Tugumalang.id – Peliknya persoalan TPA Tlekung Kota Batu, Jawa Timur, mencapai puncaknya pada 2023. Dua pekan lalu, masyarakat Desa Tlekung kembali melancarkan protes dengan memblokade akses masuk ke TPA pada Jumat 28 Juli 2023 lalu.
Aksi itu menuai respons dari Pj Wali Kota Batu, Aries Agung Paewai, yang baru saja menjabat selama 7 bulan. Dia bahkan sampai merelakan berkantor di sana selama sebulan ke depan untuk menuntaskan persoalan yang tak rampung sejak bertahun-tahun lalu.
Peliknya permasalahan itu juga menjadi perhatian salah satu pegiat lingkungan hidup Kota Batu, Bayu Sakti. Pria yang juga pengawas HIPPAM di Desa Junrejo itu memaparkan hasil analisis sementara dari pengamatannya selama bertahun-tahun.
Baca Juga: Progres Tata Kelola Sampah TPA Tlekung, Tangani Air Lindi hingga Bau Sampah
Menurut Bayu, tata kelola sampah di TPA Tlekung butuh diaudit. Bayu menjelaskan, saat ini TPA Tlekung menerapkan sistem ‘controlled landfill’. Sistem ini merupakan perpaduan dari sistem open dumping dengan sistem ‘sanitary landfill’. Di mana sampah ditimbun, dipadatkan dan kemudian ditutup lapisan tanah.

Meski sistem ini sangat cocok diterapkan di kota kecil atau sedang, tetapi ini agaknya butuh pengawasan ketat karena jika tidak sesuai kriteria, maka TPA Tlekung akan kembali menerapkan sistem open dumping yang mana hal itu sudah dilarang.
Kendati demikian, saran Bayu, TPA Tlekung harus lebih ‘berani’ menerapkan sistem pemrosesan sampah paling aman agar tidak ada lagi resiko dan dampak sosial dan lingkungan yang timbul di kemudian hari.
Baca Juga: Progres Tata Kelola Sampah TPA Tlekung, Tangani Air Lindi hingga Bau Sampah
“Maka itu, perlu ada audit tata kelola sampah. Jika memang melaksanakan sistem controlled landfill, maka praktiknya di lapangan harus dicermati dan dievaluasi secara ketat,” terang Mahasiswa Pascasarjana Teknik Jurusan Sistem Industri dan Lingkungan UGM ini, Selasa (8/8/2023).
Kenapa perlu diaudit? Kata Bayu, umur operasional TPA Tlekung telah habis pada 2016-2017 lalu atau sekitar 8-9 tahun sejak beroperasi pada 2008. Maka data operasi rentang waktu 5-10 tahun ke belakang dipandang cukup sebagai bahan audit.
Dari proses audit ini, nantinya jelas Bayu akan dapat menjawab banyak hal. Seperti berapa besaran retribusi pelayanan sampah yang ideal? Apa cukup untuk pengelolaan, atau hanya cukup untuk memindahkan atau mengangkut? Berapa besaran dana diperlukan untuk sebuah sistem pengelolaan sampah yang komperehensif dan berkelanjutan.
Selain itu juga dapat membantu Pemerintah Kota Batu merumuskan langkah optimasi kinerja penanganan sampah ke depan secara tepat sasaran dan bijak. Audit juga dapat memotret kapasitas TPA Tlekung yang telah beroperasi selama 15 tahun itu sesuai gambaran faktualnya.
“Dengan begitu, perumusan langkah bersama sesuai masing-masing peran seluruh unsur dapat tersusun baik. Misalnya kemitraan dengan unsur masyarakat seperti bank sampah yang telah ada, ke depannya diapakan,” kata dia.
Bayu menambahkan audit harus dilakukan secara independen dengan hasil yang transparan. Dengan begitu, hal itu akan mendorong masyarakat lebih peduli dan mau berperan aktif mencari solusi permasalahan penanganan sampah di Kota Batu.
Kunci Suksesnya di Masyarakat
Terlepas dari kerumitan pengelolaan sampah yang ada, sebenarnya kunci suksesnya menurut Bayu hanya satu, yaitu sampah yang terpilah. Menurut Bayu, tidak bercampurnya sampah organik dan non organik, menjadi salah satu kunci efektifitas pengelolaan sampah di TPA menjadi lebih baik.
Bahkan, Perda Kota Batu No. 2 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah pada Pasal 17 telah mengamanahkan Pemerintah Kota untuk wajib medorong masyarakat mengurangi sampah hingga pendaurulangan sampah secara mandiri.
