MALANG, Tugumalang.id -Wali Kota Malang Sutiaji dalam lima tahun kepemimpinan-nya tidak hanya membangun infrastruktur. Sektor pendidikan juga banyak di sentuh. Salah satunya yang berhasil soal angka putus sekolah. Berikut reportasenya.
Pemerintah Kota Malang selama ini berupaya penuh untuk mengentaskan masalah pendidikan, terutama mengakhiri mata rantai anak-anak yang terpaksa putus sekolah.
Hasilnya, berdasarkan data BPS Kota Malang pada tahun 2022, persentase angka putus sekolah pada kelompok usia 7-15 tahun di Kota Malang adalah 0 persen, alias tak ada anak di usia itu yang putus sekolah. Pencapaian itu diraih dalam tiga tahun terakhir.
Sementara persentase angka putus sekolah pada kelompok anak usia 16-18 tahun pada 2022 mencapai 17,77 persen atau atau sekitar 7 ribu jiwa. Kemudian persentase angka putus sekolah pada kelompok usia 19-24 tahun yang sama mencapai 41,72 persen atau 33 ribu jiwa. Angka-angka itu tentu telah mengalami perbaikan yang signifikan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Malang, Suwarjana, mengatakan bahwa di tahun 2022 Pemkot Malang berhasil meniadakan anak putus sekolah khususnya pada usia 7-15 tahun.
“Anak usia 7-15 tahun sudah 0, karena kami selalu kampanyekan pada masyarakat melalui lurah, penggerak PKK, RT/RW, kami jemput bola (mendata),” ujarnya.
Menurut Suwarjana, komitmen Kota Malang jelas untuk mendukung pemerataan pendidikan bagi warganya. “Pada prinsipnya, anak warga Kota Malang tidak boleh putus sekolah dan tidak boleh tidak sekolah,” katanya.
Salah satu alasan, kata dia, adanya anak yang tidak bersekolah atau putus sekolah di Kota Malang adalah faktor sosial ekonomi. “Karena biasanya tidak ada biaya, biaya itu bisa seragam, transportasi karena jarak sekolah yang terlalu jauh, hingga uang saku,” jelas dia.
Karena itu, pihaknya memberikan solusi. Salah satunya, pemberian beasiswa dalam bentuk dana pendidikan yang diinisiasi oleh Wali Kota Malang, Sutiaji. Hal ini sebagai wujud atensi orang nomor satu di Kota Malang itu terhadap anak-anak kurang mampu.
*Bentuk Tim pengaduan dan Galakkan Pendidikan Kejar Paket*
Disdikbud Kota Malang sendiri menyediakan tim pengaduan untuk memfasilitasi layanan terkait kendala biaya pendidikan kepada mereka yang benar-benar ingin bersekolah.
“Seandainya mereka tidak bisa masuk (sekolah) negeri jalur beasiswa, bisa dikomunikasikan kepada kami mulai jenjang SD sampai dengan SMA. Jangan sampai dia putus sekolah hanya karena tidak kuat membayar biaya. Bawa ke kami (Disdik), insyaallah ada solusinya,” sambung Suwarjana.

Tidak hanya berhenti di usia 7-15 tahun, pihaknya juga konsen memutus mata rantai anak yang putus sekolah di jenjang SMA sederajat hingga perguruan tinggi. “Tetap, walaupun itu ranahnya provinsi, tapi kami sebagai warga Kota Malang dan OPD yang menaungi warga Kota Malang berkewajiban untuk selalu mengampanyekan dan meminimalisir anak putus sekolah,” terang dia.
Selain beasiswa, Pemkot Malang juga mencanangkan program pendidikan kesetaraan untuk menekan angka tersebut. Pendidikan kesetaraan itu kerap disebut dengan pendidikan kejar paket yang dapat dimanfaatkan siswa putus sekolah di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kota Malang.
“Kami ada PKBM yang tersebar di seluruh Kota Malang, sekitar 25-an. Ada SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Kalisari, itu PKBM kami yang negeri dan SKB itu ada cabangnya di setiap kecamatan. Itu salah satu upaya kami mengurangi anak putus sekolah tingkat SMA/SMK,” tukas Suwarjana.
