O l e h: A B D. A Z I Z*
Pasca diskusi kebangsaan bersama advokat Shalih Mangara Sitompul, Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) di Grand Slipi Tower, Jakarta Barat, Selasa (27/04) siang.
Ada beberapa persoalan hukum yang menganga di Republik ini. Misalnya, seorang anggota KPU diberhentikan tetap oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Putusan DKPP bersifat final and binding. Tertutup upaya mengoreksi, upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Tanpa terkecuali, Presiden sekalipun harus tunduk dan patuh, mengikatkan diri pada putusan DKPP.
Namun, penulis terusik dengan terjadinya penggerusan wibawa DKPP sebagai peradilan etika (yang) diduga digawangi oleh oknum tertentu. Walaupun telah dipecat, tetap bekerja tanpa landasan hukum (yang) memadai, dan menikmati segala hak-haknya yang bersumber dari Negara.
Kasus tersebut sudah terjadi sekitar enam bulan lalu. Benar! Tetapi, tidak berarti tak ada masalah hukum yang mengitari. Saat ini problem tersebut didorong untuk dibuka, menggelinding di KPU, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, berpotensi dicermati oleh Ombudsman dan komisi anti rasuah, KPK.
Pasalnya, pasca putusan DKPP, sesuai perintah hukum, terbit Keppres yang sejatinya tidak berdiri sendiri, dan bersifat administrasi dan prosedural. Merupakan tindak lanjut dari hasil pemeriksaan badan peradilan etika pertama dan terakhir, yang melekat kekhasan final dan mengikat.
Tetapi, oleh pihak tertentu diposisikan sama dengan Keppres yang berdiri sendiri, dan bersifat substansial serta hakiki. Sungguh, ini termasuk praktik hukum yang mengandung unsur ketidakpatuhan pada konstitusi dan berakibat pada terjadinya ketidakpastian hukum sebagai ujung dari tujuan hukum itu sendiri.
Akibatnya, wibawa dan eksistensi DKPP dipertaruhkan, bahkan bisa masuk kualifikasi, yang oleh orang Pesantren disebut wujuduhu ka’adamihi. Adanya sama dengan tidak adanya. Karenanya, kita dorong pemimpin DKPP untuk lebih gagah dan progresif dalam memimpin lembaga yang dibentuk untuk mengawasi dan mengimbangi kinerja KPU dan BAWASLU beserta jajarannya, tepatnya peradilan etika penyelenggara pemilu, mulai diganggu pihak tertentu.
Praktik yang demikian tak boleh didiamkan. Pasal 2 UU PTUN yang menentukan beberapa putusan TUN yang tak dapat disengketakan harus segera disoal dan ditambah satu klausula. Misalnya, Keppres yang tidak bersifat substansial dan hakiki bukan merupakan kualifikasi obyek sengketa PTUN. Semoga upaya penyempurnaan yang berawal dari kegelisahan ini dapat segera ter-bahas di Mahkamah Konstitusi (MK) dan/atau Mahkamah Agung (MA).
Di ruang yang terpisah, juga ada masalah soal jabatan DPR, DPD, dan DPRD yang tak mengenal batasan periodik. Mau berapa kali pun bisa duduk manis tanpa terikat pembatasan jabatan. Sebaliknya, Presiden sekalipun dibatasi hanya dua periode. Istimewa sekali, bukan. Bahkan, rekan sejawat berujar, bisa menduduki jabatannya hingga seumur hidup, dan Tuhan mengakhiri dengan beragam cara.
Ingat, dalam teori demokrasi dan kenegaraan, jabatan publik itu meniscayakan pembatasan periodeisasi. Jika tidak, absolutisme yang mengarah ke tirani tak bisa dibendung, terbuka lebar. Kini, persoalan serius ini tengah diperiksa oleh majelis hakim di Mahkamah Konstitusi, dan jika tak ada aral melintang, bersama seorang kolega aktivis, penulis akan masuk sebagai Pihak Terkait.
Ironisnya, sudah tak mengenal pembatasan, sampai kapan saja bisa menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD sepanjang dipilih dalam pemilu, hasil kerjanya jauh dari ideal, seperti yang diidamkan publik. Sederhana, misalnya. Tak jarang kita lihat, sebagian besar wakil rakyat (yang) tak saja di bulan Ramadlan (yang) berpuasa, di luar bulan suci pun puasa bicara!
Padahal, masyarakat ingin tahu sejauhmana kerja dan keberpihakan para wakilnya yang berada di gedung dewan itu. Hanya sebagian kecil, yang terdengar suaranya. Jika dianggap profesi, sekadar datang, absen, duduk, mengangguk, dan setuju, apa bedanya dengan gumaman Gus Dur (alm) yang menyebut wakil rakyat tak ubahnya taman kanak-kanak.
Pembatasan suatu jabatan itu penting. Demi menjamin hak asasi manusia (HAM), menghindari kesewenang-wenangan, menciptakan inovasi pemikiran, dan menguji tingkat keberpihakannya pada publik. Entah bagaimana jalan pikiran DPR dalam membentuk Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 sehingga di Republik bernama Indonesia ini, hanya keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD yang tak dibatasi masa jabatannya.
Saat masih serius berdiskusi, matahari beranjak ke ufuk barat. Diskusi santai (tapi) serius segera disudahi. Tak lama kemudian, adzan Maghrib berkumandang merdu. Satu tegukan air mineral membasahi tenggorokan. Pertanda puasa batal, dan diskusi pun usai.
*Founder and Legal Consultant Firma Hukum PROGRESIF LAW, Sekretaris Jenderal Lembaga Pengawasan Anggaran dan Korupsi (LaPAK)