MALANG, Tugumalang – Janji Polri untuk mengembangkan pengusutan Tragedi Kanjuruhan terkesan lamban dan bertele tele. Bahkan narasi pembelaan terus dibangun seakan gas air mata bukan penyebab utama meninggalnya 135 jiwa. Kini 600 lebih korban luka juga belum pulih total baik secara fisik maupun psikokogis.
Pendamping hukum Tim Gabungan Aremania (TGA) untuk korban Tragedi Kanjuruhan, Anjar Nawan Yusky mengungkap, kondisi spesifik korban yang meninggal dan korban luka dalam tragedi memilukan itu. Dia mendapat data itu dari aduan langsung keluarga korban maupun korban luka di Posko TGA serta keterangan keluarga korban di rumah duka.
Menurutnya, korban luka dalam Tragedi Kanjuruhan rata rata mengalami mata merah dan bengkak akibat iritasi, sesak nafas, patah tulang hingga iritasi kulit seperti terbakar.

Sedangkan korban meninggal mayoritas menghitam kebiruan mulai dada hingga kepala dan mengeluarkan busa hingga darah dari hidung. Sebagian korban meninggal tidak terdapat luka sama sekali dan sebagian patah tulang rusuk, kaki, tangan hingga luka lecet.
“Tapi kondisi umum korban meninggal yang ciri cirinya sama itu membiru dan menghitam mulai dada ke atas dan keluar busa dan darah. Rata rata ceritanya seperti itu dari keluarga yang memandikan jenazah,” kata Anjar, Minggu (30/10/2022).
Anjar mengatakan bahwa keterangan medis yang diterima pihak keluarga korban terkait penyeban kondisi kebiruan pada wajah korban meninggal sama sekali belum terjawab. Bahkan kondisi kebiruan itu masih menjadi misteri dan pertanyaan dibenak keluarga korban hingga saat ini.
“Kalau misalkan dibilang infeksi paru paru, infeksi itu karena apa. Keluarga korban sebenarnya sangat ingin tau penyebab kematian sebenarnya,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan keluarga korban, Anjar mengatakan bahwa informasi medis terkesan sangat terbatas. Hanya resum medis terkait patah tulang saja yang diinformasikan secara gamblang. Meski begitu, hampir semua pihak keluarga korban tidak diberikan salinan resum medis itu terkait tindakan apa saja dan diagnosa penyakit yang diderita korban.
“Kalau kita lihat di UU Kesehatan hingga UU tentang Kedokteran, setiap tindakan medis, pasien itu kan berhak tahu resum medis dengan atau tanpa diminta,” ungkapnya.
Dia juga mengaku heran dengan RSSA Malang yang merupakan rumah sakit rujukan ternama di Jawa Timur itu terkesan menutup nutupi penyebab kematian korban Tragedi Kanjuruhan. Menurutnya, dokter yang sudah disumpah jabatan harusnya memiliki tanggungjawab secara hukum maupun moral untuk menyampaikan atas apa yang terjadi sebenarnya pada pasien yang ditangani.
“Tapi kenapa harus terkesan ditutup tutupi. Kenapa kok kesannya berhati hati, tidak mempersulit, tapi mereka cukup berhati hati,” ujarnya.
Sementara itu, Arifin Candra, paman korban ke-135 Tragedi Kanjuruhan atas nama Farza Dwi Kurniawan (20), warga Jalan Sudimoro, Kota Malang mengatakan bahwa proses pemulangan jenazah keponakannya sempat terkendala adminsitrasi lantaran jenazah juga divonis terpapar COVID-19 oleh RSSA Malang.
“Ini yang saya juga belum jelas soal itu. Saya mendengar informasi itu dari kerabat yang di RS. Waktu itu katanya masih diproses administrasinya,” kata Candra Senin (24/10/2022).
Dia heran proses pemulangan jenazah keponakannya cukup lama. Kabar korban dinyatakan terpapar COVID-19 juga menjadi pertanyaan besar bagi keluarga dan kerabat.

