MALANG – Tugumalang.id merangkum peristiwa Tragedi Kanjuruhan sejak awal 1 Oktober 2022 hingga sekarang 1 November 2022. Terutama soal korban jiwa dan korban luka yang tetap menjadi perhatian. Selain kasus hukum yang tetap dikawal bersama agar bisa diusut secara tuntas.
Hingga saat ini 1 November 2022, atau tepat sebulan Tragedi Kanjuruhan, penyebab jatuhnya 135 korban jiwa masih berbeda-beda. Ada yang menyebut itu plin-plan. Satu lembaga menyebut sebabnya karena kekurangan napas, ada yang menyebut karena terinjak-injak, bahkan kabar hoaks juga menyebut penyebab meninggalnya korban karena miras.
Data resmi mencatat korban jiwa mencapai 135 orang, baik dari Aremania, maupun aparat keamanan. Selain itu, lebih dari 600 korban luka juga belum pulih sepenuhnya. Sebagian masih perlu perawatan intensif, sebagian ada yang sudah bisa beraktivitas.
Pengakuan Keluarga Korban
Korban asal Wajak Kabupaten Malang, Anggara Putra Pratama (13) yang dinyatakan tak bernyawa di RS Wafa Husada, saat peristiwa Tragedi Kanjuruhan.
Ibu korban, Sholehatun Romla (33), pada Rabu (5/10/2022) menyebut putranya meninggal dengan kondisi tubuh setengah menghitam. Kondisi tubuh korban mirip dengan gambar diri Angga yang berwarna gelap separuh.
Devi Athok, warga Bululawang Kabupaten Malang, menjadi salah satu yang sangat terpukul dalam tragedi itu. Dia kehilangan dua anaknya, Naila D Angraini (14) dan Natasya D Ramadani (16). Kepada wartawan pada 19 Oktober 2022, Athok memberi kesaksian bahwa kondisi kedua putrinya saat meninggal tidak biasa.
Korban Natasya, meninggal dengan kondisi biru kehitaman di area dada hingga kepala, hidung juga keluar darah. Untuk korban Naila, leher hingga kepala juga menghitam kebiruan, tetapi hidungnya keluar busa.
Athok sendiri mengaku gatal-gatal selama sepekan, karena mencium, memeluk, dan menyedot hidung korban. Athok sendiri tidak tahu pasti penyebab terjadinya kondisi tersebut pada kedua anaknya.
Baca Juga: Catatan Ombudsman Soal Kesamaan Ciri Korban Meninggal Tragedi Kanjuruhan
Berikutnya, korban meninggal bernama Reyvano Dwi Afriansyah, diketahui terdapat luka dan pembengkakan pada bagian kepala. Namun rumah sakit tidak menyebutkan diagnosa akhir atau apa yang menyebabkan kematiannya.
Ayah korban, Arif Yuliarto, menyebut putranya mengalami patah tulang di bahu, Jumat (21/10/2022).
Sedangkan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, Wiyanto Wijoyo, mengatakan pada Salasa (24/10/2022) bahwa luka di kepala korban tersebut bisa disebabkan oleh trauma karena terinjak atau berdesak-desakan. Dengan diagnosa awal yaitu superficial injury of head.
Untuk korban meninggal Farzah Dwi Kurniawam Jhovandha (20), Wiyanto membeberkan sejumlah diagnosa terakhirnya. Farzah disebutkan mengalami edema cerebri (pembengkakan otak), pneumoni (infeksi paru-paru), diffuse brain injury (cedera otak), syok sepsis (infeksi yang meluas), observasi kejang, dan patah tulang sphenoidalis kiri.
Temuan Tim Investigasi
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang diketuai Mahfud MD menyampaikan temuan-temuan hasil investigasinya. Salah satunya terkait diagnosa atau penyebab jatuhnya korban jiwa di Stadion Kanjuruhan.
Berikut Laporannya:
Sesuai dengan penjelasan dari Dirut RSUD Kanjuruhan dan staf berdasarkan diagnosa dan pemeriksaan fisik khususnya terhadap pasien korban luka, diperoleh kesimpulan awal bahwa umumnya penonton mengalami gangguan pernapasan akibat kebanyakan menghirup gas air mata yang ditembakkan aparat Brimob yang menimbulkan gas/asap yang menyebar kemana-mana dan kekurangan oksigen (hipoksia).
