Oleh: M Ulul Azmy, wartawan tugumalang.id
Tugumalang.id – Sabtu, 1 Oktober 2022 saya putuskan berangkat ke Stadion Kanjuruhan. Dua pekan sebelum laga, tugumalang.id sudah buat preview Big Match Derby Jatim Arema FC versus Persebaya. Saya ikut mengawal itu. Tensinya memang sudah panas sebelum laga. Apalagi di media sosial.
Saya merasa punya tanggung jawab menuntaskan berita laga penuh gengsi antar dua tim yang punya sejarah rivalitas panjang itu. Senang, karena sudah 2 tahun ini gak ada sepakbola. Apalagi, Arema ingin menjaga rekor tak pernah kalah dari Persebaya sejak 23 tahun ini di kandang. Persebaya, sebaliknya.
Malam itu, Stadion Kanjuruhan ramai sekali. Infonya tiket ludes 40 ribu lebih. Jalan menuju stadion, macet. Saya sampai datang telat. Di dalam, suasana sudah panas. Arema ketinggalan 1-0. Tak lama saya duduk, Maringa kebobolan lagi. Skor jadi 2-0.
Awalnya Tak Ada yang Aneh
Aremania semakin panas. Begitu juga pemain. Tak ada yang aneh. Semua berjalan seperti biasanya. Kan namanya nonton bola. Tak lama lagi, saya lega. Abel Camara cetak gol. Nyanyian Aremania makin keras berkumandang. Jelang turun minum, Camara cetak gol lagi. Skor jadi 2-2.
Saya lihat pertandingan sambil merangkum data untuk dilaporkan ke redaksi. Hingga pertandingan masuk injury time. Saya rasa Arema FC sudah tak bisa mengejar ketertinggalan. Meski pemain sudah melancarkan serangan bertubi-tubi.
“Rekor 23 Tahun Arema Menang atas Persebaya Pecah di Kanjuruhan”. Begitu judul berita yang sudah saya reka-reka. Laporan sudah jadi. Tinggal tunggu pernyataan dari konferensi pers.
Akhirnya, wasit meniup peluit panjang. Para pemain dan ofisial Persebaya langsung lari masuk ke ruang ganti. Semua masih terlihat wajar. Dari tribun, saya melihat Pelatih Javier Roca berjalan menyusuri garis tepi lapangan. Sejenak dia lalu berlutut. Diam seribu bahasa.

Begitu juga pemain, hanya bisa tergolek di tengah lapangan. Mereka sadar telah membuat kecewa lebih dari 42 ribu suporter yang datang malam itu. Manajer Arema, Ali Rifki lalu, mengajak pemain mendatangi tribun skor untuk meminta maaf. Seperti biasanya.
Hingga kemudian, terlihat dua suporter merangsek masuk ke tengah lapangan. Tidak berbuat apa-apa. Hanya lari-lari sambil bawa syal Arema. Tapi langkah mereka diikuti ratusan massa suporter lain.
Saya lihat mereka berlari menghampiri pemain. Saya lihat pemain yang dirangkul Adilson Maringa, Sergio Silva dan Jhon Alfarizie. Biasa saja. Para pemain juga tidak menampakkan gestur terancam. Saya teruskan mengetik berita.
Saya kira, Aremania atau mungkin suporter lain juga biasa begitu, Memberi semangat untuk pemain. Menang atau kalah, ungkapan emosi pasti akan selalu ditunjukkan Aremania.
Namun entah kenapa. Saya melihat anjing polisi dilepas. Suporter berhamburan mundur. Lalu, balik lagi. Meski saling provokasi, saya kira dinamika di lapangan saat itu belum se-anarkis yang dikira.
Hingga kemudian saya mendengar letusan. Ternyata gas air mata. Ditembak ke arah kerumunan. Saya masih bertahan di tribun. Melihat apa yang terjadi,
Letusan kembali terdengar. Aneh. Saya lihat gas air mata itu ditembak ke tribun. Saya ikut kaget dan menghardik. Kenapa ke tribun? Pasti di sana ada banyak anak-anak, ada perempuan. Saya lihat di medsos, ada anak kecil yang ulang tahun.
Mayat Dibopong saat Konferensi Pers
Saya merasa tak aman. Saya bergegas turun. Ke ruang konferensi pers. Sudah banyak awak media menunggu di sana. Tak lama, Javier Roca datang, ditemani media officer. Wajahnya merah. Dia minta maaf. Kami juga belum sadar, apa yang terjadi di luar sana.
Di tengah konferensi pers, terdengar sebuah pintu terdobrak. Saat itu, Roca masih bicara. Ada suporter membopong orang. Kami mengira hanya pingsan. Karena biasanya, rasanya hanya perih di mata. Tak lama lagi, ada suporter dibopong lagi. Saya merasa ada yang tidak beres. Konferensi pers bubar.
Saya masih mengetik, begitu juga teman media yang lain. Tapi apa yang terjadi, semakin banyak suporter masuk. Mereka juga membopong orang. 3, 4 orang. Terus. Berangsur bertambah.
“Arek-arek akeh sing mati (anak-anak banyak yang mati). Ayo mas tulungono (bantuin). Akeh iki (ini banyak),” teriak suporter pada kami.
Saya langsung keluar. Masuk ke lapangan. KACAU! Seketika saya tercekat. Banyak suporter tergeletak. Ada keributan besar. Saya putuskan meletakkan ponsel. Begitu juga teman-teman media yang lain. Meletakkan kamera dan ikut membopong para korban.

