Tugumalang.id – Sekitar lima puluh orang lebih, mereka berasal dari masyarakat sekitar, mahasiswa, dan para pegiat seni budaya, berkumpul di langgar Pesantren Budaya Karanggenting untuk mengikuti kegiatan Jigang Ramadan Lesbumi Kota Malang.
Jigang Ramadan edisi kedua kembali di gelar di tahun 1445 H. Edisi kali ini bertempat di Pesantren Budaya Karanggenting, di Genting, kelurahan Merjosari Kota Malang.
Mengusung tema “Sastra Piwulang Sunan Bonang,” Acara dibuka dengan sambutan dari Ketua Lesbumi NU Kota Malang, Fathul H. Panatapraja.
Baca Juga: Lesbumi NU Kota Malang ‘Mbeber Klasa’ di Tasyakuran 1 Abad NU
Menurutnya, Jigang Ramadan ini adalah sebuah perjumpaan mulia, yakni perjumpaan intelektual dengan mendaras bermacam warisan dari khazanah Al-Quran hingga naskah-naskah karya para Sunan.

Menurut Fathul, Jigang Ramadan sendiri, tahun ini adalah yang kedua, yang pertama di tahun kemarin. Jigang Ramadan (Ngaji Tigang Dinten ing Wulan Ramadan) adalah cara Lesbumi Kota Malang untuk mengejawantahkan posisinya sebagai Lembaga Seni Budaya milik Nahdlatul Ulama, yakni dengan melakukan khidmat di bulan dengan menggelar ngaji pasan atau pondok Ramadan.
Jigang Ramadan, atau nama Jigang terinspirasi dari quotes yang dikekalkan oleh Sunan Kudus, yakni Gusjigang (santri bagus pinter ngaji pinter dagang; red. Seorang santri harus cakap dalam kapasitas intelektual dan mumpuni dalam kemandirian sosial). Lalu, kata Jigang kita pakai untuk mengakronimkan Ngaji Tigang Dinten.
Baca Juga: Lesbumi NU Kota Malang ‘Mbeber Klasa’ di Tasyakuran 1 Abad NU
Fathul melanjutkan dengan menyampaikan sebuah kisah mitologi pada suatu masa di Yunani, tentang seorang raksasa buta bernama Orion. Ia menaikkan dan membawa seorang pelayannya yang bernama Cedalion di bahunya untuk melihat dan berkeliling ke banyak tempat, dengan begitu sang pelayan tersebut akhirnya mendapatkan pandangan (horison) yang meluas.
Lalu kisah tersebut dikekalkan dalam sebuah metafora: “berdiri di atas bahu para raksasa”. Dalam bahasa Latin: nani gigantum humeris insidentes. Setelah berabad-abad kemudian, metafora tersebut dipopulerkan menjadi kredo dalam budaya riset dan dunia intelektual oleh Isaac Newton.
Begitu pula hari ini, banyak orang, kelompok, atau arus pandangan agama (sebagai sebuah teknologi ketuhanan) telah diangkat, lalu berdiri di atas bahu para “raksasa intelektual” bernama Walisanga.
Dari para “raksasa intelektual” tersebutlah Islam di Nusantara menjadi sebuah agama yang menyejukkan, menenangkan, dan menyenangkan. Salah satu raksasa intelektual tersebut adalah Sunan Bonang (Bon= Babon, Nang= menang atau wenang).
Sunan Bonang adalah satu di antara para raksasa intelektual yang memberikan warisan narasi dalam beragam bentuk, baik berupa karya seni, teks prosa, sastra tamsil, tembang, maupun mantra: alat musik bonang, Suluk Wujil, Hetbook van Bonang, Pitutur Syekh Bari, kropak ferara pangeran Bonang, mantra tolak bala, dll.
Dalam Jigang Ramadan edisi kedua ini, selama tiga hari kedepan kita akan ngaji tentang seorang raksasa intelektual tersebut. Hari ini kita akan mendengarkan pemaparan dari Dr. Faisol Fatawi, sebagai gerbang pembuka menuju teks besar bernama Sunan Bonang. Kita akan memasuki pintu kisah-kisah dan memulai berjabat tangan dengan teks-teks masa lampau.