Hal tersebut terjadi karena asap gas air mata mendominasi lingkungan udara di tempat kejadian, sehingga mengakibatkan berkurangnya oksigen. Hipoksia yang dialami penonton/suporter ditambah dengan upaya keluar dari stadion melalui pintu dan lorong yang sempit mengakibatkan terjadinya rebutan keluar dan bahkan saling menginjak sehingga menimbulkan banyak korban.
Baca Juga: Autopsi 2 Jenazah Korban Tragedi Kanjuruhan Bakal Dilakukan 5 November 2022
Korban yang meninggal dunia diduga diawali dari dampak gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan dan asapnya menyebar dengan masif ke segala arah, sehingga menimbulkan kepanikan yang luar biasa dari para penonton yang berada di dalam lapangan.
Situasi makin mencekam ketika aparat dari Satuan Brimob menembakkan gas air mata ke arah Tribun, di mana semula suporter dalam keadaan normal menjadi ikut panik, sehingga memicu mereka untuk segera turun dari tribun dengan berebutan menuju pintu keluar stadion yang sudah sangat penuh oleh penonton/suporter yang dari dalam lapangan.
Hal ini menimbulkan suasana makin crowded, terjadi injak-menginjak dan di sinilah terjadi korban bergelimpangan dan diduga menjadi penyebab banyaknya korban meninggal dunia. (Laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang)
Wartawan tugumalang.id mewawancarai Pendamping Hukum Tim Gabungan Aremania (TGA) untuk korban Tragedi Kanjuruhan, Anjar Nawan Yusky, Minggu (30/10/2022). Anjar mengungkapkan adanya aduan langsung dari keluarga korban, salah satunya terkait apa sebab-sebab kematian para korban.
Menurutnya, korban luka dalam Tragedi Kanjuruhan rata-rata mengalami mata merah dan bengkak akibat iritasi, sesak napas, patah tulang hingga iritasi kulit seperti terbakar.
Sedangkan korban meninggal mayoritas menghitam kebiruan mulai dada hingga kepala dan mengeluarkan busa hingga darah dari hidung. Sebagian korban meninggal tidak terdapat luka sama sekali dan sebagian patah tulang rusuk, kaki, tangan hingga luka lecet.
Baca Juga: Pendamping Hukum TGA: Mayoritas Korban Meninggal Tragedi Kanjuruhan Berwajah Kebiruan
Kondisi itu kata Anjar, ditemui keluarga saat memandikan jenazah korban. Dia mengatakan bahwa keterangan medis yang diterima pihak keluarga korban terkait penyebab kondisi kebiruan pada wajah korban meninggal, sama sekali belum menjawab. Bahkan kondisi kebiruan itu masih menjadi misteri dan pertanyaan di benak keluarga korban hingga saat ini.
“Kalau misalkan dibilang infeksi paru-paru, infeksi itu karena apa. Keluarga korban sangat ingin tahu penyebab kematian sebenarnya,” kata Anjar.
Berdasarkan keterangan keluarga korban, Anjar menyebut informasi medis terkesan sangat terbatas. Hanya resum medis terkait patah tulang saja yang diinformasikan secara gamblang. Meski begitu, hampir semua keluarga korban tidak diberikan salinan resum medis terkait tindakan apa saja dan diagnosa penyakit yang diderita korban.
“Kalau kita lihat di UU Kesehatan hingga UU tentang Kedokteran, setiap tindakan medis, pasien itu kan berhak tahu resum medis dengan atau tanpa diminta,” tegasnya.
Keterangan RSSA Malang
Wakil Direktur Bidang Pelayanan Medik dan Perawatan RSSA Malang, Syaifullah Asmiragani mengkonfirmasi pada Senin (24/10/2022). Korban Farza yang dirawat RSSA Malang, meninggal karena mengalami multi trauma akibat cedera di kepala, paru-paru dan perut. Namun Farza juga disebutkan terpapar COVID-19.
Syaifullah mengatakan bahwa korban Tragedi Kanjuruhan rata-rata mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen akibat berdesak desakan. Dia menegaskan bahwa penyebab utama kematian korban bukan karena gas air mata.
