Oleh: Abd. Aziz*
Tugumalang.id – Suatu hari, tepatnya akhir medium 2014, penulis berdiskusi soal kebangsaan dengan Gus Sholah, panggilan akrab Kiai Salalahuddin Wahid, adik kandung Presiden keempat, Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di kediamannya, Jl. Bangka Raya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Sebelumnya, pernah berbincang di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
Seorang tokoh Pesantren, penulis, dan aktivis HAM itu, berpulang ke Rahmatullah pada Minggu, 2 Februari 2020. Empat tahun sudah, Gus Sholah meninggalkan kita semua.
Namun, rasa kepedulian pada bangsa dan negara, khidmat pada Pesantren, dan ke-bersahaja-an yang melekat padanya, akan terus dikenang oleh masyarakat. Salah satu pesannya adalah bagaimana kita terus berikhtiar untuk memberikan kemanfaatan pada umat manusia.
Baca Juga: Ini Pesan KH Marzuki Mustamar untuk Nahdliyin Jika Dicopot Sebagai Ketua PWNU Jatim
Entah mengapa, pada Rabu (10/1/2024) siang, penulis didera kerinduan pada sosok Gus Sholah dan ingin menjejakkan kaki di Tebu Ireng, yang kini dipimpin Kiai Abdul Hakim Mahfudz.
Selepas shalat Dzuhur, berkomunikasi dengan Gus Kikin, hendak sowan bersama keluarga. Walaupun cuaca tidak bersahabat, Kota Malang diguyur hujan, bergegas memecah siang, melaju menempuh jarak 127-129 km menuju Jl. Irian Jaya No. 10, Cukir, Diwek, Jombang.
Akhirnya, penulis diterima di ruang tamu utama Tebu Ireng. Beruntung, malam itu, generasi ke-4 setelah Gus Sholah, yang juga cicit pendiri Nahdlatul Ulama’ (NU) Kiai Hasyim Asy’ari ini, cukup longgar sehingga perbincangan begitu mengalir. Di kalangan masyarakat, Gus Kikin dikenal sebagai figur Kiai yang rendah hati, teduh dalam berdakwah, dan semangatnya luar biasa dalam mempersatukan umat.
Baca Juga: KH Marzuki Mustamar Bantah Dukung Salah Satu Capres 2024
Selain disegani ketokohannya, memiliki kemandirian pendapat, termasuk dalam mengelola Pesantren yang tidak bergantung pada Pemerintah, ia juga seorang pengusaha di bidang minyak dan gas berskala nasional.
Dalam pandangan penulis, karena memimpin Tebu Ireng dengan hati yang lembut, konsentrasi pada pembangunan mental dan spiritual, menjauhkan Pondok dari kepentingan politik, Gus Kikin diterima oleh banyak kalangan. Tak terkecuali, para tokoh nasional, termasuk ketiga calon Presiden RI (2024) berkunjung, silaturrahim ke Tebu Ireng.
Pertemuan penulis dengan Gus Kikin, yang diniatkan menghormati almarhum Gus Sholah dan berkhidmat pada Tebu Ireng, sungguh tergolong istimewa! Apa hal ikhwal?
Ternyata, malam itu menemukan momentum yang baik karena 4 jam pasca Gus Kikin ditunjuk memimpin PWNU Jatim melalui Surat Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU), Nomor: 267.c/A.II.04/09/2023, untuk pertama kali, penulis berkesempatan mengucapkan selamat secara langsung pada Pejabat Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama’ Provinsi Jawa Timur, itu.
Sambil memandang wajah Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari lekat-lekat yang terpasang di tembok, penulis tertegun sejenak. Timbul satu harapan yang mendalam.
Dengan hadirnya Gus Kikin memimpin PWNU, mampu menyatukan sekaligus memperkuat hubungan antar pengurus, dan keluarga besar NU Jatim kembali terkonsolidasi setelah Kiai Marzuki Mustamar diputuskan tidak lagi menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah melalui Surat Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU), Nomor: 274/ PB.01/A.II.01.44/99/12/2023.
Sebagai orang yang lahir dan besar dalam keluarga Nahdliyin, penulis melihat organisasi keagamaan terbesar di tanah air, kontribusinya pada bangsa dan negara tak diragukan, di mana Jawa Timur merupakan tempat berdirinya NU, tentu harapan di atas menemukannya relevansinya.
Terlebih, menurut sejarahnya, keorganisasian NU tidak pernah terpecah walaupun ada perbedaan pandangan atau pendapat. Setajam apa pun, itu! Semuanya akan kembali bersatu, mewujudkan visi dan misi, bersama memajukan organisasi.
Itulah kekuatan utama NU, yang berdiri sejak 31 Januari 1926, tumbuh dan berkembang serta berkemajuan selama seratus tahun, satu abad lamanya hingga saat ini.
Sesekali menghela napas panjang, sesekali menikmati hidangan yang disajikan. Bersama Gus Kikin, berdiskusi tentang banyak hal. Mulai urusan kebangsaan, Negara ke depan, sistem pengawasan Pondok Pesantren yang terencana, terukur, dan terprediksi hingga bagaimana NU dikelola dengan prinsip manajemen yang baik agar terus memberikan kemanfaatan pada umat, dan berkemajuan.
Dari saking menariknya, ungkapan-ungkapan yang mengandung ilmu dan pengalaman yang menginspirasi, itu tak jarang mengundang gelak tawa lepas bersama.
Tak lupa, Gus Kikin bercerita tentang silsilah keluarga Tebu Ireng, dan bagaimana para pendahulunya yang betul-betul memisahkan antara politik dan Pesantren, yang bagi Tebu Ireng, harus menyangga Republik karena heterogen-nya para santri, orang tua dan alumni yang tersebar di seluruh Indonesia, bahkan luar negeri.
Tak sadar, langit Kota Santri diselimuti awan tebal, pertanda hujan segera turun. Tak terasa pula, malam pun kian larut, para santri mulai terlelap. Namun, harus penulis akui, Gus Kikin termasuk Kiai yang bersahaja, humble, dan senang berbagi pengetahuan soal sejarah Islam dan aktor terdepan dalam bahu membahu merebut kemerdekaan Republik Indonesia, yang belakangan berpotensi terjadinya pembelokan sejarah!
Perbincangan yang memakan waktu 180 menit itu, akhirnya diakhiri, dan penulis pun membalikkan badan, mohon undur diri, berjabat tangan, mengucapkan salam sambil berujar pelan. “Terima kasih atas sambutan hangat dan sharing-nya. Semoga Tebu Ireng makin maju, NU Jatim bersatu, dan progresif, Gus”.
*Advokat, Legal Consultant, Lecture, Mediator Non Hakim, Founder dan CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW. Kini, Sekjen DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK).
Editor: Herlianto. A
Baca Juga Berita tugumalang.id di Google News