Tugumalang.id – Akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (FH Unisma) turut angkat bicara atas pro kontra penyusunan RUU KUHAP yang saat ini sudah masuk Prolegnas 2025. Pembahasan dilakukan melalui Seminar Nasional yang digelar di Hall KH Abdurrahman Wahid Unisma pada Kamis (13/2/2025).’
Dalam Seminar Nasional bertajuk ‘Dilema Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa: Urgensi Revisi RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan dalam Bingkai Sistem Peradilan Pidana’ itu turut menghadirkan sejumlah akademisi hukum hingga advokat.
Mulai Akademisi senior sekaligus guru besar di UB Prof Dr I Nyoman Nurjaya SH MS, Advokat yang menjabat di DPN Peradi Dr H Shalih Mangara Sitompul SH MH, Rektor Unisma Prof Drs H Junaidi MPd PhD dan juga Dekan FH Unisma Dr Arfan Kaimudin SH MH.
Baca Juga: Lepas Calon Wisudawan Periode 74, Mayoritas Wisudawan FH Unisma Sudah Terserap Dunia Kerja
Dekan FH Unisma Arfan Kaimudin menuturkan jika seminar nasional ini digelar sebagai sikap akademisi untuk menjernihkan kekeruhan masalah di tengah masyarakat. Tentu, dalam semnas ini pihaknya menyodorkan solusi terbaik.
Perancangan RUU ini menurut Arfan harus dikaji dari banyak sisi mengingat ada banyak tumpang timdih kewenangan antara polisi dan jaksa jika dipaksakan untuk disahkan. Ia merasa tumpang tindih kewenangan ini tidak baik untuk sistem.
”Saya rasa itu tidak baik dalam sistem yang kami rasa sudah ideal. Ketika kondisi itu terjadi, lagi-lagi yang dirugikan kan masyarakat karena tidak ada kepastian hukum,” ungkap Arfan.
Arfan menambahkan jika memang rancangan ini ditujukan sebagai respon trust issues warga ke polisi, namun solusinya tidak serta-merta menarik kewenangan. ”Untuk evaluasinya kan sudah ada sistemnya, jadi tidak serta merta kewenangan itu kemudian ditarik,” tegasnya.
![FH Unisma](https://tugumalang.id/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-14-at-15.15.19.jpeg)
Baca Juga: Usung Semangat Kolaborasi, FH Unisma Bersama DPC PERADI Malang Gelar Pendidikan Khusus Profesi Advokat Angkatan ke-11
Terlepas dari itu, Semnas ini menjadi hal penting bagi FH Unisma dalam merespon suatu kejadian sosial di sekitar. Ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa terhadap realitas hukum yang terjadi.
”Fenomena seperti ini harus diketahui dan juga disikapi untuk meningkatkan kesadaran mssyarakat terhadap produk hukum. Harapan kami lembaga berwenang dapst menerima masukan akademis sebagai bahan pertimbangan sebelum RUU ini benar-benar disahkan,” harapnya.
Sementara, Guru Besar FH UB I Nyoman Nurjana menyoroti keganjilan penyusunan RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan secara bersamaan. Pasalnya, jika kedua rancangan tersebut dibahas bersamaan, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih kewenangan dan konflik norma dalam sistem peradilan pidana.
Menurut Nyoman, RUU KUHAP merupakan lex generalis dari sistem penegakan hukum pidana di Indonesia. Sudah seharusnya pembahasan KUHAP harus dituntaskan terlebih dulu sebelum RUU Kejaksaan.
Rancangan KUHAP yang sedang dibahas itu kat Nyoman merupakan lex generalis dari sistem penegakan hukum kita, sistem peradilan pidana terpadu. Harusnya, KUHAP harus diselesaikan terlebih dulu sebagai payung hukum utama.
“Penegak hukum di pra-penyidikan polisi, lalu penuntutan jaksa sampai pemerintahan sedang mengalir itu juga punya UU sendiri yang mengatur dan itu yang disebut lex spesialisnya. Oleh karena itu, KUHAP-nya harus selesai dulu,” jelasnya.
Prof. Nyoman menekankan bahwa pembentukan undang-undang harus mengacu pada prinsip-prinsip yang ada dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ada dua asas utama yang harus diperhatikan, yaitu asas pembentukan peraturan yang benar dan asas muatan materi.
“Membentuk satu UU itu ada rujukannya. Yakni UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ada dua asas penting yang harus dirujuk. Yang pertama asas pembentukan peraturan perundang-undangnya, lembaga yang membentuknya ini harus benar,” jelasnya.
Baca Juga: Lepas Calon Wisudawan Periode 74, Mayoritas Wisudawan FH Unisma Sudah Terserap Dunia Kerja
Selain karena alasan mekanisme, Prof Nyoman juga mengingatkan bahwa pembahasan RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan secara bersamaan berpotensi menimbulkan overlapping kewenangan dan konflik norma dalam sistem peradilan pidana.
![Dekan FH Unisma](https://tugumalang.id/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-14-at-15.15.20.jpeg)
“Jika kita baca normanya memang saya melihat ada nuansa-nuansa intervensi, overlapping, dan ini yang harus dihindari. Kita berbicara mengenai hukum sebagai satu sistem dan sebagai sistem, norma yang harus dihindari adalah inkonsistensi, konflik norma, overlapping,” kata dia.
Lebih lanjut, selain itu seluruh pihak khususnya akademisi juga perlu membahas lebih dalam pasal-pasal di RUU KUHAP secara komprehensif. Tak hanya soal pengaturan kewenangan polisi dan jaksa saja yang bermasalah, tapi juga ada pasal lain yang belum dikritisi.
Ia menegaskan kepada para akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat bahwa masih ada waktu untuk memberikan masukan sebelum RUU KUHAP disahkan. ”Ini semua demi kebaikan bersama, agar produk hukum yang dihasilkan benar-benar memperkuat sistem hukum di Indonesia,” ajaknya.
Kritisi terkait RUU KUHAP juga datang dari Wakil Ketum DPN Peradi Shalih Mangara Sitompul yang berpendapat jika RUU itu disahkan tanpa ada kajian akademik berpotensi merugikan pula bagi aktivitas para advokat.
Ini mengingat perubahan RUU KUHAP ke depan juga akan berdampak pada UU lain seperti UU Advokat. Artinya, pemerintah atau DPR RI juga wajib melakukan sinkronisasi dengan UU yang lain.
Selain ketidaksingkronan, Shalih juga menyoroti potensi tumpang tindih kewenangan yang dapat menimbulkan benturan di lapangan. Dampaknya, advokat yang berperan aktif dalam sistem peradilan pidana juga akan terdampak.
Oleh karena itu, ia menekankan bahwa pendapat masyarakat, terutama akademisi dan praktisi hukum, harus didengar dalam pembahasan RUU ini. “Sinkronisasi dan penyesuaian RUU KUHAP ini harus segera dilakukan, termasuk menyerap pendapat masyarakat, terutama dari perguruan tinggi,” ujarnya.
![Seminar RUU KUHAP](https://tugumalang.id/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-14-at-15.15.19-1.jpeg)
Shalih mengingatkan bahwa RUU KUHAP harus tetap memperhatikan prinsip hak asasi manusia (HAM). Jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka tanpa kepastian hukum yang jelas, maka akan ada potensi pelanggaran HAM.
“Kalau orang yang ditersangkakan tidak ada kepastian hukum, kasihan orang itu. Padahal orang itu belum tentu bersalah. Jangan sampai ada manusia yang terzalimi akibat produk hukum yang keliru,” tegasnya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter : M Ulul Azmy
redaktur: jatmiko