Tugumalang.id – Media sosial kini makin mendisrupsi banyak aspek kehidupan masyarakat. Teknologi informasi ini digunakan dalam banyak aspek seperti pekerjaan, hiburan dan keseharian. Irisan komunikasi massal dalam segala aspek ini membuat pencemaran nama baik di media sosial rawan terjadi.
Anda tentu sudah familiar dengan deretan publik figur dilaporkan ke pihak berwajib karena melakukan tindak pencemaran nama baik. Contoh laporan pencemaran nama baik yang kerap muncul ialah kritik atau komentar terhadap individu, kelompok atau lembaga lain lewat medsos.
Memahami Pencemaran Nama Baik di Media Sosial
Definisi pencemaran nama baik di media sosial dapat merujuk pada beberapa dasar hukum. Dalam pasal 310 KUHP disebutkan bahwa pencemaran nama baik ialah perbuatan yang menyerang kehormatan orang lain dan nama baiknya dengan menuduh suatu hal agar diketahui umum.
Baca Juga: Tingginya Penggunaan Media Sosial di Indonesia jadi Tantangan Besar Pemilu 2024
Dengan hukuman pencemaran nama baik yang lebih berat, UU No. 19 Tahun 2016 sebagai perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 menjelaskan jika pencemaran nama baik ialah setiap orang yang tanpa hak menyebarkan informasi elektronik dengan muatan penghinaan nama baik.
Dalam undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini, orang yang dikenai pasal tak hanya yang menyebarkan namun juga yang membuat dapat teraksesnya konten tersebut. Peraturan ini disahkan dengan semangat awal untuk membangun keamanan komunikasi digital.
Data dari Direktorat Tindak Pidana Siber mencatat adanya 15 ribu laporan sejak tahun 2017 hinga 2020. Terdapat 32 persen kasus pencemaran nama baik sebesar atau 5.064 laporan. Sedangkan ada 1.050 kasus penyebaran porografi dan 1.169 kasus mengenai ujaran kebencian.
Alasan Pencemaran Nama Baik Dianggap Perlu Direvisi
Dengan banyaknya kasus pencemaran nama baik di media sosial maupun melalu media digital lainnya, terdapat beberapa argumentasi mengapa pasal-pasal tentang pencemaran nama baik dicap sebagai pasal karet. Berikut ini beberapa ulasan tentang substansi yang menimbulkan keresahan.
Baca Juga: 5 Media Sosial Ini Diprediksi Booming di 2023
1. Multitafsir
Pencemaran nama baik di media sosial pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik menjadi rentan disalahgunakan oleh berbagai pihak untuk agar mengamankan kepentingannya. Bagaimana nama baik dapat tercemar masih bisa diperdebatkan dan sangat bersifat subjektif.
2. Dapat membatasi kebebasan berpendapat
Pasal 26 dan 27 UU UTE tentang pencemaran nama baik dan penghapusan informasi menjadi rentan untuk disalahgunakan berbagai pihak. Pasal 26 yang memuat sensor informasi tentu membuat masyarakat tak bisa bebas menyuarakan fenomena dan kejadian yang mereka alami.
3. Merepresi kritik kelompok minoritas
Selain beberapa pasal dalam KUHP yang juga memuat pencemaran nama baik, beberapa pasal UU ITE seperti pasal 27 ayat 1 dan 3, serta pasal 28 dan 29 juga rentan membuat mereka yang berasal dari kelompok minoritas tak dapat menyuarakan aspirasinya, dan malah akan terancam pidana.
4. Rentan digunakan sewenang-wenang
Beberapa pasal seperti pasal 40 ayat 2 yang memuat pemutusan akses dapat digunakan pemerintah untuk leluasa memutus akses disuatu kondisi dengan dalih hoax atau alasan lain. Selain itu, juga menitikberatkan posisi pemerintah dalam pengadilan dan ancaman pidana pada pasal 45 ayat 3.
Beberapa Kasus Pencemaran Nama Baik di Media Sosial
Dari ratusan kasus pencemaran nama baik di media sosial maupun media digital lainnya, beberapa kasus pun sempat mencuri perhatian masyarakat. Banyak diantara masyarakat yang memberi dorongan dan motivasi pada korban-korban yang dikriminalisasi karena menyampaikan pendapat.