“Gas air mata salah satu kontribusi. Jadi memang berdesak desakan itu yang menyebabkan kekurangan oksigen,” ucapnya.
Namun dia juga mengakui bahwa RSSA Malang tidak melakukan uji klinis atau pemeriksaan zat-zat gas air mata yang masuk melalui pernapasan korban Tragedi Kanjuruhan. Disebutkan, vonis penyebab kematian korban yang dirawat di RSSA hanya berdasarkan data luka-luka saja.
Keterangan RSUD Kanjuruhan
Direktur RSUD Kanjuruhan, dr Bobi Prabowo memberikan penjelasan pada Minggu (2/10/2022). Menurutnya, dari 21 korban meninggal yang dievakuasi ke RSUD Kanjuruhan, dugaan penyebab kematian mereka adalah trauma akibat terinjak-injak dan sesak napas akibat asap dan kekurangan oksigen.
“Korban mengalami gangguan pernapasan akibat asap dan kekurangan oksigen, juga terinjak-injak, itu menjadi satu. Itu semua kompilasi yang memperberat kondisi,” jelas dr Bobi Prabowo.
Namun ia menekankan perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab pasti kematian korban.
“Perlu kajian-kajian lagi yang mendalam untuk mengetahui penyebab utama kematian para korban,” imbuhnya.
Baca Juga: Sakit dan Duka Berlarut, Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Asal Tumpang Meninggal Dunia
Untuk korban yang kulitnya menghitam, Bobi menjelaskan korban tersebut mengalami iritasi karena gas air mata.
Penjelasan berbeda juga disampaikan oleh Posko Crisis Center Dinas Kesehatan Kabupaten Malang pada Kamis (13/10/2022).
Kabid Dokkes Polda Jawa Timur, Kombes Pol dr Erwinn Zainul Hakim mengatakan bahwa dari hasil pemeriksaan dokter forensik, ditemukan gejala asfiksia pada korban meninggal. Ia menyebut bahwa di sebagian besar korban tidak ditemukan adanya trauma.
Namun pemeriksaan ini hanya dilakukan pada korban meninggal di rumah sakit milik pemerintah, yaitu RSUD Kanjuruhan, RSSA, dan RS Bhayangkara Hasta Brata Batu.
“Untuk RS non fasilitas pemerintah, kami tidak ada datanya. Hanya ada catatan bahwa korban sudah dibawa pulang oleh keluarga masing-masing,” imbuh Erwinn.
Ombudsman Temukan Keganjilan
Ombudsman Republik Indonesia menemukan keganjilan pada keterangan polisi dan rumah sakit soal kondisi spesifik para korban meninggal dan luka-luka akibat insiden penembakan gas air mata pada Tragedi Kanjuruhan.
Kepala Ombudsman RI, Mokhammad Najih, pada Selasa (1/11/2022), mengatakan mengetahui adanya laporan perbedaan kondisi korban pasca kejadian. Sementara dari keterangan kepolisian yang dipublikasikan selama ini justru bertolak belakang.
“Yang jelas kami tahu perbedaan orang meninggal karena oksigen atau gas air mata. Tapi kami masih belum bisa menyimpulkan, keterangan dari para saksi masih kita kumpulkan,” kata Najih.
Dia juga telah menerima laporan dari korban ke-135 yang dinyatakan COVID-19 oleh RSSA Malang. Menurutnya, itu lucu. Terlepas memang potensinya ada. Padahal menurut keterangan keluarga korban, kondisinya saat digotong mengalami pembiruan pada bagian dada hingga wajah.
“Dia kan juga nonton di stadion. Kan lucu, dirawat medis karena tragedi, kok malah kena COVID-19 kan gimana ya. Itu kalau keluarga dapat fotonya malah bagus,” tuturnya.
Menurutnya, perbedaan keterangan informasi ini seharusnya segera diselesaikan. Bukan malah disepelekan. Dalam hal ini, para keluarga korban juga diminta untuk solid. Tim LBH yang memberi pendampingan, kata dia, juga harus bergerak mengingat ada dugaan intimidasi polisi kepada keluarga korban.
