Jakarta, Tugumalang.id – Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) tidak optimal karena adanya disharmoni hukum yang mengatur penyidikan kasus tersebut. Efektivitas penanganan kasus TPPU sangat bergantung pada moralitas, selain profesionalitas dan integritas penyidik.
Komjen Pol Arief Sulistyanto menegaskan hal tersebut selaku mahasiswa program doktoral saat mempertahankan disertasinya dalam sidang akademik terbuka, Kamis (1/9/2022). Sidang disertasi yang dihadiri lebih dari 200 tamu undangan itu digelar di Ruang D501 Gedung D Kampus Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang, Banten,
Arief yang sejak 18 Februari menjabat sebagai Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri mengajukan disertasi berjudul Disharmoni Hukum dalam Regulasi Proses Penyidikan TPPU di Indonesia. Promotornya ialah Prof Dr Indriyanto Seno Adji, SH, MH dan kopromotor Assoc Prof Dr Henry S Budy, SH LLM.
Dalam menyusun disertasinya, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) itu menggunakan Teori Tujuan Hukum sebagai parameter efektivitas penegakan hukum dengan metode economic analysis of law (EAL).
Tumpang Tindih Kewenangan
Arief memaparkan Undang-Undang No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU memberikan kewenangan penyidikan kasus TPPU kepada sejumlah lembaga. Di luar Polri dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), kewenangan menyidik juga ada pada Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Keuangan (Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai).
Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.15/PUU-XIX/2021 juga memberikan kewenangan penyidikan TPPU kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Banyaknya instansi yang berwenang dalam penyidikan TPPU itu berkaitan erat dengan posisi TPPU sebagai tindak kejahatan yang tidak berdiri sendiri. TPPU merupakan kelanjutan dari tindak pidana asal (core crime). Misalnya: kejahatan korupsi, narkotika-psikotropika, penyelundupan, finansial, bea-cukai, terorisme, penculikan, perdagangan gelap, penipuan-penggelapan, perjudian, prostitusi, lingkungan hidup, kehutanan, dan kelautan-perikanan.
Kelemahan dan Ketidakpastian Hukum
“Secara yuridis normatif, pengaturan mengenai tugas dan wewenang penyidik tindak pidana asal dalam hubungannya dengan PPATK dan penyidik Polri mengandung kelemahan dan ketidakpastian hukum,” kata Arief yang berpengalaman menangani 19 “kasus kakap” TPPU sepanjang kariernya sebagai polisi setelah lulus Akademi Angkatan Bersenjata Matra Kepolisian (kini Akpol) pada 1987.
Mantan Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia itu mencatat empat kelemahan itu. Pertama, tidak jelasnya pengaturan koordinasi antarinstitusi penyidik dan antarpenyidik internal Polri.
Kedua, tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai pola dan hubungan tata kerja penyidik Polri dengan penyidik tindak pidana asal.
Ketiga, tidak adanya kewajiban bagi penyidik tindak pidana asal untuk menyidik TPPU.
Keempat, tidak adanya pedoman pembinaan dan pengembangan profesionalitas, integritas, dan moralitas penyidik.
Ego Sektoral, Minus Sinergi-Koordinasi
Berdasarkan analisis terhadap penyidikan TPPU kasus Heru Sulastyono, Bank Century, dan Labora Sitorus, Arief juga menemukan sejumlah kendala yang mengadang para penyidik Polri. Kendala itu mencakup banyaknya alat bukti yang harus dianalisis, luasnya wilayah penyidikan, dan resistensi lembaga negara yang terlibat.
Saksi dan dan tersangka yang masuk daftar pencarian orang atau berstatus DPO juga menjadi kendala tersendiri.
Belum lagi adanya berbagai upaya tersangka dan pihak-pihak tertentu untuk menggagalkan penyidikan. Misalnya, upaya suap, gratifikasi, dan pengerahan massa.
Selain itu, tambah Arief, ada perbedaan pendapat dengan institusi lain penegak hukum.