Saya, bahkan sempat berusaha membuka gigi salah satu suporter yang sempat kejang. Namun saya lihat ada cairan tanda ‘nazak’. Saya lihat celananya, ada bekas cairan basah. Saya tercekat. Saya melihat orang meninggal.
Saya lihat ke arah lain, 2 orang suporter tergeletak di lobi ruang ganti pemain. Wajah mereka berwarna biru kehitaman. Saya lihat suporter membebat syal Arema di kepala orang yang tergeletak itu.
Menolong Anak SMP
Saya dan wartawan lain sudah tak urus berita. Saya laporkan ini ke grup redaksi tugumalang.id bahwa kondisi sangat kacau. Redaktur paham itu.
Saya lihat lagi, anak perempuan. Sepertinya masih SMP. Dia ketakutan, sangat takut. Pupil bola matanya mengarah ke atas. Seperti kesurupan. Saya ciprati wajahnya dengan air. Coba saya tenangkan. Dia coba merangkul saya, tapi tidak jadi. Dia masih syok.
Air mata saya hampir menetes. Cepat saya usap lalu minta anak itu jangan kemana-mana. Saya masuk lagi ke lapangan. Ada korban meninggal, kepalanya mengucurkan darah. Saya bopong ke dalam.
“Yok opo mas, koncoku mati mas (gimana mas temanku mati mas),” salah satu temannya berteriak histeris. Saya juga tak bisa menjawabnya.
Tak ada yang bisa saya lakukan selain membantu evakuasi korban. Saya gemetar seluruh badan. Di koridor lobi, sudah banyak korban berjejer tergeletak.
“Sam Nawi gak onok, Sam Nawi gak onok! (mas Nawi tidak ada, mas Nawi tidak ada)” teriak suporter sambil menangis melihat salah satu korban di koridor lobi itu.

