MALANG, Tugumalang.id – Warga kampung tempe, Sanan, Kota Malang punya gawe. Dalam tiga hari ini, mulai Minggu (28/5/2023) hingga Selasa (30/5/2023), warga di daerah tersebut memperingati atau menggelar Haul ke-47 KH Achmad Dachlan (Alm).
Lantas siapa sebenarnya KH Achmad Dahlan sehingga membuat wafatnya selalu diperingati dengan cukup besar saban tahun. Apa keutamaan dia semasa hidupnya, serta hal baik apa yang bisa kita ambil dari KH Achmad Dahlan?.

Berdasarkan data yang dihimpun tugumalang.id dari keluarga dan santri beliau, KH Achmad Dahlan adalah pria asli Urung-Urung, Kabupaten Pasuruan. Sekitar tahun 1940–an atau sebelum kemerdekaan, beliau hijrah ke Sanan, Kota Malang, setelah mempersunting Hj Siti Aisyah. Aisyah adalah puteri dari H Abdurrahman yang dikenal sebagai orang kaya Sanan waktu itu.
Layaknya pernikahan zaman dahulu, Dachlan muda dan Hj Siti Aisyah menikah karena perjodohan. Tidak lama setelah menikah, karena H Abdurrahman adalah orang kaya waktu itu, lantas KH Dachlan dan Hj Siti Aisyah dinaikan haji.
”Ceritanya sebelum haji, beliau berdua belum begitu akrab, baru ketika Haji itulah, ada yang menyebut saat momen di Kapal Laut atau di atas unta, keduanya bisa dibilang klik dan menemukan kecocokannya,” kata M Nanang Choiruddin, salah seorang cicit KH Achmad Dahlan.
BACA JUGA: Mengenang KH Abdurrahman Wahid Sebagai Bapak Tionghoa di Haul Gus Dur ke-13
Sebelum menikah, KH Achmad Dahlan sudah mempunyai bekal ilmu agama yang kuat. Berdasarkan cerita dari mulut kemulut, ada dua versi soal di mana KH Achmad Dahlan belajar ilmu Agama.
”Ada yang menyebut beliau belajar Ilmu Agama di Mbah Nyemplong Madura, ada yang menyebut di Mbah Bungkuk, Singosari,” imbuh pria yang berprofesi sebagai dosen di UIN Maliki Malang ini.

Selain itu, menurut Nanang, ada yang mengatakan bahwa dulu beliau pernah menimba ilmu ke mbah Kholil Bangkalan dan Kyai Nawawi Sidogiri.
Berlandaskan pengetahuan Ilmu Agama itulah, KH Achmad Dahlan mengajar mengaji dan ilmu agama lainnya di Sanan, Kota Malang. Awalnya, KH Achmad Dahlan mengajar di Gang X atau di sekitar rumah mertuanya.
Baru sekitar tahun 1943, KH Achmad Dahlan pindah ke Sanan Gang 3, Kota Malang. Di tempat ini, KH Achmad Dahlan mendirikan Mushola dan Pesantren Raudlatul Mujtahidin. Belakangan, Mushola dan Pesantren ini, lebih dikenal sebagai Raudlatul Mujtahidin Al Dachlany. Nama ini merupakan salah satu penghormatan terhadap sang pendiri.

Di Pesantren tersebut, KH Achmad Dachlan mengajar sejumlah kitab seperti kitab Al Hikam, Ta’lim Muta’alim, dan lain sebagainya. Adapun santrinya berasal dari Cirebon, Demak, Kudus, Surabaya, Jember, Banyuwangi, Mojokerto, Kertosono, Jombang, Nganjuk, Semarang, Gondanglegi, Cilacap. ”Santri beliau banyak menjadi kiai di daerahnya masing-masing,” katanya.
Konsisten atau Istiqomah Adalah Jalan yang Dipilih
Musonep,48 tahun, salah seorang santri generasi kedua dari Pesantren Raudlatul Mujtahidin bercerita, sebagai seorang kiai, KH Achmad Dachlan tidak hanya pandai berkhutbah atau berceramah saja. Beliau adalah seorang kiai yang konsisten ketika melakukan sesuatu.
”Saya mendapatkan cerita, beliau setiap sore jalan kaki mencari lebah untuk diambil madunya, mungkin madunya dibuat minum buat kesehatan, dan itu beliau konsisten melakukan setiap sore,” kata pria asal Demak yang sudah menetap di Sanan ini.

Selain itu, dalam hal kecil seperti membuang putung rokok, KH Achmad Dachlan setiap hari selalu membuang putung rokok di tempat yang sama.
”Dan katanya waktu buangnya selalu sama persis setiap hari, jadi beliau peduli kebersihan dan disiplin,” imbuhnya.
Musonep juga menyebut kalau apa yang dinyatakan KH Achmad Dachlan itu, sering benar terjadi.
”Misal beliau memprediksi bahwa anak pertamanya yakni H Utsman, kalau gak jadi orang kaya beneran, ya jadi ulama beneran. Ternyata betul beliau jadi orang kaya beneran,” katanya.
”Selain itu beliau juga berhasil membuat daerah Sanan yang dulu bisa disebut daerah banyak maksiat seperti judi, diubah menjadi kampung santri,” imbuhnya.
Diketahui, H Utsman (Alm) adalah salah seorang pengusaha kerupuk besar di Sanan dan cukup berada. Sejumlah anaknya, kini meneruskan dengan beberapa di antaranya menjadi pengusaha Keripik Tempe besar di Sanan. KH Achmad Dachlan wafat sekitar tahun 1977 dengan meninggalkan 9 anak yang hidup hingga dewasa.
”Kalau total anaknya ada yang menyebut 16, 17 dan 18, tapi yang hidup waktu itu 9, yang lain kayaknya wafat di kandungan atau ketika kecil,” kata M Nasir, Ketua Pelaksana Haul ke-47 yang juga cicit KH Achmad Dachlan.

Setelah KH Achmad wafat, pesantren diteruskan generasi kedua, yakni KH Muzammil Dachlan (Alm). Saat ini, pesantren tersebut dipimpin generasi ketiga yakni KH Zainul Abidin.
Terkait pelaksaan Haul, Nasir menyebut kalau pelaksanaan tahun ini digelar 3 hari, sedangkan tahun sebelumnya 2 hari.”Ada pembacaan manaqib, penampilan Ishari, khataman Alqurhan, pembacaan shalawat, hingga ceramah Agama yakni Dr KH Abdul Kholik Hasan M.HI Al Hafidz dari Pesantren Al Amanah, Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang,” pungkas Nasir.
Reporter: Irham Thoriq
editor: jatmiko