1. Kasus Prita Mulyasari
Kasus pencemaran nama baik ini dialami oleh seorang ibu rumah tangga pada tahun 2008. Kasus bermula tatkala Prita Mulyasari yang tak puas dengan pelayanan Rumah Sakit Omni berkeluh kesah lewat mailing list. Namun tak disangka, RS Omni tak terima dan melaporkan Prita.
2. Kasus Baiq Nuril Maqnun
Nasib malang juga menimpa Baiq Nuril, seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram. Ia yang kala itu mendapat pelecehan verbal dari kepala sekolah, mencoba mengumpulkan butki atas sikap tak terpuji yang terjadi pada tahun 2012. Namun ia malah dilaporkan oleh kepala sekolah tersebut.
Pasal fitnah dan pencemaran nama baik akhirnya digunakan oleh pihak berwajib atas laporan kepala sekolah tak berterima. Walau Baiq Nuril Maqnun menolak dipersalahkan atas tuduhan pasal 27 ayat 1 UU ITE, ia tetap ditetapkan menjadi tersangka pada tahun 2017 silam.
3. Kasus Saiful Mahdi
Menjadi korban dari pasal karet pencemaran nama baik di media sosial juga dialami oleh Saiful Mahdi. Dosen bergelar Doktor di Univeristas Syiah Kuala ini dilaporakan oleh seorang Dekan karena melakukan kritik melalui grup WhatsApps di fakultas tempat ia mengajar.
Kasus bermula ketika Saiful merasakan kejanggalan pada proses seleksi dosen Calon Pegawai Negeri (CPNS) pada salah satu dosen. Unggahan Saiful lalu direkam dan diberikan pada Dekan. Ia lalu dikenakan pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 3 oleh pihak berwajib pada 2019 silam.
4. Kasus Haris Azhar, Fatin Maulidiyanti dan Luhut Binsar Pandjaitan
Kasus pencemaran nama baik di media sosial yang menyita perhatian publik ialah laporan ke Polda Metro Jaya oleh Menteri Luhut atas tayangan Youtube Haris Azhar dan Fathia. Luhut merasa terpojok lantaran Haris mengaitkan nama dan perusahaannya dengan isu tambang di Papua.
Dorongan Masyarakat untuk Revisi UU ITE
Kasus pencemaran nama baik terus meningkat dari tahun ke tahun. SAFEnet sebagai organisasi pemerhati ruang digital menyebutkan peningkatan 281,8 persen pada tahun 2020 dari sebelumnya 22 kasus. Walau turun menjadi 38 kasus pada 2021, namun mayoritas korban adalah aktivis HAM.
Lebih lanjut dalam kesempatan lain, SAFEnet juga menyebut bahwa orang yang paling sering menggunakan UU ITE kasus ialah orang yang memiliki kekuasaan dengan persentase sebesar 68 persen. Mereka terdiri dari pejabat publik, kalangan profesi dan beberapa kalangan berpunya.
Sebuah penelitian untuk mencari solusi pencemaran nama baik telah banyak dilakukan. Salah satunya survei pada 1007 responden di 34 provinsi. Hasilnya, 47,4 persen dan 28,4 persen merekomendasikan perlunya revisi sebagian dan seluruhnya pada UU ITE yang berlaku saat ini.
Instrumen Hukum Kebebebasan Berpendapat
Perlu diketahui bahwa selain pernyataan Presiden Joko Widodo yang menganjurkan adanya revisi bahwa pasal ini menimbulkan kegaduhan, Indonesia sendiri sebenarnya telah mempunyai beberapa payung hukum kebebasan berpendapat seperti UUD 45 Pasal 28 dan Ratifikasi Deklarasi HAM.
Dalam Pasal 28E ayat 3 dan Pasal28F UUD 1945 mengatur bahwa masyarakat dapat memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum. Pasal ini juga didukung adanya peraturan TAP MPR No. 17 Tahun 1998 yang mengatur UU No. 39 Tahun 1999.
Selain itu, Indonesia juga memiliki kewajiban menjaga dan menjamin hak berpendapat dan berekspresi warganya karena telah meratifikasi Konvenan Sipil Politik (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Masyawakat juga berhak memberikan informasi melalui media apapun.
Pencemaran nama baik di media sosial memang begitu rentan disalahgunakan oleh beberapa kelompok. Korbannya tentu masyarakat yang berusaha menyuarakan pendapatnya lewat media sosial. Namun masyarakat perlu untuk lebih bijak dalam berpendapat di media sosial.
Penulis: Imam A. Hanifah
Editor: Herlianto. A