MALANG, Tugumalang.id – Sebanyak tujuh pramusaji Warung Kopi Cetol yang masih di bawah umur telah menjalani pemeriksaan di Satreskrim Polres Malang. Mereka menjawab sejumlah pertanyaan dari penyidik, mulai dari latar belakang keluarga hingga gaji yang mereka terima dari pemilik warung.
Mereka diamankan saat penertiban Warung Kopi Cetol di Pasar Gondanglegi pada Sabtu (4/1/2025) lalu. Tujuh pramusaji tersebut berasal dari Kecamatan Sukun Kota Malang, Kecamatan Dampit, Pagak, Wajak, Wonosari, dan Wagir Kabupaten Malang.
Berikut adalah lima fakta berdasarkan pengakuan mereka kepada pihak kepolisian:
1. Semua pramusaji di bawah umur putus sekolah
Sebanyak tujuh pramusaji yang diperiksa Unit PPA Satreskrim Polres Malang tidak ada yang melanjutkan pendidikan. Ada yang hanya tamat SD, ada juga yang hanya tamat SMP.
Baca Juga: Tanggapi Penertiban Warung Kopi Cetol di Gondanglegi, Bupati Malang Akan Tindak Tegas Praktik Serupa
Meski sebagian putus sekolah karena masalah ekonomi, ada juga yang putus sekolah karena memang tidak mau melanjutkan pendidikan.
“Mereka nggak ada yang sekolah,” kata Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), Aiptu Erlehana BR Maha.
2. Gaji Rp650 ribu belum termasuk tip
Pramusaji yang bekerja di Warung Kopi Cetol menerima gaji Rp650 ribu per bulan dari atasan mereka. Ini belum termasuk tip yang mereka terima dari pengunjung. Tip yang diterima bervariasi dan bisa mencapai Rp50 ribu untuk satu pengunjung.
“Gaji bulanan ini didapat dari bosnya sebagai pelayan. Fee itu dia dapat dengan cara pendekatan ke pelanggan,” ujar Leha.
3. Direkrut dengan metode mulut ke mulut
Warung Kopi Cetol tak pernah membuka rekrutmen secara terang-terangan. Pramusaji yang sudah bekerja di sana mengajak teman mereka untuk menjalani profesi yang sama.
Baca Juga: Warung Kopi Cetol Digerebek, Pemilik Warung hingga Pengunjung Diamankan Polisi
Beberapa anak ikut bekerja karena coba-coba. Mereka yang tak menyukai pekerjaan tersebut kemudian resign. Akan tetapi, setelah merasakan susahnya mencari uang di tempat lain, mereka kembali bekerja di Warung Kopi Cetol.
“Ada yang mengaku baru bekerja beberapa bulan. Ada yang putus nyambung. Jadi bekerja, berhenti, lalu bekerja lagi,” kata Leha.
4. Malamnya bekerja lagi di warung remang-remang lainnya
Pemilik Warung Kopi Cetol rupanya tak hanya membuka praktik warung dengan layanan plus plus di Pasar Gondanglegi saja. Mereka juga memiliki lapak serupa di tempat lain.
Pramusaji yang bekerja di Warung Kopi Cetol pada siang hari juga bekerja di lapak tersebut pada malam harinya. Lokasi lapak ini beragam. Ada yang di pinggir jalan, ada juga yang tersembunyi.
“Kalau siang itu bekerja di pasar, tapi kalau malam sebagian dari mereka pindah tempat yang di pinggir jalan,” imbuh Leha.
5. Mengaku bekerja sebagai ART atau karyawan toko pada orang tua
Orang tua pramusaji Warung Kopi Cetol tak tahu anak-anak mereka memberikan pelayanan plus plus kepada laki-laki.
Kepada orang tua, para pramusaji di bawah umur ini mengaku bekerja di toko atau bekerja sebagai asisten rumah tangga. Ada juga yang tidak mengaku bekerja dan hanya pamit pergi ke suatu tempat.
“Orang tua tidak ada yang tahu anak ini bekerja di tempat tersebut,” ujar Leha.
Saat ini pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan atas dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Warung Kopi Cetol. Para pemilik diduga melakukan eksploitasi dan ekonomi terhadap anak di bawah umur.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
Editor: Herlianto. A