Tugumalang.id – RSSA Malang menertibkan aset rumah dinas di Jalan Ijen No. 75B, Kota Malang yang kini dihuni menantu dan cucu mendiang mantan direktur RSSA Malang.
Tim gabungan dari anggota Satpol PP hingga TNI Polri dikerahkan dalam penertiban pada Jumat (14/6/2024) itu.
Proses penertiban itu sempat diwarnai ketegangan. Terlebih, pihak penghuni rumah itu melakukan penolakan. Aksi saling dorong dan adu mulut juga mewarnai saat petugas berusaha masuk untuk mengosongkan rumah dinas itu.
Baca Juga: RSSA Malang Sukses Lakukan Operasi Pemisahan Bayi Kembar Siam dalam 1 Jam
Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSSA Malang, Henggar Sulistiarto menyampaikan, lahan dan banguban rumah dinas tersebut merupakan aset Pemprov Jatim yang hak penggunaannya diamanahkan ke RSSA Malang.

Menurutnya, rumah dinas tersebut dahulu dihuni oleh Direktur RSSA Malang periode 1959-1966 yakni dr Sosodoro Djatikusumo. Namun setelah pensiun dan wafat, rumah dinas itu tetap dihuni oleh keluarganya hingga saat ini.
“Memang aset ini milik Pemprov Jatim yang penggunaannya diamanahkan ke RSSA. Jadi harus ditertibkan,” kata Henggar.
Terpantau, perabotan yang ada dirumah dinas tersebut diangkut dengan menggunakan lebih dari 5 truk. Selanjutnya, Henggar mengatakan bahwa rumah dinas tersebut rencananya akan dipergunakan untuk rumah dinas direktur RSSA Malang.
Baca Juga: Kasus DBD Meningkat, 2 Anak Meninggal di RSSA Malang
“Setelah dikosongkan akan dikembalikan sebagai rumah dinas lagi untuk direktur kami,” ujarnya.
Sementara itu, cucu mendiang dr Sosodoro Djatikusumo, Aria Cipta Soebandrio menyampaikan, kakeknya pernah membantu keuangan RSSA Malang dengan meminjami uang sebesar Rp 200 ribu hasil menjual rumah di Kediri seluas 1.000 meter persegi seharga Rp 300 ribu pada tahun 1959.
“Uang Rp 200 ribu itu dipinjamkan ke RSSA dan hingga beliau meninggal bahkan sampai saat ini uang itu belum dikembalikan,” bebernya.
Dikatakan, kakeknya sempat menawarkan untuk membeli rumah dinas itu dengan cara dicicil sebagai ganti hutang tersebut. Namun pihak RSSA tak memberikan kejelasan yang pasti.
Kemudian, kakeknya meminta izin RSSA untuk menempati rumah itu karena sudah tidak memiliki rumah pribadi. “Sampai beliau meninggal tahun 1983 hingga sekarang belum ada kejelasan,” ungkapnya.
Menurutnya, uang Rp 200 ribu tahun 1959 yang dikonversi ke tahun 2024 mencapai Rp 200 miliar. Namun pihaknya menggugat agar RSSA Malang membayar piutang itu senilai Rp 10 miliar saja.
“Eyang kami kan juga sudah berjasa, bahkan nama eyang kami dipakai untuk nama rumah sakit di Bojonegoro,” kata dia.
Menanggapi persoalan piutang tersebut, Henggar menyampaikan bahwa hal itu perlu dibuktikan. Pihaknya juga mempersilahkan bagi pihak keluarga yang menggugat ke pengadilan jika memiliki bukti yang kuat soal piutang RSSA Malang.
“Itu saya katakan sepihak, memang ada bukti bahwa ada uang yang digunakan atau dikelola pada tahun-tahun lalu. Tapi kami ini tidak memahami itu. Artinya ya boleh-boleh saja secara sepihak itu mengakui,” ucapnya.
“Kalau ada bukti ya monggo disampaikan di PN tentu nanti akan ada putusan pengadilan yang sah. Karena bukti (piutang) yang kami terima berupa foto kopi,” tandasnya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter: M Sholeh
Editor: Herlianto. A