Mengenai koordinasi antarpenyidik di internal Polri, mantan Kapolda Kalimantan Barat itu menemukan tiga aspek yang perlu pembenahan. Tiga aspek itu ialah tingginya ego sektoral, rivalitas antarpersonel, dan pola komunikasi antarpersonel.
Menurut Arief, untuk mengatasi berbagai hambatan teknis dan nonteknis tersebut, profesionalitas dan integritas penyidik tidaklah cukup. Lebih dari itu, penanganan kasus TPPU memerlukan penyidik yang punya moralitas tinggi.
“Tanpa profesionalitas, integritas, dan moralitas yang tinggi dari penyidik, hukum yang baik hanya akan menjadi monster yang menindas rakyat. Sebaliknya, hukum yang masih kurang sempurna (sekalipun), dapat ditutupi oleh penyidik yang memiliki profesionalitas, integritas, dan moralitas yang tinggi,” kata mantan Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri (Kalemdiklatpol) itu.
Lulus Summa Cumlaude
Sidang akademik terbuka untuk menguji disertasi Arief Sulistyanto berlangsung lancar. Pada mulanya suasana tampak tegang namun kemudian relatif cair. Arief lancar menjawab setiap pertanyaan tujuh penguji yang secara bergilir mendapatkan kesempatan dari Ketua Sidang Ketua Sidang Akademik Terbuka yang juga Rektor UPH Dr (Hon) Jonathan Limbong Parapak, M Eng Sc.
Usai Arief mempertahankan disertasinya, Ketua Sidang mengumumkan hasil penilaian delapan penguji.
“Tim penguji memutuskan untuk mengangkat saudara Arief Sulistyanto menjadi doktor ilmu hukum dengan yudisium summa cumlaude. Ini pertama kali saya memimpin sidang dengan angka (nilai) 4 sempurna,” kata Jonathan yang juga mantan Sekjen Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (1991-1998).
Selanjutnya, Ketua Sidang memberi kuasa kepada promotor Indriyanto Seno Adji untuk melantik Arief sebagai Doktor ke-124 Ilmu Hukum UPH.
“Saya menyatakan Saudara Arief Sulistyanto lahir pada 24 Maret 1965 di Nganjuk (Jawa Timur) menjadi doktor dalam bidang ilmu hukum sehingga Saudara memperoleh hak dan kehormatan yang dicakup oleh gelar itu sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku sebagai bukti pengangkatan Saudara,” kata Indriyanto, yang kemudian menyerahkan piagam pengangkatan yang bertandatangan Dekan Fakultas Hukum UPH.
Ucapan Selamat Wakapolri dan Kolega
Sidang akademik terbuka tersebut dihadiri para kolega Arief, termasuk sejumlah petinggi Polri, antara lain Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono dan Kepala Lemdiklat Polri Komjen Rycko Amelza Dahniel.
Tampak hadir juga sejumlah perwira tinggi lainnya, seperti Koordinator Staf Ahli Kapolri Irjen Pol Eko Indra Heri, Kakorbinmas Baharkam Polri Irjen Pol Suwondo Nainggolan, Staf Khusus Menteri Agraria dan Tata Ruang Irjen Pol Hary Sudwijanto, dan Dirbinpotmas Korbinmas Baharkam Polri Brigjen Pol Edy Murbowo.
Dari kalangan korporasi, hadir antara lain CEO raksasa kosmetik PT Paragon Technology and Innovation Salman Subakat dan Direktur Utama PT Jasa Raharja Rivan Achmad Purwantono.
Seusai sidang, Arief berdampingan dengan Niken Manohara Arief dan putra kedua mereka Bhawika Tanggwa Prabuttama, menerima ucapan selamat dari para undangan.
Di luar Gedung D, berjejer puluhan karangan bunga ucapan selamat di sisi kanan-kiri jalan menuju tempat sidang akademik terbuka itu. Jejeran karangan bunga juga terpajang di area parkir sekitar Gedung D UPH.