Tugumalang.id – Alfredo Dhilan namanya. Melihat potongan pemuda asli Kota Batu, Jawa Timur, ini tak terlihat seperti pengusaha muda lainnya. Namun di dalam benaknya tersimpan mimpi besar membawa nama Kota Batu mendunia, lewat produk inovasinya bernama Apel Celup.
Apel Celup menjadi harapan baru bagi petani apel untuk terus bertahan meski dari tahun ke tahun produktivitasnya kian menurun. Tak hanya dijadikan keripik, rupanya buah ikon Kota Batu itu juga bisa dijadikan sebagai minuman serupa teh celup.
Apel celup menjadi solusi bagi para petani apel yang selama ini kebingungan menjual hasil panen yang tidak lolos sortir. Mas Edho, begitu ia biasa dipanggil menjumpai masalah itu karena dirinya sekeluarga juga petani apel.
Baca Juga: Bisnis Tak Lagi Menarik, Produksi Apel di Kabupaten Malang Terus Menurun
Di keluarganya, Edho menjadi generasi ketiga yang memiliki idealisme untuk mempertahankan apel sebagai ikon kotanya. Saat itu, Edho berpikir bahwa semua grade apel seharusnya bisa diolah sehingga petani tak lagi bingung ‘membuang’ apelnya.
Selain keripik, masih ada alternatif olahan lain untuk dijadikan cuka atau wine. Hingga kemudian Edho menemukan formulasi produk lain yang menurutnya unik dan ikonik. Yakni dirupakan dalam bentuk teh apel celup.
“Apel celup ini saya kira akan sangat ikonik. Secara kemasan juga pantas dijadikan oleh-oleh. Dibawa ringan, juga sehat tanpa pengawet dan pemanis buatan. Kalau keripik kan sudah banyak,” kata Dhilan pada tugumalang.id
Sempat Ditolak Toko-toko Besar
Pria kelahiran 29 Agustus 1992 itu memberanikan diri bereksplorasi membuat apel celup. Bermodal semangat, ia mengolah apel-apel ini secara manual tanpa bantuan alat-alat canggih. Mulai proses pengeringan, penggilingan hingga pengemasan, semua diproses secara manual.
Baca Juga: Produksi Apel Kota Batu Terus Menurun akibat Degradasi Tanah
Ia memulai uji coba mengolah produk ini secara trial and error sejak 2012. Meski idenya belum matang sepenuhnya, pada 2015-an, pria kelahiran Dusun Gondang, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji ini nekat memasarkan hasil produknya ke toko oleh-oleh di kota wisata itu.
”Dulu inget sih produksi awal itu ada 100-200 boks. Waktu itu memang belum matang, tapi nekat saja. Keliling toko-toko besar, tapi ditolak semua. Emang masih jelek sih. Dari situ, saya mulai belajar banyak,” ungkap salah satu caleg muda dari Partai Golkar tersebut.
Sejak saat itu, alumnus Teknik Pengairan Bangunan Air UB 2010 itu giat belajar dan mencari referensi bisnis dan mengikuti berbagai kompetisi. Di situlah ia mendapat kritik dan saran yang membangkitkan semangatnya.
“Ingat waktu itu ada omongan orang yang bikin saya tertampar. Kira-kira tahun 2017. Dia bilang gini, bikin usaha itu gampang. Cita rasa, desain, keuangan, semua bisa kita lakukan. Cukup hire saja orang yang ahli keuangan, desainer dan lain-lain,” kenangnya.
”Tapi tak semua orang bisa memimpin, menghidupi 100 sampai 1.000 karyawan. Tak semua orang bisa mewujudkan mimpinya yang sangat tinggi. Artinya, investasi terbesar ternyata bukan di produk, tapi di manusianya, kita sendiri,” bebernya.
Belajar Sampai New Zealand
Sejak itu, ia mulai giat men-develop kemampuannya dengan belajar ke sana ke mari. Bahkan Edho nekat mengembara ke Swiss hingga New Zealand atau Selandia Baru untuk melihat bagaimana konsep agroindustri dijalankan dalam suatu daerah.
”Itu saya tahun 2018, hanya bawa uang Rp5,5 juta. Gak tau nanti tinggal di mana, makan apa. Setahun di sana saya akhirnya dapat kerjaan tukang cuci piring. Di situ saya nabung, waktu ambil cuti itu saya ikut tour ke kebun. Liat petani bikin wine, teh dan lain-lain,” kisah Edho.
