Oleh : Hendro Fujiono*
Tugumalang.id – “Bang, kalau boleh jujur….” Penggalan kalimat tersebut biasanya langsung saya potong “ya boleh lah jujur, masa jujur dilarang sih.” Lucu ya, anak muda yang biasanya energinya besar tapi banyak yang memohon izin untuk jujur menyampaikan perspektifnya.
Ada yang menyoroti soal Power Distance Index sebagai penyebabnya. Mungkin iya dan mungkin juga tidak. Faktanya ada juga anak-anak muda Indonesia yang bebas berekspresi.
Sofian Hadiwijaya, CTO Warung Pintar, memberikan contohnya. Di unit usahanya siapapun bisa mengomentari dokumen atau hasil pekerjaan atasannya. Ini yang disebut banyak orang sebagai praktik dan ciri dari organisasi modern. Apapun istilahnya. Dari purpose-driven,”teal”, adaptive learning organisation, sampai yang terakhir soal holacracy.
Lalu seperti biasa, akan ada pertanyaan: apakah konsep-konsep modern tersebut bisa diterapkan di Indonesia, sehingga organisasi dan perusahaan kita bisa lebih inovatif?
Yang lebih dalam menelaah akan bertanya: apakah local wisdom Indonesia bisa membantu aplikasi dari berbagai teknik manajemen organisasi modern saat ini?
Jawabannya pasti bisa. Tapi, pasti akan bikin banyak orang mengernyitkan dahi.
Self-managed team yang menjadi pilar dari banyak teknik modern ini sudah bisa kita lihat dari dulu. Coba bayangkan bagaimana dulu kerja bakti sering terjadi. Gotong royong antara tetangga di level RT dan RW dari urusan bantu ada yang meninggal sampai mengadakan ronda bersama.
Purpose, strategic intent dan istilah-istilah keren lain yang dijadikan Teknik manajemen modern sudah dipraktikan di berbagai sudut bangsa ini. Coba lihat bagaimana warga serempak melakukan kerja bakti bersama. Jelas sekali strategic intentnya, dari untuk menang lomba kebersihan sekelurahan sampai dengan menangkal nyamuk demam berdarah.
Lalu kenapa kita seperti gamang dan merasa perlu bertanya apakah semua yang baik bisa diterapkan di Indonesia?
Jangankan kan rasa merdeka untuk memberikan perspektif, untuk menggali banyak perspektif di alam pikiran sendiri saja tampaknya kita masih terkungkung.
Critical thinking memang terlihat seksi, tapi independent thinking yang sepertinya masih harus kita benahi.
Banyak profesional muda yang terkaget ketika saya tanyakan “boleh ga sih kalau melakukan SWOT analysis itu S-nya saya pindahkan ke kanan bawah?”
Seperti terkaget-kaget seakan-akan ada pijakan moral yang diganggu. Template seperti menjadi dewa. Kemampuan berpikir otak sendiri secara tidak sadar dikebiri.
Jadinya timbul rasa takut untuk mempertanyakan relevansi. Ditambah lagi dampak sosial revolusi teknologi. Semakin takut salahlah kita, karena seakan-akan setiap kekeliruan yang kita lakukan akan viral dan jadi bahan penghakiman seantero negeri.
Ini cukup unik sebetulnya. Di satu sisi kurang kepercayaan diri, tapi di sisi lain merasa seperti selebriti yang setiap tindak tanduknya diinvestigasi.
Lalu apa yang terjadi? Banyak rencana, metode, pengetahuan terbaru diaplikasikan tanpa mempertimbangkan relevansi. Sebuah indikasi rendahnya tingkat psychological safety – salah satu pilar dari kinerja sebuah kelompok, komunitas, dan organisasi.
Lalu apa yang terjadi ketika gagal? Ada yang menarik diri dan ada pula yang menggugat identitas diri.
Di salahkanlah local wisdomnya, bahkan manusia-manusia yang ada didalamnya. Seakan-akan semua kesalahan dari budaya negara plus enam dua.
Zensa Rahman, seorang sahabat yang juga Direktur EverIdea Education, pernah bertanya
“Kebaikan yang ada di dalam nilai-nilai lokal bukanlah pengetahuan baru, kenapa ga selesai-selesai ya kita mempertanyakan keunggulan dari local wisdom yang kita miliki?”
Ada yang mengatakan mungkin ini sudah dilupakan banyak generasi muda, ada pula yang menyoroti faktor sosial politik lainnya.
Yang jelas, kita sudah sangat jarang membicarakan local wisdom bangsa ini. Setengah bercanda saya tanyakan kepada Zensa, “Coba hitung dan bandingkan saja, berapa kali kata gotong royong dan kolaborasi, atau agile malah, keluar dari mulut kita dalam beberapa waktu terakhir?” Kami hanya tersenyum kecut karena menyadari bahwa rasa inferiority ini semakin ditenggelamkan oleh diksi yang kami pilih sehari-hari.
Meski demikian, ada “Aha” momen di sana. Momen yang hadir dari pertanyaan-pertanyaan menggelitik. Semua bisa terjadi karena tidak adanya proses perizinan dalam berpikir.
Kalau malas berpikir, jangan salahkan identitas bangsa ini. Toh Adam Grant saja sampai menerbitkan buku Think Again. Ini bukan monopoli masalah kita.
Tapi sedihlah ketika kita mulai takut dan merasa membutuhkan izin untuk berpikir.
Lalu apa yang akan saya coba lakukan di hari Kemerdekaan? Saya cukup beruntung menemukan sekumpulan anak muda yang menamakan dirinya di Leaders Café. Kami akan mengadakan lomba berpikir mengatasi real problems di komunitas lokal.
Dirgahayu Indonesia! Mari lepaskan diri dari kungkungan perizinan untuk berpikir!
*Executive Coach GlobalDISC Master Trainer Perth, Western Australia
Editor : Herlianto. A