Setelah sambutan dari Ketua Lesbumi NU Kota Malang, kemudian dilanjutkan dengan Taujihat Budaya oleh Dr. Mohammad Mahpur, Wakil Ketua PCNU Kota Malang.

Dia menyampaikan harapan dalam sambutannya, supaya Jigang Ramadhan dapat mengubah pendekatan pesantren yang selama ini memiliki paradigma ningrat menjadi paradigma rakyat.
Kehadiran lembaga seni budaya muslimin Indonesia (Lesbumi) menjadi salah satu ujung tombak Nahdlatul Ulama untuk berkontribusi optimal di lini-lini masyarakat khususnya dalam hal kebudayaan.
Narasumber pertama adalah Dr. Faisol Fatawi, Sekretaris PCNU Kota Malang. Dia mengajak audien untuk menegasikan perspektif terhadap Al-Qur’an. Kajian terhadap Al-Qur’an dewasa ini cenderung sebagai kitab hukum.
Dalam perspektif lain, Al-Qur’an dapat dilihat dari sisi kesusastraan (bukan sastra yang ada di bumi). Al-Qur’an adalah fakta kebahasaan dan fakta kesusastraan.
Al-Quran memiliki kekuatan psikis ketika diperdengarkan pada orang. Dari aspek inilah dapat disebut sastra. Namun bukanlah sastra yang dibuat oleh penyair-penyair, bukan pula mantra-mantra yang diucapkan oleh dukun-dukun.
Al-Quran memiliki tata bahasa yang bagus, dan makna yang padat, sehingga Al-Qur’an menjadi sebuah narasi yang dapat diterima oleh semua kalangan.
Dengan menegasikan pandangan terhadap Al-Quran, bukan hanya sebagai kitab hukum, tetapi juga kitab sastra. Dalam kajian kebahasaan misalnya, terdapat teori naratologi yang berfokus mengkaji cerita-cerita.
Meninjau 80% isi dari al-quran yang merupakan cerita-cerita, maka pada sisi inilah Al-Quran dapat dipandang dari perspektif sastra.
Jauh jauh sebelum ada konsep sastra berupa novel, Al-Quran telah membawakan konsep cerita. Ada kesatuan makna. Adanya dialog antara kebenaran dan kebatilan.
Misalnya, Al-Baqarah bercerita tentang pertentangan bani israil dengan Nabi Musa yang menyoal sapi. Cerita ini tidak serta merta menghukumi siapa salah siapa benar.
Akan tetapi merupakan ajakan kepada pembaca untuk hadir dalam peristiwa dan menemukan kebenaran itu sendiri. Atau tanya jawab Nabi Ibrahim dengan Allah tentang bagaimana Allah mampu menghidupkan yang mati.
Dari kisah ini mewacanakan bahwa Tuhan memberi kesempatan pada hamba untuk berpikir kritis. Yang diungkap adalah nilai. Tidak terpaku pada kondisi atau situasi tertentu, sehingga tafsir dapat diterima secara kontekstual.
Manusia adala homo naratologi. Dari kecil, manusia tumbuh dengan cerita-cerita. Penanaman nilai dari waktu ke waktu juga melalui cerita, yang semula dari mulut ke mulut hingga dicatat dan dibukukan.
Dengan demikian, Al-Qur’an hadir dengan banyak cerita agar manusia dapat terus belajar dan mengambil nilai dari cerita-cerita tersebut.
Al-Quran adalah kitab kompleks. Kalau hanya didekati dari aspek fiqh, hukumnya, lalu bagaimana dengan aspek-aspek yang lain? Meski Al-Quran melahirkan banyak pemikir dengan berbagai pemikiran hingga melahirkan madzhab. Tetapi madzhab bukanlah Al-Qur’an itu sendiri. Bila dikaji dengan banyak pendekatan. Al-Quran tak berkesudahan.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Fajrus Sidiq
Editor: Herlianto. A