MALANG, Tugumalang.id – Kota Malang menjadi salah satu kota rujukan bagi Komnas Perempuan untuk mendapat masukan bagi perumusan kebijakan berkaitan dengan perempuan pekerja rumahan.
Hal itu disampikan Badan Pekerja Komnas Perempuan Divisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan RI, Tiasri Wiandani, saat audiensi dengan Wali Kota Malang Sutiaji di ruang rapat Walikota, Senin (19/6/2023).
Komnas Perempuan memotret perempuan pekerja rumahan belum mendapatkan hak-hak selaku pekerja secara memadai, termasuk dalam sisi perlindungan.
“Dua sisi kritis yang sudah kami cermati, ada kecenderungan pelaku usaha melakukan strategi pemangkasan biaya produksi seperti penggunaan listrik dan lain lain serta pemanfaatan atas kondisi keterdesakan ekonomi para pelaku pekerja rumahan sehingga tidak memiliki posisi tawar,” jelas Tiasri.
“Ini diperparah dengan tidak ada perjanjian kerja,” tambahnya.
BACA JUGA: Datangi Lapas Lowokwaru, Ketua Komnas PA Pastikan Bos SMA SPI Kota Batu Ditahan
Ketertarikan Komnas Perempuan RI terhadap kota Malang, satu diantaranya karena Pemkot Malang telah memberikan jaminan kesehatan 100 persen kepada semua warganya atau sering diistilahkan dengan Universal Health Coverage (UHC).
Serta, adanya Musrenbang Tematik Perempuan. “Dari situ, kami sangat berharap kota Malang juga ada kebijakan terhadap jaminan perlindungan ketenagakerjaan kepada kelompok perempuan pekerja rumahan,” imbuh Tiasri.
Sementara itu Pak Aji, sapaan akrab Wali Kota Malang ini menegaskan komitmennya berkaitan dengan Pengarusutamaan Gender (PUG).
“Saya menangkap perhatian khusus terkait isu pekerja perumahan. Pemerintah Kota memiliki komitmen atas hal tersebut. Tidak sekadar kekerasan secara fisik namun juga psikis. Oleh karenanya, saya minta musrenbang 2024 memasukkan isu pekerja rumahan,” tegasnya.
Lantas, Sutiaji memerintahkan OPD teknis dan Bagian Hukum, yang saat ini tengah berlangsung proses pembahasan peraturan daerah tentang PUG, agar ditambahkan klausul pasal khusus berkaitan dengan perempuan pekerja rumahan.
Kepada Komnas Perempuan RI, ia juga mengajak dikuatkannya berkomitmen akan pemanfaatan DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau) ke Kemenkeu.
“Kita lihat energi DBHCHT sangat besar dan belum termanfaatkan secara maksimal. Mari kita perjuangkan Permenkeu yang mengatur penggunaannya, satu diantaranya bisa dikhususkan untuk perempuan pekerja perumahan,” tegas Pak Aji.
Disisi lain, Yuyun Ekowati, salah satu pekerja rumahan yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Pekerja Rumahan (JPPR) RI wilayah Malang, mengakui bahwa selama ini tidak ada perjanjian / kontrak kerja secara khusus.
Perempuan yang bekerja borongan konveksi itu, dalam testimoninya masih bersyukur. Sebab, di wilayahnya para pekerja masih dapat melakukan proses negosiasi dengan pemberi kerja untuk urusan penyesuaian upah.
Perempuan yang berdomisili di wilayah Polehan tersebut, menuturkan bahwa pemberi kerja di Malang juga memberikan bantuan peralatan jahit. Selain itu, memberikan keleluasan untuk memanfaatkan limbah kain untuk produksi pernak pernik. Hal ini nampak dengan berdirinya Sekolah Pekerja Rumahan di Polehan.
Bagi Komnas Perempuan, potret yang didapat melalui salah satu di antaranya JPPR RI yang ada di daerah, belum dapat memberikan perlindungan secara paripurna bagi kelompok rentan dimaksud.
Terlebih belum semua daerah terbentuk JPPR RI. Di Jawa Timur, baru 6 daerah, termasuk kota Malang.
Diketahui, agenda Komnas Perempuan RI ke kota Malang dilakukan, setelah sebelumnya menyasar kota Solo dan Yogyakarta. Audiensi ini menyasar kelompok yang masuk dalam kategori Putting of System (POS) atau pekerja borongan (rumah). Dimana, kebanyakan dari identifikasi Komnas adalah mereka yang single parents atau suaminya bekerja secara serabutan.
Reporter: Feni Yusnia
editor: jatmiko