MALANG – Kayutangan Heritage. Kawasan itu saat ini sudah bersolek. Pemerintah Kota (Pemkot) Malang memoles kawasan tengah kota tersebut menjadi kawasan wisata yang khas. Banyaknya pengunjung di kawasan tersebut membuat UMKM sekitar bangkit.
Achmad Mufid Rifai salah satunya. Pria 33 tahun, warga yang tinggal di kawasan Kayutangan ini menjajal bisnis di dunia kopi sejak tahun 2019. Tempat tinggal itu tepatnya di Jalan Jenderal Basuki Rahmat Gang 2b nomer 870. Ada baner besar di sana bertuliskan ‘Kopi Robusta Dampit Kelas Premium. Pawon Baja. Diambil dari Perkebunan Keluarga Semua Biji Dipetik Merah. Sedia Roasting Medium dan Dark’.
Ya, Pawon Baja, memang diusung Epik, sapaan akrabnya sebagai merk produknya. Maknanya sederhana, kata ‘pawon’ dalam bahasa Jawa berarti ‘dapur’ dan ‘baja’ diambil dari kedua nama anaknya. “Jadi Pawon Baja ini sebenarnya untuk menghidupi (menafkahi) kedua anak saya,” kata dia saat ditemui Rabu (12/10/2022).

Sebelumnya, Epik yang sempat bekerja di salah satu perusahaan batu bara selama tujuh tahun sudah mulai berkenalan dengan para petani kopi dan belajar soal jenis serta proses pengolahan kopi.
Hingga kemudian, ia memutuskan untuk resign dan memulai usaha baru, termasuk Pawon Baja. Epik juga bergabung dengan sebuah komunitas yakni East Java Ecotourism Forum (EJEF).
Awalnya, Epik hanya iseng melayani pesanan teman-temannya yang ingin dibawakan kopi dampit saat pulang kampung ke rumah mertua di Dampit, Malang. Hanya satu atau dua kilogram.
“Sebelumnya saya penggemar kopi aja, sampai suatu saat, istri saya kan asli orang Dampit. Ketika pulang kampung ke sana, orang-orang di sini (tetangga) ingin dibawakan kopi dari Dampit satu atau dua kilogram. Dari situ banyak yang suka dan jadi peluang,” tutur dia.
Di situlah Epik mulai memberanikan diri untuk menggandeng petani di Dampit dan membuat merk sendiri. Dalam berbisnis, iapun berkomitmen untuk menjaga rasa khas kopinya. Sebab itu, ia sangat memperhatikan proses pengolahan hingga produksi kopi.
“Karena kebun saya sendiri, otomatis saya tahu proses sebelum panen sampai pascapanen. Saya roasting sendiri. Saya pastikan juga bahwa kopi yang saya jual itu petik merah. Karena orang-orang yang melakukan petik merah itu ngga banyak. Intinya, konsisten,” terang dia.
Sebelum pandemi, kata Epik, penjualan kopinya bisa sampai luar pulau Jawa seperti Kalimantan dan Tanggerang. Pengirimannya juga ke luar negeri. Ada Kuwait, Hongkong, Malaysia dan Singapura. Paling banyak, ia menyupplay kebutuhan kafe atau kedai kopi di sana. Semua berkat marketing dari mulut ke mulut.
Namun, saat pandemi COVID-19 melanda dan berbagai kebijakan PPKM, penjualannya merosot tajam. Untuk bertahan, ia memulai dengan mengedukasi mereka yang suka kopi atau ingin membuka kedai kopi. “Saya bertahan dari komunitas saya sendiri. Untuk kedai, hanya yang memang relasi dan bertahan, karena saat pandemi banyak yang sepi,” urai dia.
Tak hanya itu, semenjak ada Kawasan Wisata Kayutangan, Epik juga berkolaborasi dengan UMKM lainnya di sekitar tempatnya tinggal untuk saling mendukung. Ia kebagian mendukung bahan mentah kopi di beberapa kedai yang ada di dalam gang kawasan itu.
Kini produknya bahkan sudah memiliki legalitas dan perizinan dengan memanfaatkan program gratis dari pemerintah.
“Saya sudah ada Nomor Induk Berusaha (NIB) akhir tahun 2020. Kedua, saya sudah daftar merk bulan maret (2022) ini. Jadi merk saya sudah terdaftar. Kebetulan saya memanfaatkan produk pemerintah untuk daftar merk itu gratis. Di kampung heritage ini juga sudah masuk, jadi bantu sama pemerintah dan dibantu temen-teman pokdarwis. Untuk sertifikasi merk, mereka jadi fasilitator,” tandasnya.
Reporter: Feni Yusnia
Editor: Herlianto. A