Selain program beasiswa dan pendidikan kesetaraan, kemudahan akses ke sekolah juga diupayakan. Pemkot Malang telah menyediakan 6 bus dan 7 minibus yang bisa diandalkan untuk antar jemput pelajar sekolah.
BACA JUGA: DPRD Kota Malang Desak Pemkot Petakan Penyebab Tingginya Angka Putus Sekolah
Armada bus itu juga dikenal dengan sebutan ‘Bus Halokes Pemkot Malang’, tidak hanya siap antar jemput, armada yang nyaman ini juga bisa dimanfaatkan gratis kapan pun oleh pelajar.
*Pemberian Beasiswa Pendidikan*
Kepala Bagian Kesra dan Kemasyarakatan Setda Kota Malang, Drs R Achmad Mabrur menambahkan, untuk beasiswa, tahun ini ada sekitar 320 penerima beasiswa, terbagi dari 200 mahasiswa S1 dan 120 pelajar SMA/SMK dengan jumlah dana beasiswa yang diberikan Rp5,4 miliar.
“Fasilitas beasiswa itu sudah mulai 2021, ditujukan untuk anak yang kuliah dan SMA/sederajat, didomain kami ini sebagai upaya untuk memfasiltasi warga yang kurang mampu berdasarkan biaya pendidikan,” ungkapnya.
Pada 2021, tercatat ada 130 penerima manfaat dengan jumlah beasiswa sebesar Rp1,8 miliar. Kemudian di tahun 2022 naik Rp 2,9 miliar dengan peruntukan 218 orang pelajar maupun mahasiswa.
Mabrur menguraikan, besaran beasiswa bagi pelajar adalah Rp 440 ribu per bulan, sementara untuk mahasiswa sebesar Rp2 juta per bulan.
“Selama memenuhi persyaratan, mulai dari prestasi, status sebagai warga Kota Malang dan benar-benar tidak mampu bisa kami ajukan, tapi tetap terbatasi oleh kuota karena anggarannya melalui APBD,” imbuhnya.
Perhatian ini, lanjut Mabrur, bagian dari upaya pengentasan kemiskinan yang digagas oleh Wali Kota Malang Sutiaji. Dengan banyaknya anak yang terdidik melalui pendidikan berkualitas, diharapkan dapat berdampak pada turunnya angka kemiskinan
“Anak-anak itu (penerima manfaat) luar biasa. Prestasi mereka selalu ada peningkatan yang signifikan, ada yang IPK-nya 3,7 hingga 3,8. Kami terus memotivasi mereka agar tidak putus (sekolah),” ungkapnya.
*Putus Sekolah atau Putus Belajar?*
Menanggapi hal itu, pakar sekaligus Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr Supriyono MPd menuturkan, kata ‘putus sekolah’ ini akan lebih tepat bila digantikan dengan ‘putus belajar’ sebab maknanya akan berbeda.
“Saya rasa yang tepat itu putus belajar, karena bagaimanapun putus sekolah, bisa jadi anak masih punya semangat belajar dan belajar di lembaga pendidikan non formal yang ada di Kota Malang,” ujarnya.
Selain itu, Supriyono menjelaskan bahwa salah satu faktor anak putus sekolah bisa dimulai dari keterbatasan ekonomi atau sosial ekonomi. Terutama di usia pekerja yang membuat mereka memilih langsung bekerja, meskipun tidak memiliki keterampilan.
Kemudian, didorong oleh faktor orang tua dan lingkungan yang tidak mendukung anaknya untuk bersekolah. “Kebanyakan dari mereka karena sosial ekonomi. Terutama mereka yang berada di jenjang perguruan tinggi,” terangnya.
Sehingga, ia menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam memecahkan permasalahan ini agar bisa lebih tepat dan akurat. “Saya rasa peran lingkungan sekitar termasuk pemerintah daerah sangat perlu mendorong dan menyemati mereka dalam belajar, hal ini tentu mencerminkan Kota Malang sebagai Kota Pendidikan,” tegasnya.
Dikatakan Supriyono, ada tiga hal penting yang perlu ditekankan dalam konsep pendidikan. Pertama, adalah pemahaman putus sekolah yang harusnya putus belajar. Kedua, hadirnya banyak sekolah komersil, serta ketiga pentingnya kolaborasi dan peran semua elemen untuk bersama-sama meningkatan mutu pendidikan.