Tak banyak yang bisa dilakukan saat itu. Sementara jasad mereka diletakkan di sepanjang koridor lobi dan juga musala. Di sana, mayat-mayat itu berjejer-jejer. Tangis histeris terus menggema.
Saya lihat waktu itu sudah pukul 2 dini hari. Lebih berapa menit, saya lupa. Saya masih bantu mengangkat korban ke truk TNI dan ambulans. Hingga sekitar pukul 03.30, kira-kira, sudah selesai. Stadion sudah sepi.
Saya akhirnya balik menuju Polres Malang. Infonya, Kapolda Jatim meluncur ke Malang. Di jalan, saya lihat puing-puing mobil dibakar. Jalan sudah agak lengang. Semua terkonsentrasi di rumah sakit.
Keluarga saya sangat cemas. Istri saya yang sedang hamil, berulang kali menghubungi. Saya baru bisa merespons saat tiba di Polres. Saya minta maaf. Saya juga bilang belum bisa langsung pulang. Saya hanya bisa kirim foto, saya baik-baik saja.
Saya merasa agak tenang. Tapi kemudian Kapolda Jatim Nico muncul dan memimpin konferensi pers. 127 ORANG MENINGGAL. Nico menyebut tembakan gas air mata dilakukan karena suporter menyerang aparat. Saya diam, tidak bisa mendesak. Sudah subuh dan kami lelah.
Apakah begitu kejadiannya? Saya tak percaya. Tapi saya tidak bisa menulis sembarangan. Keterangan Nico itu yang kemudian jadi berita. Ketika diunggah ke medsos, ada pertentangan.
Terenyuh Melihat Korban
Minggu, 2 Oktober, suasana masih mencekam. Saya juga belum tidur. Tidak ada berita Arema FC kalah oleh Persebaya. Semua berita yang ada adalah tentang KORBAN JIWA. Rumah sakit di Malang sibuk melayani korban tragedi. Para pejabat negara berdatangan ke Malang.
Saya masih bingung mau melaporkan apa lagi. Tapi saya harus bantu ungkap kasus ini dibuka secara transparan. Diusut sampai tuntas.
Saya berusaha mengumpulkan data-data, terutama keterangan saksi hidup. Mereka yang saya temui, ada yang matanya berwarna merah darah. Ada yang retak tulangnya. Ada yang sesak dadanya.
Dimas, Aremania Dampit yang berhasil lolos dari maut di Gate 10. Dia berhasil keluar, tapi dia melihat banyak supporter terjepit di pintu itu. Dia bersaksi melihat mayat-mayat bertumpukan. “Kira-kira segini, Mas,” bebernya.
Di Gate 13, Tono, Aremania Kepanjen juga sampai tak kuat mengingat malam jahanam itu. Dia melihat kepala perempuan yang terjepit. Ada tangan anak kecil di antara tumpukan suporter itu.

“Saya lihat kepala perempuan terjepit di Pintu 13, sudah meninggal itu. Juga ada tangan-tangan anak kecil terjepit pintu. Saya gak kuat mengingat itu,” kata Tono.
Tono, saat itu tidak bisa berbuat banyak melihat mayat-mayat di dalam. Dia hanya bisa bolak-balik membantu mencari air untuk diberikan pada korban yang masih hidup. Hanya itu yang bisa dilakukan Tono. Jumlah petugas medis juga tidak banyak waktu itu.
Hari ini, sudah sepekan lebih. Saya masih terbayang-bayang. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang menolong korban di Kanjuruhan. Saya minta maaf tidak bisa berbuat banyak. Saya yakin para keluarga korban sangat sedih. Saya merasakan hal yang sama, Pak, Buk!
Kapolda Minta Maaf
Beberapa hari kemudian, Kapolda Nico minta maaf, sudah dimutasi, pemerintah berbelasungkawa. 6 tersangka sudah ditetapkan. Tim Independen juga sampai sekarang terus mencari fakta.
Doa dan dukungan dari dunia internasional juga terus mengalir. Mereka merasakan duka yang sama dan prihatin pada korban Tragedi Kanjuruhan. Ada yang mengutuk tindakan aparat, ada yang berduka cita dengan tulus.
Saya harap semua pihak serius mengusut kasus ini. Kasus yang menewaskan banyak orang. Sejauh ini, masih tercatat meninggal memang 131, tapi bisa jadi lebih dari itu.
Stadion Kanjuruhan, masih rame. Di masing-masing pintu, bertabur bunga, poster dan gantungan syal. Gelombang pelayat masih berdatangan, mengirim doa.
“Dukanya hilang. Namanya terlupakan. Hastagnya tenggelam. Suporter kembali bersorak. Tetapi bapak ibu para korban selamanya akan membenci sepakbola”

Saya baru bisa menangis sesenggukan di hari ketiga setelah mengingat tulisan di atas. Saat menyusuri jalan yang sama menuju Stadion Kanjuruhan.
Terima kasih, Aremania menjadikan saya kembali sebagai manusia. Mungkin saja, itu air mata kalian. Semoga husnul khatimah. Semoga keadilan menyertaimu.

Editor: Herlianto. A