Semua ia lakoni untuk mewujudkan mimpi besarnya membangun konsep agropolitan yang benar-benar ‘agropolitan’ di Kota Batu. Konsep agropolitan yang tak seperti didengung-dengungkan selama ini yang menurutnya hanya sebuah slogan semata.
”Sampai sekarang, di kota yang katanya agropolitan ini saja gak ada industri pengolahan satu pun. Hanya fokus bertani, dijual lepas gitu aja. Harusnya kan dari hulu ke hilir, mulai bertani, masuk pabrik, distribusi, harusnya semua ada di sini,” ungkapnya.
UMKM Serasa Pabrik Besar
Tidak heran jika sepulang dari Selandia Baru, Edho merombak bisnis keluarganya ini besar-besaran. Tak hanya dari sisi internal saja, dia juga membangun infrastruktur industri pengolahan Apel Celup seperti pabrik-pabrik besar pada umumnya.
Jika anda melihat arsitektur bangunan tempat pengolahan apel celup ini nyaris mirip pabrik-pabrik besar di luar negeri. Tak hanya bangunan saja, sistem pabrikasinya juga mengadaptasi ala industri modern.
Dimana masing-masing tahapan proses pengolahan ditempatkan dalam satu ruangan secara terpisah. Mulai zona pengupasan, ruang penggilingan, ruang dehidrator, packaging hingga ruang research and development (RnD).
Bahkan ketika masuk, semua orang diberlakukan standart operation procedure (SOP) seperti memakai Alat Pelindung Diri (APD) untuk menjaga higienitas ruangan.
”Yang dulu sistemnya gradakan, sekarang saya coba tata serapi mungkin. Mindset memandang pertanian kita sudah harus industri. Usaha ini masih tergolong UMKM, tapi sudah kayak pabrik. Meski sebenarnya ya seperti inilah agroindustri, ‘ tutur anak sulung dari dua bersaudara.
Edo mengatakan jika hal-hal kecil ini merupakan upayanya memulai iklim agroindustri secara ril. Tidak hanya produk saja yang di-scale up, tapi juga semua proses dari hulu hingga hilirisasinya hingga tumbuh berdaya saing dan mandiri.
”Mungkin kelihatannya idealis ya, tapi bagi saya ini saya coba menghidupi mimpi saya. Dijalani saja semampunya. Saya percaya, selama kita berusaha, selalu ada jalan di luar nalar,” tegasnya.
7 Tahun Terus Bertumbuh
7 tahun berjalan, produk bernama Apel Celup terus berkembang dalam segala aspek. Dalam sebulan, kini mereka bisa mengolah hingga 4.000 boks yang diolah dari 2 ton apel. Ia mendapat apel yang dikepul dari petani di sekitarnya yang menuai panen setahun dua kali.
Edo menuturkan setelah sekian perjalanannya, kini produknya mulai dipilih wisatawan untuk dijadikan oleh-oleh. Meski begitu, dirinya tidak memiliki keinginan men-scale up produknya agar dijual di toko oleh-oleh di luar daerah seperti produk lain pada umumnya.
“Kami fokus jualan di Kota Batu saja, mentok di wilayah Malang Raya. Namanya oleh-oleh khas Kota Batu ya jadi harus ke sini dong,” ujarnya.
Selain itu, tantangan terbesar bagi dirinya terletak pada ketersediaan bahan baku dalam beberapa tahun ke depan. Seperti diketahui, produktivitas apel khas Kota Batu ini kian menurun dari tahun ke tahun.Edo pun tak menampik realita tersebut.
Namun bagi dirinya, hal itu justru jadi tantangan. Ia menyarankan pemerintah untuk menggalakkan penelitian dan pengembangan bibit apel yang baru dan tetap berkualitas. Menurutnya, pohon apel di Kota Batu rata-rata sudah berusia tua dan sudah perlu diregenerasi.
“Tapi saya melihat upaya regenerasi ini tidak ada. Malah disuruh alih tanam jeruk atau stroberi. Usia pohon di Batu ini rata-rata sudah hasil stek ketiga kalinya, usia 40 tahun lebih. Jadi sudah waktunya ada upaya pembibitan apel lagi, bukan malah alih tanam,” bebernya.
Demikian kisah mimpi besar pengusaha muda di Kota Batu di balik aktivitasnya memproduksi teh apel celup. Semoga upaya kerasnya menjaga warisan lokal yang telah ada secara turun-temurun bisa terwujud, ya? Ayo dukung UMKM lokal kita sendiri. Semangat!
Program ini adalah program liputan untuk mendukung wirausaha lokal tumbuh dan berkembang. Supported by Paragon Corp (Wardah, Emina, Make Over, Puteri, Biodef dll).
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter : M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A