MALANG – Jika Anda berkunjung ke Museum Singhasari yang berada di Desa Klampok, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, hal pertama yang akan Anda lihat adalah taman dengan patung Ken Dedes, Ken Angrok, dan Dwarapala di dalamnya.
Di belakang taman, terdapat pendopo dengan replika batu Lingga-Yoni di pintu masuknya. Semua karya seni tersebut merupakan karya satu orang, yaitu Supartono atau yang biasa dipanggil Mbah Kung.

Selain patung-patung di depan museum, ia juga membuat diorama atau sajian tiga dimensi sejarah berdirinya Kerajaan Singhasari (Tumapel) yang berada di ruang pamer museum.
Anda juga bisa membawa pulang karya Supartono dalam bentuk souvenir yang berupa miniatur patung Ken Dedes dan Ken Angrok serta minatur batu Lingga-Yoni.
Saat ditemui Tugu Malang, pria kelahiran Tuban ini mengenakan kaos hitam dengan tulisan “Belajar di Museum” serta topi beanie berlabel Bromo yang disemat bros Bendera Merah Putih dan Garuda Pancasila.
Sosok Supartono sangat rendah hati. Meski telah memiliki banyak karya, ia mengaku masih belum mengerti apa-apa dan harus banyak belajar.

“Aku iki wong ga iso opo-opo (aku ini orang yang tidak tahu apa-apa),” katanya sembari menangkupkan tangannya di dada.
Meski begitu, ia bersedia berbagi cerita dan pemikirannya, khususnya tentang budaya-budaya Jawa yang saat ini mulai ditinggalkan oleh generasi muda.
Diawali dengan kisah pembuatan patung-patung, ia mengatakan prosesnya tidak semudah yang dibayangkan orang. Ada syarat-syarat yang harus ia penuhi terlebih dahulu.
Syarat-syarat ini bersifat metafisika. Ia harus melakukan ritual untuk mendapatkan restu. Ini disebabkan patung-patung tersebut tidak boleh dibuat secara asal-asalan karena bisa mendistorsi sejarah.
“Ini kan bukan sekedar patung, ya. Patung dan relief itu adalah dokumentasinya para leluhur,” kata Supartono.

Ia juga mengandaikan pembuatan patung atau lukisan tanpa ijin sama dengan paparazzi yang mengambil gambar orang tanpa ijin. Oleh karena itu, ia hanya mengerjakan patung-patung tersebut setelah memenuhi semua syarat yang diminta.
Supartono menyadari bahwa ada syarat untuk melakukan ritual sebelum membuat patung akan sulit untuk diterima generasi muda.
Ia menyayangkan hal tersebut karena itu berarti budaya Jawa semakin tergerus oleh budaya-budaya dari luar.

Namun ia tidak mau menyalahkan anak-anak muda ataupun teknologi dan informasi yang semakin hari semakin berkembang.
“Seharusnya generasi tua ini yang melestarikan dan mengajarkan pada anak-anak muda,” katanya.
Ia mengakui budaya Jawa yang berbau metafisika akan susah dimengerti oleh masyarakat. Apalagi jika info yang beredar hanya sepotong-sepotong, tanpa ada penjelasan.
“Sejarawan tahu tentang ritual dan cara-caranya, tapi mereka nggak mengerti apa maksudnya,” sesal Supartono.
“Budaya Jawa bisa kembali hidup juga hal-hal metafisika ini dilogikakan,” imbuh pria berusia 75 tahun ini.
Ia memberi contoh tentang penggunaan dupa saat sembahyang. Banyak yang menilai penggunaan dupa sebagai hal negatif karena berkaitan dengan memuja roh halus.
“Padahal dupa dinyalakan itu bukan untuk memuja ini itu, tapi karena ia menghasilkan bau seperti aromatherapy. Dengan bau itu, orang bisa fokus berdoa,” kata Supartono.
Dupa digunakan karena dulu minyak wangi adalah barang mewah. Golongan bangsawan bisa menggunakan minyak wangi, tapi masyarakat biasa hanya mampu menggunakan dupa.
“Orang akan mau melakukan kalau mereka paham. Kalau kita bisa menjelaskan, mungkin mereka akan meniru,” pungkasnya.
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: Jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id