Ratri Nurwanti*
Bunuh diri merupakan salah satu perilaku manusia yang paling kompleks dan menyebabkan penderitaan yang sangat mendalam. Laporan dari WHO menunjukkan bahwa lebih dari 700.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya.
Ini berarti satu orang meninggal akibat bunuh diri setiap 40 detik. Bunuh diri sendiri merupakan fenomena global yang menyumbang 1,3% dari total kematian di seluruh dunia dan menempati peringkat ke-17 sebagai penyebab kematian utama pada tahun 2019.
Meskipun bunuh diri merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki laporan nasional resmi mengenai tingkat bunuh diri. Menurut perkiraan WHO, terdapat 6.544 kematian akibat bunuh diri di Indonesia pada tahun 2019.
Namun, perlu dicatat bahwa angka-angka ini memiliki status kualitas data terendah, yang mengindikasikan bahwa bahwa jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi.
Pemberian empati oleh orang lain di sekitar individu yang memiliki pemikiran untuk bunuh diri memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri serta membantu individu untuk mencari jalan keluar yang lebih adaptif untuk masalah yang sedang dihadapinya.
Empati, yang biasanya dideskripsikan sebagai kemampuan dalam memahami perasaan serta usaha untuk menempatkan diri di situasi orang lain, memainkan peranan penting dalam menjalin keterkaitan, memperoleh pemahaman, dan memberikan dukungan. Pada konteks isu kesehatan mental, saat individu bergulat dengan kompleksitas emosinya, peran empati menjadi kian jelas.
Kemampuan seseorang dalam memberikan empati dapat berdampak pada individu yang sedang memiliki pikiran bunuh diri, atau pada individu di sekitar mereka yang mencoba untuk memberikan dukungan sosial pada individu yang sedang memiliki pikiran bunuh diri.
Beberapa peran kunci empati dalam membantu seseorang dalam menghadapi ide bunuh diri, antara lain 1) memahami penderitaan emosional yang sedang dihadapi oleh individu, 2) mereduksi stigma dan isolasi, 3) membangun kepercayaan dan keterhubungan, 4) memberikan validasi emosi, 5) mendorong perilaku mencari bantuan (help-seeking behavior), 6) menyediakan dukungan emosional, 7) memberikan penilaian ulang mengenai rasa keberhargaan (sense of worth), 8) memfasilitasi komunikasi, 9) mencegah isolasi sosial, dan 10) berkontribusi pada pemulihan jangka panjang.
Seperti yang disebutkan, empati memerankan peranan yang sangat penting dalam membantu individu dengan pemikiran bunuh diri. Akan tetapi, saat kita secara konsisten memberikan dukungan pada individu dengan ide bunuh diri, kita dapat menjadi rentan terhadap kelelahan emosional yang disebut dengan compassion fatigue. Compasssion fatigue atau yang juga diketahui sebagai stres traumatis sekunder, muncul saat individu secara regular memberikan empati pada kesulitan orang lain yang kemudian mengalami penderitaan dikarenakan kelelahan secara emosional.
Beberapa tanda-tanda compassion fatigue di antaranya 1) kelelahan emosional, 2) berkurangnya empati, 3) sinisme dan perilaku menjauh, 4) gejala fisik seperti pusing, insomnia, dan kelelahan fisik, 5) berkurangnya kepuasan dalam aspek pekerjaan atau sekolah.
Mencegah compassion fatigue merupakan hal yang krusial dalam mempertahankan komitmen jangka panjang advokasi atau bantuan dalam hal kesehatan mental. Kelelahan mental emosional yang diakibatkan karena secara konsisten terlibat pada kesulitan orang lain dapat menyebabkan burnout, yang pada akhirnya berdampak pada diri sendiri maupun menurunkan kualitas dukungan yang dapat diberikan.
Oleh karena itu, dalam memberikan dukungan dan empati, individu harus senantiasa menjaga dirinya agar tercegah dalam situasi tersebut di antaranya dengan hal-hal berikut:
- Merawat kesehatan mental diri sendiri (self-care): individu harus memprioritaskan kesejahteraan diri sendiri dengan berbagai cara seperti berolahraga, melakukan meditasi atau relaksasi, dan melakukan aktivitas yang memberikan kesenangan personal.
- Mencari dukungan sebaya (peer-support): menjalin relasi dan berbagi dengan rekan yang memiliki permasalahan yang sama yang memahami tantangan yang sedang dihadapi akan membantu individu menjadi media untuk berbagi pengalaman dan mencari pedoman
- Menetapkan batasan: membangun batasan yang jelas sangat krusial dalam mencegah kelelahan emosional. Memahami keterbatasan yang dimiliki serta mengkomunikasikannya dengan individu yang sedang didukung mengenai beban dan kapasitas emosional yang dimiliki merupakan hal yang vital.
- Mencari bantuan profesional: saat beban dirasa tidak dapat dikelola secara personal atau melalui cara-cara yang biasanya dilakukan, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional seperti konselor, psikolog klinis, atau psikiater.
Membantu individu yang memiliki ide bunuh diri adalah tanggung jawab yang sangat mulia, namun di sisi lain merupakan beban yang sangat besar dan kompleks. Mengakui keterbatasan kapasitas yang dimiliki serta mencegah compassion fatigue merupakan hal yang sangat penting, tidak hanya untuk individu yang memberi dukungan emosional melainkan pada individu yang mereka dukung pula.
Dengan menumbuhkan budaya self-care, mencari dukungan rekan sebaya dan bantuan profesional, serta menerapkan strategi coping yang adaptif dan efektif, individu dapat mengelola kompleksitas emosional dari peran mereka dalam memberikan dukungan dengan resiliensi yang tinggi yang disertai dengan rasa welas asih. Dengan melakukan hal tersebut, individu tidak hanya melindungi kesehatan mental mereka sendiri, tetapi juga meningkatkan kapasitas mereka dalam memberikan dukungan emosional dan sosial yang bermakna dan berkelanjutan bagi individu lain yang membutuhkan.(*)
*Staf Pengajar Departemen Psikologi, Universitas Brawijaya
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
editor: jatmiko