Teman sekampung korban, Amanda Febri juga mengaku heran bagaimana bisa Farza dinyatakan terpapar COVID-19. Padahal, berdasarkan keterangan teman teman yang menggotong Farza di Stadion Kanjuruhan, Amanda mengatakan kondisi Farza sudah membiru.
“Waktu digotong itu badannya sudah membiru, anak anak (kampung) sendiri yang gotong. Lalu di RSSA sampai 23 hari kan kritis. Terus dapat kabar kayak gitu, katanya kan juga di COVID kan. Padahal itu dari Kanjuruhan kena gas air mata,” ujarnya.
Wakil Direktur Bidang Pelayanan Medik dan Perawatan RSSA Malang, dr Syaifullah Asmiragani mengkonfirmasi bahwa Farza meninggal karena mengalami multi trauma akibat cidera di kepala, paru paru dan perut. Namun Farza disebutkan juga memang terpapar COVID-19.
Syaifullah mengatakan bahwa korban Tragedi Kanjuruhan rata rata mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen akibat berdesak desakan. Dia menegaskan bahwa penyebab utama kematian korban bukan karena gas air mata.
“Gas air mata salah satu kontribusi. Jadi memang berdesak desakan itu yang menyebabkan kekurangan oksigen,” ucapnya, Senin (24/10/2022).
Namun dia juga mengakui bahwa RSSA Malang tidak melakukan uji klinis atau pemeriksaan zat zat gas air mata yang masuk melalui pernafasan korban Tragedi Kanjuruhan. Disebutkan, vonis vonis penyebab kematian korban yang dirawat di RSSA hanya berdasarkan data luka luka saja.
“Kami pada saat awal tidak melakukan penelitian khusus mengenai itu. Tapi kami bisa mengambil kesimpulan itu secara tidak langsung dari (data luka luka) hasil laboratorium yang diperiksakan di ICU terutama,” tuturnya.
“Kami mengutamakan kegawatannya. Kami belum sampai kesana. Karena biasanya itu ranah forensik,” imbuhnya.

Plt Direktur RSSA Malang, dr Kohar Hari Santoso mengatakan bahwa sejumlah jenazah dirujuk untuk diidentifikasi di RSSA Malang terdapat luka luka akibat berdesak desakan. Mulai luka di kepala, patah tulang hingga cidera organ dalam dada.
“Spesifik luka korban memang karena berdesak desakan, terjatuh, terbentur. Jadi luka di kepala, dada hingga kesadaran menurun, sesak. Patah tulang juga,” ujarnya, Senin (10/10/2022).
Dia juga mengatakan bahwa rata rata korban Tragedi Kanjuruhan meninggal karena mengalami multi trauma akibat cidera di beberapa lokasi tubuh.
“Jadi benturan kepala keras, kalau berdarah di otak itu bisa mengakibatkan meninggal. Dada tertekan hingga tak bisa nafas juga bisa meninggal,” imbuhnya.
Devi Athok, ayah korban meninggal atas nama Naila D Angraini (14) dan Natasya D Ramadani (16), warga Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang memberikan kesaksian bahwa kondisi kedua anaknya menghitam kebiruan mulai dada sampai kepala.
“Anak saya Natasya meninggal dengan kondisi mulai dada sampai kepala membiru kehitaman, hidung keluar darah. Naila mulai leher hingga kepala menghitam kebiruan, tak ada luka luka tapi hidungnya keluar busa,” kata Devi ditemui di kediamannya pada Rabu (19/10/2022).
“Bahkan saya 7 hari gatal gatal karena mencium, memeluk dan menyedot hidung anak saya. Jadi saya mengajukan autopsi untuk mencari tau penyebab kematian anak saya. Di RS cuma didata aja,” tandasnya.
Reporter: M Sholeh
editor: jatmiko