BATU – Orang lebih mengenal kawasan ini dengan nama Payung. Sebuah destinasi wisata legendaris berupa warung-warung sederhana yang berada persis di pinggir jurang pegunungan di sepanjang jalan Kelurahan Songgokerto, Kota Batu, Jawa Timur.
Jika Anda ingin menuju Gunung Banyak Paralayang pasti akan melewati kawasan Payung ini. Di sana, bangak warung yang menjual aneka makanan dan minuman sederhana untuk menghangatkan badan. Mulai jagung bakar, sate kelinci, mie instan, olahan susu sapi dan masih banyak lagi.
Dulu, kawasan ini selalu menjadi destinasi jujugan utama wisatawan, baik orang Kota Malang maupun dari luar kota. Selain itu, banyak juga remaja yang menjadikan kawasan ini untuk nongkrong.
Segarnya udara khas pegunungan dan indahnya pemandangan menjadi alasan kuat para wisatawan yang datang. Rata-rata, orang akan menjadikan kawasan ini sebagai rest area setelah melakoni perjalanan dari Kediri atau sebaliknya.

Konon, dulu banyak pedagang di sini menjual jagung bakar dan aneka minuman hangat dengan membuka tenda-tenda berbentuk payung. Hingga kemudian orang-orang menyebut kawasan ini dengan nama Payung dan dikenal sampai sekarang.
Namun popularitas kawasan ini mulai tenggelam sejak bermunculannya destinasi wisata baru di Kota Batu. Menurut salah satu pedagang, Joko (53), anjloknya peminat wisatawan ke kawasan Payung sudah terjadi sejak sekitar 2014-2015 silam.
Sekira 7 tahun lalu. Waktu itu, Kota Batu dipimpin oleh Wali Kota Batu Eddy Rumpoko yang juga fokus menaikkan jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Apel itu. Seiring waktu, lahirlah destinasi wisata baru di berbagai titik.
Dulunya, destinasi wisata di Kota Batu terpusat sebagai wisata alam seperti kawasan Agro, Selecta, Songgoriti, Gunung Banyak Paralayang dan Coban Rondo. Termasuk kawasan Payung. Kini, semakin menjamur dengan kehadiran Jatim Park, Batu Flower Garden, Batu Secret Zoo hingga kampung desa wisata lainnya.
Kawasan Payung menjadi salah satu destinasi wisata yang akhirnya kalah pamor. Jika dulunya kawasan Payung setiap malamnya dipenuhi motor dan mobil yang parkir, kini tak lagi terlihat. Seringkali hanya terlihat satu dua sepeda motor yang terparkir.
“Saya sudah jualan di sini belasan tahun, sejak 1998. Kalau dulu itu malah banyak pengunjung itu sampai gak bisa cari parkiran. Banyak yang kehabisan tempat. Kalau sekarang sudah sepi,” kata Joko.
Penurunan minat wisatawan ke sana ditengarai mulai anjlok sejak 2015-an. Saat ini, para penjual hanya bisa bertahan hidup dengan mengandalkan pemasukan di akhir pekan. “Alhamdulillah kalau sabtu minggu itu masih ada saja yang ke sini,” ujar warga Desa Punten, Bumiaji ini.
Meski begitu, para pedagang tetap bertahan karena hanya itu satu-satunya alternatif mereka untuk bertahan hidup hingga kini. Hingga kemudian mereka kembali dihadapkan cobaan ketika wabah COVID-19 menyerang.
“Selama dua tahun kemarin ya akhirnya tutup, orang juga sepi. Setelah normal, ternyata juga masih sepi. Ya tapi masih ada lah satu dua pelanggan yang masih datang. Kalau keseluruhan ya sepi sekali,” katanya.
Sekarang, bisa mendapat 15 pelanggan saja kata dia, buka sampai dini hari itu sudah bagus. Kondisi ini hampir dirasakan oleh semua pedagang yang tersebar di 3 kawasan. Payung 1, Payung 2 hingga Payung 3 yang berada di ketinggian paling atas.
Diakuinya, memang kawasan Payung kalah jauh dengan jujugan wisata lain. Apalagi sejak kehadiran kafe-kafe bernuansa modern yang lebih digandrungi anak-anak muda sekarang. “Kami ini siapa, Mas ya gak bisa gitu. Jualannya kan ya sederhana aja kayak gini,” akunya.
“Ya sekarang cuma bisa pasrah. Kalau ada orang ya Alhamdulillah, kalau gak ada ya sudah. Di sini kan juga rata-rata banyak yang orang tua, kadang mereka hanya bisa ngersulo (mengeluh, red),” tuturnya.
Melihat jejak kelegendarisan destinasi wisata ini tentu diharapkan bagi Pemkot Batu untuk memberi perhatian atau solusi lain sebagai bentuk kepedulian terhadap ekonomi pariwisatanya. Namun hingga kini, tidak terlihat ada perhatian atau sentuhan berarti dari pemerintah kepada mereka.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A