TuguMalang.id – Ombudsman Republik Indonesia menemukan keganjilan pada keterangan polisi dan rumah sakit soal kondisi spesifik para korban meninggal dan luka-luka akibat insiden penembakan gas air mata pada Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Tim Hukum Aremania telah menegaskan bahwa mayoritas korban meninggal dunia punya kesamaan ciri. Selain mengalami luka patah tulang dan kain-lain, mulai bagian dada hingga kepala para korban membiru kehitaman. Bahkan mulutnya membusa.
Untuk korban luka-luka, rata-rata mengalami mata merah dan bengkak akibat iritasi, sesak nafas, patah tulang hingga iritasi kulit seperti terbakar. Data ini didapat dari aduan keluarga korban di Posko Tim Gabungan Aremania (TGA) genap satu bulan pasca kejadian.
Ditambah, keluarga korban juga tidak mendapat informasi yang gamblang dari pihak rumah sakit. Padahal sesuai UU Kesehatan dan UI Kedokteran, setiap tindakan medis yang dilakukan harus atas persetujuan dan sepengetahuan keluarga korban.

Terbaru, bahkan korban ke-135 Tragedi Kanjuruhan Farza Dwi Kurniawan (20) yang dirawat di RSSA Malang justru terkesan dikaburkan karena divonis terpapar COVID-19. Fakta-fakta ini belakangan diketahui justru tak dianggap bahkan terkesan ditutup-tutupi.
Kepala Ombudsman RI Mokhammad Najih juga mengetahui adanya laporan perbedaan kondisi korban pasca kejadian. Sementara dari keterangan kepolisian yang dipublikasikan selama ini justru bertolak belakang.
”Yang jelas kami tahu perbedaan orang meninggal karena oksigen atau gas air mata. Tapi kami masih belum bisa menyimpulkan, keterangan dari para saksi masih kita kumpulkan,” kata Najih dihubungi tugumalang.id, Selasa (1/11/2022).
Najih juga telah menerima laporan dari korban ke-135 yang dinyatakan COVID-19 oleh RSSA Malang. Menurut dia, itu lucu. Terlepas memang potensinya ada. Padahal menurut keterangan keluarga korban, kondisinya saat digotong mengalami pembiruan pada bagian dada hingga wajah.
”Dia kan juga nonton di stadion. Kan lucu, dirawat medis karena Tragedi, kok malah kena COVID-19 kan gimana ya. Itu kalau keluarga dapat fotonya malah bagus,” tuturnya.
Perbedaan-perbedaan keterangan informasi ini seharusnya segera diselesaikan. Bukan malah disepelekan. Dalam hal ini, para keluarga korban juga diminta untuk solid. Tim LBH, pendampingan juga harus bergerak mengingat adanya dugaan intimidasi polisi kepada keluarga korban.
”Jadi meskipun sudah diberi santunan, ya secara konteks penegakan hukum harus berlanjut. Caranya ya bersedia untuk diotopsi. Jadi memang perlu saling menguatkan, antara Aremania hingga awak media kepada keluarga korban,” harapnya.
”Harus berani dan jangan sampai malah tidak mendukung upaya pengusutan tuntas ini. Ini ada 135 orang meninggal di stadion ininsudah luar biasa parah lho ini,” tegasnya.
Pada prinsipnya, Ombudsman berharap kepolisian bersikap profesional dalam penegakan hukum atas tragedi memilukan ini. Menurut dia, kaburnya informasi yang beredar saat ini merupakan cermin dari kepanikan institusi.
Di saat-saat seperti ini, jelas Najih, seharusnya polisi tidak perlu membuat opini-opini tak perlu yang justru dapat membiaskan informasi. Karena ini menurut Najih juga berhubungan dengan citra polisi yang sedang memulihkan kepercayaan publik usai kasus Sambo.
”Tuntaskan dulu pemeriksaan baru informasi yang sudah utuh itu disampaikan. Jangan justru terkesan membuat masyarakat jadi bingung dengan opini-opini yang tak lengkap,” tegasnya.
”Jangan malah karena ini malah memperburuk citra polisi sendiri. Karena kalau tetap seperti ini kan yang memperburuk citra ya mereka sendiri,” imbuhnya.(*)
Reporter: Ulul Azmy