“Pemerintah harus menggencarkan peningkatan motivasi sosial, untuk menumbuhkan kesadaran pada pendidikan hingga sektor paling bawah. Sehingga bagaimana keinginan anak-anak untuk tetap belajar dapat terus terfasilitasi,” imbuhnya.
*Dewan Minta Pemkot Malang Lakukan Pengawalan*
Ketua Komisi D DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani mengapresiasi keberhasilan Pemerintah Kota Malang dalam mewujudkan 0 persen angka putus sekolah pada kelompok usia 7-15 tahun di Kota Malang di 2022.
“Tentu saja tahun kemarin angka putus sekolah memang sudah tercapai 0 persen. Artinya intervensi pemerintah daerah berhasil. Tapi ini perlu terus mendapat pendampingan agar lebih baik,” tuturnya.
Amithya juga menilai bahwa program penyaluran beasiswa jenjang SMA dan perguruan tinggi bagi masyarakat Kota Malang telah berjalan dengan baik. Meski diketahui, wewenang Pemerintah Kota Malang terbatas hanya pada jenjang SD hingga SMP.
“Saya pikir mekanisme dalam menjalankan program beasiswa sudah cukup baik,” kata dia.
Hanya saja, kata Amithya, Pemkot Malang juga perlu memberikan pengawalan ketat agar angka putus sekolah di jenjang SMA dan perguruan tinggi di Kota Malang juga bisa menuju 0 persen.
“Di jenjang SMA, tidak bisa bilang itu bukan wewenang pemkot. Ini rangkaian pendidikan yang seharusnya diberikan kepada semua masyarakat Kota Malang. Jadi keberlanjutan pendidikan harus tetap berlanjut,” paparnya.
Menurutnya, Pemkot Malang juga harus menggencarkan pendataan terhadap anak-anak yang putus sekolah di Kota Malang. Kemudian digali alasan anak-anak itu putus sekolah. Dengan demikian, penyaluran program pendidikan semakin tepat sasaran.
*Ekonomi Keluarga Jadi Sebab Mayoritas Anak Putus Sekolah*
Berdasarkan data yang dihimpun, Amithya mengungkapkan bahwa angka putus sekolah pada kelompok usia 16-24 tahun mayoritas karena kendala ekonomi keluarga. Tak hanya itu, ada kemungkinan bahwa beberapa orang menilai keberlanjutan sekolah bukan prioritas.
“Dari intervensi kami tentang program beasiswa, kendala anak putus sekolah ya karena biaya. Tapi tak hanya biaya, mungkin karena ternyata menurut mereka sekolah tidak menjadi prioritas,” bebernya.
“Mungkin yang penting sudah SMP dan bisa kerja ya sudah cukup. Ini lah yang perlu diedukasi. Jadi bisa sangat ironi sekali Kota Malang sebagai kota pendidikan ternyata tidak berhasil menghantarkan warganya untuk melek pendidikan,” lanjutnya.
Solusinya, Amithya mendorong Pemkot Malang juga menggencarkan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya keberlanjutan pendidikan. Sebab menurutnya, kecakapan hingga pendewasaan orang perlu proses yang panjang.
Tanpa keberlanjutan pendidikan, pola pikir akan terbatas. Dengan demikian, tidak bisa hak pendidikan hanya sebatas pada jenjang SMP. Dia berharap generasi Kota Malang mampu menyongsong masa depan yang cerah dengan bekal pendidikan yang mumpuni.
“Komisi D akan terus mengawal agar pendidikan di Kota Malang terus berkelanjutan. Tidak hanya dengan biaya pendidikan, tapi juga edukasi pada orang tua dan lingkungan anak anak dibesarkan. Supaya lingkungan anak anak mendukung akan pentingnya pendidikan berkelanjutan,” tuturnya.
“Harapan kami, Kota Malang sebagai kota pendidikan betul betul atmosfir pendidikannya kental sekali. Tidak hanya mengundang orang lain untuk belajar disini, tapi juga harus bisa menciptakan situasi kondusif untuk anak anak lokal. Karena pendidikan adalah hak, dan negara memelihara anak anak dengan hak pendidikan,” tandasnya.
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
Reporter: M Sholeh dan Feni Yusnia
Editor: Herlianto. A