“Jadi meskipun sudah diberi santunan, ya secara konteks penegakan hukum harus berlanjut. Caranya ya bersedia untuk diautopsi. Jadi memang perlu saling menguatkan, antara Aremania hingga awak media kepada keluarga korban,” harapnya.
“Harus berani dan jangan sampai malah tidak mendukung upaya pengusutan tuntas ini. Ini ada 135 orang meninggal di stadion ini sudah luar biasa parah loh ini,” tegasnya.
Pada prinsipnya, Ombudsman berharap kepolisian bersikap profesional dalam penegakan hukum atas tragedi memilukan ini. Menurut dia, kaburnya informasi yang beredar saat ini merupakan cermin dari kepanikan institusi.
Di saat seperti ini, jelas Najih, seharusnya polisi tidak perlu membuat opini-opini tak perlu yang justru dapat membiaskan informasi. Karena ini menurut Najih juga berhubungan dengan citra polisi yang sedang memulihkan kepercayaan publik usai kasus Sambo.
“Tuntaskan dulu pemeriksaan baru informasi yang sudah utuh itu disampaikan. Jangan justru terkesan membuat masyarakat jadi bingung dengan opini-opini yang tak lengkap,” tegasnya.
“Jangan malah memperburuk citra polisi sendiri. Karena kalau tetap seperti ini kan yang memperburuk citra ya mereka sendiri,” imbuhnya.
Potensi Maladministrasi
Selain itu, Ombudsman RI juga melihat adanya potensi maladministrasi pada 5 lembaga yang bertanggung jawab, yaitu panitia pelaksana (panpel), Arema FC, operator pertandingan, PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) dan Polri.
Sebab itu, Ombudsman melakukan investigasi atas prakarsa sendiri (IN) sesuai pasal 7 huruf d Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Nantinya, hasil investigasi merumuskan tindakan korektif dalam penyelenggaraan kompetisi sepakbola, bukan mengarah ke tindak pidana.
Mokhammad Najih menjelaskan bahwa investigasi dilakukan terkait aspek pelayanan publik. Mulai sebelum peristiwa, saat peristiwa, realisasi bantuan hingga penegakan hukumnya. Sejauh ini, tim masih terus mengumpulkan data valid baik di lokasi kejadian maupun kelengkapan dokumen.
“Kita menaruh perhatian terkait aspek pelayanan publiknya. Sampai saat ini, kita mulai masuk untuk investigasi ke semua pihak. Termasuk pemeriksaan kepada tersangka, kita monitor terus,” ungkap Najih
Sebelumnya, Ombudsman telah merilis temuan maladministrasi dari sejumlah aspek yang diabaikan sesuai pasal 1 huruf 2 Regulasi Keselamatan dan Keamanan (RKK) PSSI 2021.
Yaitu, kelebihan jumlah penonton, kepastian layanan kedaruratan hingga mekanisme pengendalian massa oleh pihak kepolisian yang berlebihan. Dalam aturan itu sudah jelas menjamin keselamatan dan keamanan penonton di dalam stadion.
Apalagi, akibat insiden penembakan gas air mata itu mengakibatkan kepanikan massa sehingga saling berebut mencari pintu keluar. Faktanya, situasi ini justru semakin membuat korban jiwa berlipat ganda.
Padahal, meski penembakan gas air mata sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, namun dinilai tidak tepat karena kondisi stadion yang tidak sesuai standar. Lagi pula cara pengamanan seperti itu juga menyalahi standar FIFA pada pasal 19 FIFA terkait Stadium Safety and Security.
Ombudsman juga mendalami soal kebijakan PT LIB yang bersikeras agar derbi keras Jatim itu tetap dilangsungkan pada malam hari.
Pada dasarnya, kelalaian dalam memitigasi potensi kerusuhan itu termasuk dalam maladministrasi sesuai UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Belum lagi, polisi yang memunculkan simbol ‘Surabaya’ dengan menggunakan kendaraan taktis (rantis) atau truk polisi bertuliskan Polrestabes Surabaya.
“Dari kami masih akan terus menelusuri lebih dalam terkait potensi maladministrasi ini,” tegas Najih.
Reporter: M Sholeh, M Ulul Azmy, Aisyah Nawangsari, Imam A Hanifah
Editor: Herlianto. A