MALANG – Di era transformasi digital, teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Di tahun 2022, bahkan pengguna internet masyarakat Indonesia meningkat sebanyak 2,1 juta. Gagasan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo RI, Samuel Abrijani Pangerapan dalam Webinar Ngobrol Bareng Legislator : Cerdas dan Bijak di Ruang Digital, Kamis (7/4/2022).
Disampaikan Samuel, bahwa masifnya pengguna internet di Indonesia harus diakui telah membawa banyak resiko. Baik penipuan online, hoax, cyber bullying dan berbagai konten lainnya
Sebab itu, peningkatan teknologi ini perlu dibantu dengan kapasitas literasi digital yang memupuni. “Agar masyarakat dapat memanfaatkan teknologi digital dengan produktif, bijak dan tepat pengguna,” katanya.
Anggota Komisi I DPR RI Junico BP Siahaan SE menambahkan, dari 270 juta total penduduk Indonesia, didominasi oleh generasi milenial, generasi Z dan post genZ. “Mereka adalah orang yang sangat sadar dengan perkembangan dunia digital,” paparnya.
Tambah Nico, berdasarkan suvey Indeks Literasi Digital Katadata & Kominfo tahun 2021 diketahui bahwa terdapat dua indikator yang dapat dikatakan sedang, atau bahkan belum baik.
Dua indikator tersebut yakni digital ethics dari dan digital safety. Dari skala 1-5, keduanya berada di angka 3,53 dan 3,10. Dengan demikian, maka perlu adanya upaya untuk membekali masyarakat dengan kemampuan literasi digital sehingga siap mengawal adanya transformasi digital.
“Survey ini menunjukkan bahwa etik dan keamanan data kita sendiri turun. Etik adalah bagaimana masyarakat, bersikap di dunia digital, menulis hingga bereaksi,” imbuhnya.
Langkah literasi ini, jelas Nico, salah satunya dengan membiasakan diri berfikir kritis dan mebunbuhkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan kebenaran dan fakta. “Jadi kalau cinta pada kebenaran dan fakta, apapun media yang masuk kita tidak akan telat bulat-bulat. Bahkan jika kita menerima informasi dari media terpercaya,” terangnya.
Terlebih, dengan berfikir kritis bukan hanya melatih diri mencari fakta dan kebenaran namun juga mencegah diri agar tidak salah mengambil keputusan, tertipu hingga terjebak dalam situasi yang salah.
Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Dr Evi Novianti SSos MSi menekankan pada pengguna sosial media untuk selalu menanamkan konten positif, apalagi saat ini terdapat jejak digital.
Menurutnya, media punya pilihan memberitakan fakta dengan orientasi penyadaran ataupun sensasional. Disamping itu, masyarakat juga memiliki pilihan untuk memfilter konten media sosial. “Kita tidak bisa menyalahkan teknologi karena seiring perkembangan zaman, pasti memiliki resiko, sehingga akhirnya kita sendiri yang mesti pintar menentukan,” kata dia.
Iapun juga turut mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam memanfaatkan sosial media. Termasuk memperhatikan etika yang diterapkan untuk bermedia sosial. “Mari bijak dalam bermedia, kita mesti punya filter, mesti pintar dan cerdas dalam mengungkapkan sesuatu saat memposting. Baik buruknya situs jejaring tergantung kearifan dari pengguna, untuk menggunakannya secara positif,” jelasnya.
Senada, Praktisi Media Nurcholis MA Basyari menjabarkan bila bijak dan cerdas itu berkaitan satu sama lain. Keduanya perlu di aplikasikan dalam pemanfaatan sosial media. Terlebih, saat ini peran media lebih interaktif.
“Sebab itu harus hati-hati, siapapun saat ini tidak hanya menjadi pembaca dan penonton tapi sekaligus produsen sekaligus konsumen berita. Kalau dulu publisher harus punya modal besar, sekarang siapapun bisa (mempublish),” ungkapnya.
Oleh karena itu, Nurcholis, memaparkan beberapa langkah suapaya cerdas dan bijak di ruang publik. Pertama, mulai dari pahami media dengan memahani perbedaan pers dan jejaring sosial.
Pers, dipersepsikan sebagai trusted media karena sumber informasinya kredibel. Sedangkan media sosial, membanjiri publik dengan informasi yang dipersiapkan itu belum tentu benar, sehingga banyak beruta hoax dan palsu.
“Semua tergantung kita mau memilih yang mana, good and quality jurnalis atau fake news hoax,” tegasnya.
Ciri-ciri konten fake, imbuhnya, identik dengan berita bohong, glorifikasi, laporan tidak disengaja, rumot, bahkan konspirasi tanpa landasan yang jelas. Sementara hoax, bisa berisi fakta namun telah dipelintir atau direkayasa.
Sebab itu, ia berpesan agar masyarakat lebih cerdas dan bijak dalam bermedia sosial dan menjadi bagian dari pengisi konten prophetic citizen jurnalism dengan elemen yang terkandung dalam falsafah nilai-nilai pancasila.
Langkah nyata untuk cerdas dan bijak di ruang digital, tegas Nurcholis, antara lain menjadikan ruang digital sebagai networking dengan semangat silaturahim serta mengunggah konten yang bertanggungjawab hingga dilandasi dengan akhlak berbudi luhur.
“Jangan lupa itu semuanya dipakai untuk saling mengingatkan etika yang baik, baik meliputi agama maupun nilai budaya masyarakat,” tandasnya.
Reporter:Feni Yusnia
editor:jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id