Tugumalang.id – Untuk bertemu dan berbincang asyik dengan orang lain, kita kadang tak perlu berteman lama. Adanya minat yang sama bisa membuat dua orang seperti berkawan lama meski baru saja bertemu.
Narasi singkat ini mungkin tepat untuk menggambarkan silaturahmi saya dengan Rahmat Petuguran, salah satu kandidat doktor dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di bidang Linguistik. Saya dipertemukan dengan pria yang juga dosen Universitas Negeri Semarang itu karena minta yang sama: meneliti humor.
Kami bertemu di sebuah kafe di Kawasan JL MT Haryono, Lowokwaru, Kota Malang, pada Jumat malam (7/7/2023). Saya bersama teman seperjuangan, Ach Faisol Arifin, yang juga alumni magister tarbiyah UIN Malang. Sementara Mas Rahmat, saya memanggilnya, sendirian.
Sebelum pertemuan itu, kami sempat berdiskusi kecil di media sosial, soal humor. Saya mengira pria berlatar belakang sastra itu asal Kota Padang, karena nama belakangnya “Petuguran” tetapi ternyata bukan.
Baca Juga: Silaturahmi Tugu Media di Kantor Wilayah Ditjen Bea Cukai Jatim II
“Nama asli saya Surahmat. ‘Petuguran’ itu adalah nama daerah saya di Semarang. Waktu kecil ada tiga orang namanya sama, untuk membedakan pakai nama daerah sampai sekarang,” katanya setenga mengklarifikasi.
Kami bertiga berbincang hangat, seperti orang sudah berkawan lama. Rokok dan kopi menjadi temen ngobrol kami. Sayangnya, dia bukan perokok berat. “Saya hanya penikmat rokok bukan pecandu,” ujarnya sembari mencoba sebatang setelah saya tawari beberapa kali.
Banyak topik yang kami bertiga bicarakan, tetapi tema besarnya tetap budaya dan humor. Kami memiliki kajian riset yang sama di kampus UGM yaitu humor etnis. Walupun saya masih level tesis, sementara dia disertasi alias calon doktor.
Pembimbingnya pun sama, Prof Dr I Dewa Putu Wijana, salah satu pakar humor par excellence di Indonesia saat ini. Kesamaan itulah yang membuat kami, bertemu, bersilturahmi dan karenanya bertukar pikiran.
Baca Juga: Silaturahmi ke Desa Sumber Brantas, Wali Kota Batu Pamit Akhiri Jabatan
Saya sempat meneliti “Humor Etnis Madura” untuk tesis saya. Sementara Mas Rahmat (akan) meneliti tak hanya humor Madura, tetapi ada 7 humor etnis yang akan menjadi objek kajiannya di antaranya: humor etnis Madura, Tionghoa, Minang, Papua dst.
“Saya memilih beberapa humor ini karena mereka seperti mengalami struggle yang cukup kuat untuk keluar dari alienasi stereotipe mayorits,” katanya.
Etnis Tionghoa misalnya, kata Rahmat, sempat mengalami alienasi yang cukup kuat bahkan sejak era penjajahan dan di masa orde batu. Peristiwa sweeping atas etnis Tionghoa pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Karena itulah, dia ingin membuktikan apakah lahirnya humor Tionghoa ada kaitannya dengan kondisi sosial itu dan bagaimana prosesnya.
Dia akan menganalisis data humornya dengan perangkat analisis wacan kritis (critical discourse analysis) satu perangkat analisis yang diyakini dapat membedah pertautan teks (mikro linguistik) dan konteks (makro linguistik). Tepatnya, membedah keterkaitan antar kalimat- kalimat atau frasa-frasa humor dengan ideologi yang melingkupinya. Bahasa yang terdengar sangat ilmiah memang.
“Jadi nanti akan digali bagaimana frasa humor itu diinterpretasikan oleh si penutur humor. Apakah frasa humor itu mempengaruhi cara orang memahami suatu etnis tertentu,” kata dia.
Isu hanya satu variabel yang ingin dibuktikan. Tentu masih ada banyak sisi yang akan dibedah melalui riset Mas Rahmat yang dari hipotesa-hipotesanya tidak tersingkap di riset yang pernah saya lakukan sebelumnya.
Saya sangat senang mendengarnya, terlebih Mas Rahmat menjadikan hasil riset saya sebagai salah satu bacaannya.
Karena Mas Rahmat ingin meneliti humor Madura, ada hal yang saya dan Ach Faisol, selaku pemuda asli Madura, ceritakan padanya sebagai insight terutama kondisi riil di Madura yang sering kali dijadikan bahan humor.
Misalnya, karakter orang Madura, semangat beragamanya, kondisi ekonomi, keadaan alam hingga indeks pembangun manusia di Madura yang masih terendah di Jawa Timur, terutama Kabupaten Sampang dan Bangkalan.
“Orang Madura itu, memang sering diidentikkan dengan ngotot. Ada yang bilang kalau Presiden Indonesia orang Madura akan sukses. Karena salah saja ngotot apalagi benar,” kata dia diiringi tawa kami bertiga.
Yang diceritakan Faisol ini tentu bukan sebuah rasisnya. Melainkan penilaian internal terhadap budaya warga Madura sendiri, mengingat dia sebagai orang Madura. Pemuda asal Lenteng, Sumenep, itu menceritakan banyak tentang kekahasan budaya dan karakter orang Madura.
Perbincangan terasa sangat gayeng antara kami bertiga. Sayangnya, waktu harus membatasi perbincangan penuh gizi itu, terlebih Mas Rahmat perlu segera istirahat karena baru saja mempresentasikan papernya di sebuah konferensi di Universitas Negeri Malang.
Akhirnya pertemuan itu diakhiri dengan harapan semoga riset Mas Rahmat cepat rampung agar temuannya bisa segera bisa kami baca.
Penulis: Herlianto. A
Editor: Herlianto. A