MALANG – Pusat Gender dan Kesehatan (PGK), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Negeri Malang (UM) kembali menyelenggarakan World Conference on Gender Studies (WCGS) untuk kedua kalinya, pada Rabu (6/9/2021),
Konferensi yang dilaksanakan secara daring ini turut menggandeng School of Human Resource Development and Psychology (SHARPS) Universiti Teknologi Malaysia (UTM) dan didukung oleh Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI). Dengan mengusung tema “Gender Equity And Social Inclusion For Social Resilience”.

Rektor Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr AH Rofi’uddin MPd membuka acara tersebut. Diskusi ini berlanjut hingga terbagi menjadi dua sesi. Pada sesi Plenary I, bertindak sebagai moderator sesi pertama adalah dosen UTM Dr Mohd Ferdaus Harun, dengan pemateri perwakilan SHARPS UTM Prof Dr Siti Aisyah Bt Panatik dan Ketua ASWGI Prof Dr Emy Susanti.
Pada panel tersebut, Prof Siti Aisyah berbicara tentang perubahan dalam dunia kerja yang disebabkan oleh pandemic COVID-19. Seperti, semakin normalnya kerja dari rumah (WHF) dan runtuhnya batas antara ranah publik dan privat. Ia menyebut bahwa integrasi antara ruang kerja dan ruang hidup saat ini bisa menjadi gambaran masa depan dalam pengelolaan dunia kerja dan keseharian.
“Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan, khususnya perempuan, mengalami beban kerja yang besar. Karena beberapa pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan dapat menghabiskan waktu dan energi mereka lebih dari pekerjaan profesional mereka, sehingga mudah membuat mereka merasa stress,” katanya.
Prof Emy Susanti menambahkan, pandemi COVID-19 juga berakibat pada beberapa perubahan dalam keluarga, termasuk masalah kontradiktif kerja produktif di luar rumah yang dibayar dan pekerjaan di rumah.
“Apa yang bisa kita pelajari dari perubahan keluarga selama pandemi COVID-19 adalah munculnya ketidaksetaraan gender secara bersamaan. Itulah sebabnya perubahan ini membutuhkan lebih banyak perhatian. Kesetaraan gender harus menjadi bagian dari perubahan sosial dan keluarga sehingga akan memperkuat ketahanan sosial,” ungkap dia.
Selanjutnya, seminar berlanjut pada sesi Plenary II yang dipandu Diirektur Hubungan Internasional, UM Dr Evi Eliyanah. Serta perwakilan Monash University Dr. Nadirsyah Hosen, perwakilan University of Konstanz Dr Mirjam Lücking dan perwakilan UM Dr. Ahmad Munjin Nasih selaku narasumber. Ketiganya membahas perdebatan tentang hukum Islam dengan Indonesia sebagai contoh kasus.
Nadirsyah Hosen atau biasa disapa Gus Nadir membahas tentang peran publik perempuan dalam reinterpretasi hukum Islam yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Sehingga dapat mengakomodasi kepentingan dan pengalaman perempuan. Menurutnya, perlu infrastruktur sosial dan hukum yang baik dan responsif terhadap isu-isu perempuan untuk dapat mendorong terbentuknya perdebatan yang sehat tentang hukum agama, khususnya yang memiliki dimensi gender yang kuat. “Silakan tafsir agama diperdebatkan, tetapi kita tidak boleh lupa menyiapkan sistem sosial dan hukum yang menjamin keamanan setiap orang,” tegasnya.
Dr Mirjam Lücking, membahas tentang dimensi gender dalam mobilitas orang Indonesia ke dunia Arab, termasuk ke Arab Saudi dan Yerusalem. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Lücking menemukan bahwa tidak saja hubungan antara Muslim Indonesia dengan dunia Arab bersifat ambivalen, namun juga sarat dengan elemen gender.

Muslim Indonesia yang melakukan perjalanan ibadah ke dunia Arab, lanjutnya, pada satu sisi mengagungkan dunia Arab sebagai tempat lahirnya Islam dan tempat orang-orang suci dan alim, tapi juga sangat kritis terhadap norma dan nilai yang dipegang oleh orang Arab, termasuk yang berkaitan dengan gender sehingga pada akhirnya, mobilitas berbasis agama yang terorganisir dengan rapi ini cenderung mengukuhkan identitas ke-Indonesiaan mereka, termasuk nilai dan norma gender yang terkait identitas keindonesiaan.
Sedangkan Ahmad Munjin Nasih menyoroti pergeseran perempuan pesantren dalam konstelasi kepemimpinan pesantren. Dengan semakin menguatnya kepemimpinan perempuan di pesantren, hal ini menegaskan pentingnya peran perempuan tidak hanya dalam pendidikan namun juga dalam produksi keilmuan tentang Islam itu sendiri. Dalam konteks pesantren, peran ulama perempuan sangat signifikan dalam mengarusutamakan pengalaman dan pandangan perempuan dalam reinterpretasi hukum syari’ah.
“Untuk itu, pentingnya keterlibatan ulama laki-laki dalam mendukung pengarusutamaan gender di pesantren agar kampanye kesetaraan gender tidak terkesan ofensif karena dilakukan oleh pihak tertindas. Keterlibatan laki-laki akan menjadi penguat bahwa kesetaraan dan keadilan gender adalah agenda bersama untuk kemaslahatan ummat,” tukas dia.
Adapun, sesi konferensi kemudian dilanjutkan dengan diskusi parallel yang terbagi dalam lima ruangan dengan masing-masing mengakomodasi sekitar 15 hingga 20 pemateri. Topik yang diangkat sangat beragam, mulai dari pendidikan, media, sastra, kesehatan dan lain-lain. Diskusi pada masing-masing ruangan juga cukup hangat.
“Dengan demikian, diharapkan konferensi yang diapresiasi banyak peserta karena juga menampilkan juru bahasa isyarat ini bisa menjadi wadah penting bagi diseminasi pemikiran dan ide-ide bernas tentang kesetaraan dan inklusivitas,” tandas Ketua PGK LP2M UM Azizatuz Zahro’.