Oleh: Lizya Kristanti*
Saat jadi mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada 2010 lalu, aku masuk di Program Studi Ilmu Komunikasi (Ikom) kelas G. Di sana, aku mempunyai sekitar 60 teman baru.
Seiring berjalannya waktu, aku makin akrab dengan beberapa teman dan membentuk sebuah geng. Salah satunya ada Septy Alvia yang akrabku panggil mbak Septy walaupun kami seumuran. Diapun memanggilku mbak Lijah, plesetan nama asliku, Lizya, yang kata mereka sulit diucapkan.
Hampir setiap hari aku numpang tidur siang bahkan menginap di kos mbak Septy, lantaran rumahku cukup jauh dari kampus UMM. Kebetulan dia juga sekos dengan Nita dan Nella, teman segeng kami lainnya. Alhasil, suasana kos selalu ricuh dan ramai. Hiburan kami di kos adalah karaoke sambil cosplay jadi sosok penyanyi yang lagunya sedang kami nyanyikan.
Soal kerja kelompok, mbak Septy jagonya presentasi. Dia yang paling ceriwis di antara kami semua. Kalau ada yang bertanya ke kelompok kami, dia bakal jadi pionnya. Entah nyambung atau tidak nyambung jawabannya, dia selalu bisa membuat lawan bicara bingung akan menyanggah apa lagi.
Aku mulai jarang main ke kos mbak Septy sejak aku sibuk jadi Ketua Umum UKM Kine Klub UMM. Waktuku selalu habis di UKM dan kuliah. Berangkat pagi pulang larut malam untuk puluhan program kerja UKM. Sampai-sampai mbak Septy memanggilku ‘korban Kine’. Namun walau jarang ke kosnya lagi, hubungan kami masih terjalin baik.
Di antara teman segeng, mbak Septy yang menurutku paling ulet dan was-wus. Sambil kuliah, dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri dengan bekerja sebagai MC. Lulusnya juga paling cepat, 3,5 tahun. Dia juga yang nikahnya paling cepat. Juga yang duluan punya anak. Sejak menikah, dia yang asli Blitar pindah ke Karawang karena suaminya kerja di sana.
Sejak lulus, kami hanya menjalin komunikasi jarak jauh via sosial media. Namun hebatnya, dia selalu bisa jadi teman yang supportive. Ketika dia tahu aku kesulitan, dia tak segan membantu tanpa pamrih. Mbak Septy adalah definisi teman suka duka.
Baru-baru ini, kami mendapat undangan pernikahan dari Nella di Pandaan. Mbak Septy yang sedang pulang kampung memastikan diri untuk datang. Awalnya kami janjian bertemu di venue, tapi ternyata mobil dia bermasalah dan nebeng mobilku. Aku yakin ini cara Allah agar kami bisa ngobrol banyak.
Di perjalanan, anakku, Mada, dipangku mbak Septy di kursi tengah. Aku duduk di depan. Ajaibnya, Mada tidak rewel bahkan sampai ketiduran di pangkuan mbak Septy. Padahal mereka baru pertama kali bertemu.

Kamipun ngobrol ngalor-ngidul. Sedikit nostalgia, banyak ghibah. Diapun cerita soal kesibukannya saat ini sebagai YouTuber. Channel YouTubenya, Septy Alviaa, hampir menyentuh angka 100 ribu subsciber. “Wah bentar lagi dapet silver play button ini,” celetuku. “Aamiin,” jawabnya.
Akupun bertanya pendapatnya soal berapa lama YouTube dapat bertahan. Diapun optimistis umur YouTube masih sangat lama dengan berbagai penjelasannya yang masuk akal.
Tak lupa, dia berbagi ilmu bagaimana bisa bertahan menjadi YouTuber. “Tentukan tema dan konsisten, karena kita bukan artis yang gampang jadi viral,” pesannya.
Dia juga tak pelit berbagi ilmu bagaimana sistem endorse, harga endorse, bahkan penghasilan sebagai YouTuber. “Alhamdulillah sekarang sudah dua digit dari AdSense saja. Belum endorse,” sebutnya blak-blakan.
Pertemuan dengannya semakin memantapkan hatiku untuk membuka channel YouTube sendiri. Terima kasih mbak Septy atas inspirasinya. Semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan. Salam hangat dan semoga sehat selalu 🙂
*Penulis merupakan Redaktur Pelaksana Tugu Malang ID

