MALANG – Kehadiran media sosial di keseharian kita saat ini sudah sulit dihindarkan. Media sosial sebagai saluran komunikasi ini kini seolah memiliki 2 kutub yang dampaknya cukup berpengaruh dalam kehidupan. Sisi baiknya luar biasa, sisi buruknya bisa membuat binasa.
Di Indonesia, saat ini hampir seratus persen (data We Are Social 2021) menyebutkan 96 persen pengguna telepon seluler Indonesia adalah pengguna media sosial.
Artinya, di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi apapun pengguna media sosial bisa menyampaikan pesan-pesannya melalui platform media sosial yang diikutinya. Kemudahan itu membuat penggunanya semakin aktif. Sebanyak 99,8 persen pemilik akun media sosial Indonesia aktif bermedia sosial.
Maka tidak heran jika pengguna media sosial di Indonesia rata-rata setiap harinya menghabiskan 3 jam 14 menit untuk berinteraksi di media sosial. Durasi itu di atas rata-rata dunia yang hanya 2 jam 25 menit.
Tak hanya berinteraksi, 60 persen pengguna internet menggunakan media sosial untuk membantu bidang pekerjaannya. Padahal dulu, jika ada karyawan yang begitu, sering disindir korupsi waktu. Sekarang, media sosial dianggap mendongkrak produktivitas.

Namun media sosial juga punya sisi lain yang menyisakan lubang besar mengenaskan. Sudah sering dikeluhkan sarana komunikasi ini memiliki dampak buruk yang komplet.
Mulai dari dampak psikologis hingga dampak konflik yang memakan korban. Dari urusan keluarga hingga urusan bangsa. Banyak hal bisa dilakukan disini. mulai dari rayuan gombal, penipuan bisnis, hingga maraknya fake news, hoax, dan hate speech yang mampu memecah belah bangsa.
Begitu demikian pengantar buku berjudul ‘Medsos; diantara Dua Kutub’ yang ditulis oleh Jenderal Polisi (P) Prof. Dr. Budi Gunawan, S.H., M.Si. dan Kombes Pol Dr Barito Mulyo Ratmono SIK MSi. Keduanya adalah profesional di bidang intelijen.
Lahirnya buku dari kedua putra bhayangkara ini tidak berangkat dari kosong, namun dari berbagai situasi yang sedang dihadapi. Latar belakang kedua penulis ini juga bukan kaleng-kaleng. Karena soal intelijen, mereka adalah jagonya.
Jendpol Budi sendiri hingga saat ini adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) sekaligus Guru Besar dalam Bidang Ilmu Intelijen Studi Strategis Kajian Keamanan Nasional Bidang Siber di Sekolah Tinggi Intelijen Negara.
Budi yang sepanjang karirnya sudah menerima 22 tanda jasa dari Polri ini juga sudah aktif menulis sejak lama. Total sudah ada 5 judul buku yang terbit. Nukilan pemikirannya juga sering nongol di media-media massa.
Sementara, Kombes Pol Barito selaku penulis pendamping dalam buku ini adalah Wakil Gubernur Sekolah Tinggi Intelijen Negara. Dia langgganan dikirim ke luar negeri untuk misi penelitian hingga perundingan kenegaraan.
Selain aktif meneliti banyak di bidang intelijen dan keamanan siber, Barito juga tercatat pernah menerbitkan 5 judul buku.
Di edisi buku yang ditulis duet putra Bhayangkara ini banyak bicara mengulas tentang positioning media sosial, 2 fungsi media sosial yang berada pada 2 kutub berseberangan hingga konflik yang muncul sejak era digital dikuasai oleh media sosial.
Buku yang terbit anyar di tahun 2021 ini akan membahas sekelumit masalah itu dengan cara yang simpel, mudah dipahami, dan ditulis dari sudut pandang yang berbeda oleh dua profesional di bidang intelijen: Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono.
Secara garis besar, terlepas dari sisi terang manfaat medsos, tetap saja harus ada sisi gelap dibaliknya yang juga harus dihadapi. Budi Gunawan punya contoh bagus, yakni sebuah fenomena angka perceraian di Bengkulu Selatan di tahun 2018 tembus 447 kasus.
Tak dinyana, pemicu perceraian ini sebagian besar karena media sosial. ”Status dan komentar romantis, komunikasi sembunyi-sembunyi hingga jadi pemicu kecemburuan, pertengkaran dan berujung cerai,” tulis Budi.
Tren serupa juga terjadi di Bandung, dimana selama tahun 2018, tercatat ada 4.808 perceraian dan 2.048 diantaranya terjadi dan lagi-lagi, biang keladinya adalah medsos.
Ini baru contoh kecil, ada banyak konflik besar yang juga dibiangi media sosial. Sebut saja propaganda berupa hoaks, fake news hingga hate speech yang bahkan bisa mengancam kedaulatan negara.
Lalu, pertanyaannya bagaimana kita menghadapi konflik? Menurut lulusan Akpol 1983 ini, perceraian adalah bentuk dari resolusi konflik. Resolusi didapat dari hasil manajemen konflik dimana sebelum bercerai, pasangan sudah melakoni mediasi yang ditengahi Pengadilan.
Kuncinya, ada di manajemen konflik. Orang harus tahu bahwa semua konflik bisa dihadapi. Kenneth W Thomas dan Ralph H Killman (1974) merumuskan 5 metode menangani konflik, yaitu bersaing, berkolaborasi, berkompromi, menghindari dan mengakomidasi.
Deng begitu kita bisa belajar bahwa konflik itu bisa diselesaikan. Namun jika poinnya adalah media sosial sebagai biang keladi konflik, maka menghindar bisa jadi pilihan jitu.
‘Secara garis besar, hampir semua konflik bisa terjadi karena medsos, langsung maupun tidak langsung. Jika memang medsos menjadi faktor utama konflik, maka menghindari penggunaan medsos bisa jadi pilihan,” demikian saran yang dikutip dari buku tersebut.
Nah, pertanyaannya, siapkah kita hidup tanpa media sosial di era 4.0 ini? Atau justru terampil memilih menghadapi konflik dengan pikiran dingin? Buku ini ditutup dengan kutipan imbauan dari Presiden Joko Widodo.
”Gunakan medsos untuk perubahan yang baik. Mengubah pola pikir, mindset sehingga membawa manfaat keterbukaan, manfaat digitalisasi, betul-betul membawa manfaat pada bangsa dan negara,” kata Jokowi.
”Jangan sampai yang muncul di medsos itu malah ujaran kebencian, fitnah, hoax dan saudara-saudaranya. Ini penting karena teknologi yang ada sekarang ini harus diikuti standar moralitasnyang tinggi,” harap Jokowi.
Akhir kata, apa yang harus ditanamkan dalam diri kita yaitu saring sebelum sharing. Manfaatkan kemajuan teknologi informasi dengan cerdas dan bijak.
Reporter: Azmy