam Sidang Tragedi Kanjuruhan ini.
Para Tersangka Tragedi Kanjuruhan
Seperti diketahui, total ada 6 orang telah ditetapkan menjadi tersangka. Mereka adalah Ketua Panpel Arema, FC Abdul Haris; Security Officer SS; Kabag Ops Polres Malang, Wahyu S; Danki Brimob Polda Jatim H; dan Kasat Samapta Polres Malang, Bambang Sidik Achmadi dan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita yang telah dibebaskan karena dinilai tidak cukup bukti.
Para tersangka dijerat Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP terkait kesalahan dan atau kealpaan yang menyebabkan kematian orang lain. Mereka juga dijerat Pasal 103 dan Pasal 52 UU RI Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Polisi Berupaya Pisahkan Gas Air Mata
Menurut Jatmika, sejauh ini proses sidang masih berjalan sesuai koridor hukum. Hanya saja, memang ada upaya hukum dari aparat kepolisian yang ingin memisahkan perkara tembakan gas air mata dari faktor utama penyebab kematian suporter.
Hal itu diperkuat dari hasil visum jenazah korban yang tidak ditemukan kandungan atau residu gas air mata. Hasil autopsi menunjukkan penyebab kematian akibat luka trauma atau terinjak-injak saat suporter berdesakan mencari jalan keluar stadion.
Namun, kata Jatmika, hal itu tidak bisa dipisahkan. Tetap saja tembakan gas air mata menjadi pemicu utama penyebab kematian 135 orang dan 600 lebih luka-luka. Jadi perkara kematian ini tidak bisa dilepas begitu saja dari multiple cause (penyebab jamak, red).
Mulai tembakan gas air mata, pintu tertutup hingga tidak ada koordinasi yang menyebabkan kealpaan dan menimbulkan kematian. Jatmika yang menjadi ahli pidana yang dihadirkan dalam Sidang Tragedi Kanjuruhan itu sampai berdebat habis.
“Ya dibalik lagi, kalau gak ada gas air mata ya enggak ada situasi berdesakan dan sampai menimbulkan kematian. Gas air mata adalah pemicu utamanya,” tegas Jatmika dihubungi tugumalang.id, Rabu (15/2/2023).
Lebih lanjut, apakah cukup proses hukum perkara penembakan gas air mata ini hanya dibebankan pada jajaran komandonya? Padahal ada 9 anggota lain yang diketahui menjadi eksekutor dalam tembakan gas air mata yang tidak terukur itu.
Kata Jatmika, itu juga masih menjadi perdebatan dalam sidang. Karena dari pihak penyidik merujuk Pasal 51 ayat 1 KUHP di mana menjalankan perintah jabatan itu tidak bisa dipidana.
“Yang bertanggung jawab ialah pemimpin pemberi perintahnya. Maka dari itu kalau dalam kerangka usut tuntas itu jadinya memang susah. Tapi kita lihat saja hakim nanti mengarahnya ke mana,” ujar dia.
Hanya saja, Jatmika juga menilai bahwa perintah untuk menembak gas air mata itu sendiri juga tidak jelas. Berdasarkan pengakuan, tersangka hanya memberi perintah untuk menembak.
Namun tidak jelas mengarah ke mana. Namun jika dilihat dari video, arah tembakan itu terkesan membabi-buta.
“Jadi saya kira hakim juga perlu menimbang asas proporsional untuk memperdalam motif komando itu. Perintah komandi itu kabur, tidak jelas ke mana? Ke depan, ke lapangan, kemana?,” terangnya.
PT LIB Harusnya Terlibat
Jatmika juga menambahkan bahwa kealpaan PT LIB sebagai operator penyelenggara dalam perkara ini juga seharusnya terlibat. Hanya saja, memang Direktur PT LIB telah dibebaskan karena tidak cukup bukti.
“Tapi harusnya sudah jelas terlibat karena Kapolres Malang sudah meminta jadwal pertandingan dimajukan sore hari. Namun dari PT LIB tetap ingin laga digelar malam hari. Kebijakan itu dinilai punya peran dalam terjadinya peristiwa itu, ada kealpaan,” nilainya.
Terlepas dari itu semua, Jatmika berharap seluruh aparat penegak hukum bisa bersikap bijak dalam perkara yang menewaskan ratusan suporter bola ini. Dia juga mendorong Aremania untuk mengawal jalannya sidang sampai ada putusan dan kasasinya.
Pihak internal dari klub Arema dan suporter sendiri harusnya juga bersikap bijak. Baru-baru ini, di tengah sidang Tragedi Kanjuruhan justru terjadi gejolak di kantor Arema FC. Parahnya lagi, insiden ini berujung proses pidana yang justru membuyarkan fokus perkara.
“Sebenarnya klub tidak perlu sampai mempidanakan suporternya sendiri. Masih ada asas restorative justice. Kan bisa diajak dialog. Lagi pula mereka kan juga suporter, satu keluarga. Jadi wajar saja mereka menyuarakan aspirasi ke klub,” tuturnya.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A