Tugumalang.id – Burasa atau lontong pipih menjadi salah satu makanan khas Sulawesi Selatan yang tak banyak mendapat perhatian. Makanan khas masyarakat ini terbuat dari beras ketan diberikan santan lalu dibungkus daun pisang hingga pipih dengan cara diikat.
Kemudian dikukus selama kurang lebih dua jam. Cara makannya disajikan bersama dengan makanan berkuah seperti opor ayam, serunding kelapa, dan makanan berkuah lainnya.
Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, Burasa memiliki keunikannya tersendiri. Dulunya, makanan ini dibawa oleh pelaut dan perantau sebagai makanan cadangan. Hal ini karena Burasa tidak mudah basi, kalaupun basi tidak langsung keseluruhab melainkan hanya bagian pinggir. Dengan kata lain, ia memiliki ketahanan lebih baik dibanding ketupat.
Baca Juga: 5 kuliner Minuman Es di Kota Malang
Burasa dibuat dari manisnya ketan yang dicampur-padukan dengan gurihnya kelapa parut, dan bumbu khas seperti daun jeruk, serai, daun salam dst. Perbaduan ini yang membuat aroma Burasa sangat khas.
Proses pembuatannya cukup unik. Awalnya, warga membuat adonan beras ketan, kemudian dibungkus dengan daun pisang, diikat dengan tali rafia hingga tampak pipih. Selanjutnya dikukus hingga matang. Proses pengukusannya bisa sampai dua jam biar tidak mudah basi.
Hasilnya adalah sepiring Burasa yang manis, harum dan beraroma gurih. Keunikan Burasa terletak pada nikmatnya saat dipadukan dengan makanan berkuah. Anda bisa sambil mengunyah burasa sembari menyeruut kuahnya. Ag, rasanya sungguh maknyus.
Baca Juga: 15 Kuliner Malang dari yang Legendaris Sampai Populer, Bisa Dikunjungi Saat Liburan Tahun Baru
Bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan warga Bugis, Burasa lebih dari sekedar hidangan lezat, ia juga menjadi pengikat sosial yang mendalam di antara mereka. Hal ini karena sat pembuatan makanan khas itu biasanya dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri dan membutuhkan banyak orang. Di situlah para pembuat Burasa ini mengeratkan ikatan sosialnya sambil membuat Burasa.
Maka lahirlah nilai-nilai sosial seperti Sipakatau (menghargai sesama), Sipakalebbi (saling menghormati), dan Sipakainge (mengingat). Dalam kehidupan keluarga dan sosial, Burasa merupakan simbol kegembiraan dan keharmonisan.
Bagi masyarakat Bugis dan Makassar, pembuatan Burasa bukan sekedar kegiatan melainkan juga tradisi yang telah lama dilakukan. Apalagi ketika keluarga ingin merantau atau bepergian jauh, Burasa menjadi teman setia menemani perjalanan mereka. Dengan nama lain Bokong na Passompe (bekal buat perantau). Konon Burasa telah menemani para pengembara Bugis dan Makassar sejak abad ke-8.
Selain itu, ada hari istimewa di Sulawesi Selatan yang disebut “Ma Burasa”. Yaitu hari-hari menjelang Idul Fitri yang ditandai dengan tradisi memasak Burasa bersama sehingga menciptakan keakraban antar tetangga dan keluarga.
Suasana gembira muncul saat panci-panci besar dinyalakan api dan aroma Burasa meresap ke udara, menggugah seluruh kota dengan kehangatan persaudaraan.
Dengan demikian, Burasa bukan sekedar sajian melainkan sejarah panjang, tradisi berharga dan simbol persatuan yang terus mengakar kuat di hati masyarakat Sulawesi Selatan.
Baca Juga Berita tugumalang.id di Google News
Penulis: Muhammad Zhafran Iffat Taqy Arif
Editor: Herlianto. A