Pada pasal yang sama Pemerintah Kota Batu juga wajib memberikan pelayanan jasa pengangkutan sampah dari TPS/TPST ke TPA secara terpilah antara sampah organik dan anorganik. Dengan begjtu, jumlah sampah yang dikirim ke TPA bisa ditekan.
Saat ini, dari 15 TPS 3R yang terbangun, ungkap Bayu hanya ada 4 TPS 3R yang dapat beroperasi. Apabila dicermati, kendalanya salah satunya terletak pada manajemen proyek. Misalnya, dukungan anggaran membangun suatu TPS 3R berasal dari kolaborasi anggaran Pemerintah Kota dan Pemerintah Desa.
Apabila salah satu tidak komitmen, maka TPS 3R tersebut tentu tidak dapat dioperasikan, mangkrak, bahkan resiko rusak sebelum digunakan. Atau TPS 3R yang dibangun adalah gedung kantor atau area pemilahan terlebih dahulu tanpa komposter, setelah terbangun tentu tidak langsung dapat dimanfaatkan secara sempurna.
Upaya mandiri masyarakat mengelola sampah sebenarnya patut diacungi jempol. Kota Batu telah memiliki 209 bank sampah. Bank sampah tersebut berperan aktif dalam penanganan sampah yang dapat kembali digunakan (reuse) atau didaurulang (recycle).
Setiap RW, kata Bayu, juga memiliki pengurus kebersihan lingkungan yang fokus agar sampah di kampungnya tertangani dengan baik dan tidak menimbulkan masalah lingkungan.
Sayangnya, karena masih lebih banyak wilayah desa/kelurahan yang TPS 3R-nya belum dapat dioperasikan, maka sampah rumah tangga yang dihasilkan langsung dikirim ke TPA. Pengolahan sampah organik secara mandiri di rumah atau komunal di lingkungan RT/RW akan berpengaruh pada jumlah sampah di TPA.
Pemanfaatan sampah organik sebagai makanan maggot juga mulai berjalan secara mandiri oleh kelompok masyarakat. Walaupun masih belum masif di seluruh wilayah Kota Batu dengan angka produksi yang konsisten.
Kontribusi masyarakat dalam pengelolaan sampah juga dapat diperkuat dengan pengolahan sampah organik dengan komposter, Loseda (lodong sisa dapur) atau produk Kota Batu yaitu Bosima (bolongan sisa makanan).
Ekonomi sirkular yang berprinsip residu sebuah sistem dapat menjadi bahan baku untuk sistem yang lain, dapat diterapkan oleh siapapun termasuk Kota Batu yang memiliki karakteristik lahan terbatas dengan beban sampah tinggi.
Sistem pengelolaan sampah di Kota Batu kata Bayu sudah saatnya disesuaikan dengan prediksi situasi di masa depan. Pemilahan wajib dilakukan dengan upaya yang lebih teliti hingga tidak ada lagi sampah anorganik yang masuk ke TPA.
Sampah Perlu Dikelola Jadi RDF
Upaya optimasi lain juga diperlukan. Seperti sampah organik tidak selalu hanya selesai ditimbun, dipadatkan dan ditutup dengan tanah, namun juga dikurangi kadar airnya agar berkurang mencapai <20-25% sehingga menjadi Refuse Derived Fuel (RDF) atau keripik sampah untuk bahan bakar co-firing PLTU.
Program pengolahan sampah untuk RDF ini juga kabarnya telah berjalan di Cilacap, antara PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) dengan Pemkab Cilacap. Manfaatnya selain sampah lebih bernilai ekonomis juga penghematan pada biaya pembebasan lahan.
Sedangkan untuk sampah anorganik bisa menjadi bahan baku industri pengolahan yang lain yang bisa jadi selama ini dicukupi dengan impor.
“Masukan saya untuk metode penanganan sampah di TPA Tlekung, Kota Batu adalah pilah – packing – angkut. Sehingga jumlah sampah yang tertinggal di TPA Tlekung dapat ditekan sesedikit mungkin,” ungkapnya.
Sebagai praktisi keairan, Bayu selalu khawatir TPA Tlekung pada satu ketika, kalau sistem penanganan sampahnya tidak segera diperbaiki, air lindi sampah akan merembes lagi, bocor lagi, lalu masuk lagi ke sungai yang melewati sumber air bersih warga dan sumber air irigasi desa tetangga.
“Maksud didirikannya TPA Tlekung ini kan untuk menangani masalah, bukan memunculkan masalah. Jadi saya kira sekarang adalah waktu yang tepat bagi Kota Batu fokus berbenah masalah sampah,” tandasnya.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A