BATU – Pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI), Julianto Eka Putra (JEP), telah divonis Majelis Hakim dengan putusan 12 tahun penjara. Namun, kuasa hukum JEP tetap akan melakukan upaya banding dan membuktikan bahwa kliennya, JEP, tidak bersalah.
Ketua Tim Kuasa Hukum JEP, Hotma Sitompul, bilang jika perkara yang menimpa kliennya merupakan hasil rekayasa. Menurut dia, rekayasa itu dibuat untuk kepentingan mengambil alih pengelolaan yayasan.
”Ada banyak kejanggalan sebenarnya. Jadi saya kira ada pihak-pihak yang punya kepentingan di balik kasus ini. Jadi harus dihancurkan dulu, baru nanti SPI bisa diambil alih,” kata Hotma dalam kunjungan ke SMA SPI, Kamis (29/9/2022).
Kejanggalan-kejanggalan yang dimaksud Hotma kata dia seperti jarak antara terjadinya fakta kasus dengan pelaporan yang berjarak 12 tahun lamanya. Selain itu, bukti yang disampaikan kepada penegak hukum dinilainya hanya berdasarkan cerita atau tuduhan dari orang lain.
Menurut dia, fakta bukti itu masih belum bisa dijadikan bukti nyata bahwa kliennya melakukan pemerkosaan atau pelecehan seperti dituduhkan. ”Nanti kami tetap akan menempuh banding atas putusan itu. Semua kejanggalan itu akan kita beber. Klien kami belum sebenarnya bersalah sebelum ada putusan di tingkat MA,” tegasnya.
Nasib SMA SPI
Di lain sisi, Hotma berharap perkara hukum ini tidak sampai mengganggu aktivitas pendidikan siswa didik. Hotma menyayangkan atas penggiringan opini publik yang terjadi selama ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap siswa didik.
”Bagaimanapun sekolah ini punya tujuan yang baik dengan memberikan layanan pendidikan gratis kepada anak-anak tidak mampu. Kami harap mereka terus semangat menuntut ilmu,” ujarnya.
Perhatian terhadap nasib anak-anak di sekolah itu juga datang dari Wakil Ketua Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur Hikmah Bafaqih. Menurut dia, keberadaan sekolah yang menaungi anak-anak yatik piatu dan miskin dari berbagai daerah di Indonesia itu harus tetap ada.
Soal ini, Hikmah juga bersepakat dengan anggota DPRD lain untuk mendorong operasional pendidikan di sana, pasca perkara hukum yang mendera pemiliknya tersebut. Apalagi, SMA SPI menjadi salah satu sekolah penggerak yang ditunjuk Kemendikbudristek.
Dalam perkara ini, kata dia, proses hukum dan pendidikan anak harus dipisahkan. Dalam hal ini, sistem sekolah di sana sudah baik. Hanya saja tercoreng oleh perkara pelecehan seksual ini.
”Saya kira masyarakat harus adil, tidak melakukan generalisasi, seolah-olah sekolah di sana tidak baik. Harusnya memang masyarakat menyoroti kasus ini kepada JE, bukan sekolahnya,” ujarnya.
Pihak sekolah, sambung Hikmah tidak perlu khawatir karena dalam hal ini sekolah tidak berkaitan dengan perkara hukum tersebut. Pihaknya siap memberikan dukungan agar kegiatan pembelajaran terhadap siswa yang ada bisa berlangsung dengan tenang dan aman.
“Jangan sampai perkara ini kemudian merusak keberlangsungan sekolah yang menurut kami baik ini,” tandasnya.
Terpisah, Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait, juga menegaskan tidak ada sama sekali keinginan untuk menuntut agar sekolah ditutup. ”Saya pastikan kepada semuanya, tidak ada niatan kami sedikitpun untuk menutup SPI,” ungkap Arist.
Menurut Arist, bagaimanapun, sekolah tetap harus menjadi tempat yang aman bagi anak. ”Kami hanya ingin memutus mata rantai kejahatan seksual,” tandasnya.
Reporter: Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A