Oleh: Akhmad Mukhlis*
“Ayah kenapa mesinnya dimatikan, kan antrinya masih jauh?”
Tugumalang.id – Sejuk, segar, semangat, ceria, menyenangkan dan membahagiakan adalah gambaran atmosfer pagi hari yang kita peroleh sejak kecil. Di buku-buku pelajaran, novel, puisi, cerpen, kisah di televisi sampai di film-film, pagi hari hampir selalu digambarkan penuh dengan harapan dan nuansa emosi yang positif.
Bisa jadi sebagian orang menemukan pagi hari sesuai harapannya, namun lainnnya sulit menggapai hal tersebut.
Khusus bagi para orang tua yang masih memiliki anak sekolah dan hidup di perkotaan, pagi hari identik dengan segala kesibukan dan keruwetannya. Saat terbangun, mereka langsung disibukkan dengan aktivitas mempersiapkan pekerjaan dan sekolah anak-anaknya.
Saat semuanya telah siap, di jalanan mereka bertemu dengan kemacetan. Tidak ada seseorang yang suka dengan kemacetan, namun sayangnya itulah yang mereka temui di saat-saat yang sangat melelahkan. Saat pagi hari dan saat dimana energi telah terkuras sore hari.
Biaya Kemacetan
Daniel Kahneman dan beberapa koleganya dalam salah satu penelitiannya tahun 2004 bahkan berani menyatakan bahwa bepergian adalah salah satu hal yang paling tidak menyenangkan.
Dosen psikologi Universitas Princeton tersebut beralasan bahwa bepergian bagi sebagian masyarakat perkotaan Amerika merupakan sebuah pemborosan waktu dan memakan biaya yang cukup besar baik secara finansial dan kesehatan fisik serta psikologis.
Di Indonesia hal ini juga telah menjadi headline beberapa surat kabar nasional. CNN Indonesia misalnya pernah melaporkan tahun 2021 bahwa kerugian akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai 71,4 T.
Sedangkan pada tahun yang sama Kompas juga melaporkan kerugian sekitar 12 T diakibatkan kemacetan di lima kota besar, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Itu hanya terkait kerugian BBM.
Kerugian lain adalah kesejahteraan psikologis, yang berasal dari rasa tidak berdaya yang kita alami dalam lalu lintas, dan ketidakpastiannya. Dalam sebuah analisisnya dalam jurnal Social Science & Medicine tahun 2004, Gilbert C. Gee dan David T.
Takeuchi menyebut bahwa orang yang tinggal di daerah dengan beban kendaraan tinggi adalah mereka yang memiliki status kesehatan terendah dan gejala depresi terbesar. Studi menarik lainnya diterbitkan tahun 2016 di Journal of Public Economics menemukan bahwa untuk menghemat satu menit waktu yang dihabiskan dalam lalu lintas, orang akan menukar lima menit dari aktivitasnya.
Untuk terhindar kemacetan, manusia perkotaan harus rela berangkat lebih bagi untuk tidak terjebak kemacetan, yang itu berarti memangkas waktu untuk menikmati suasana rumah dan mendedikasikannya untuk persiapan bekerjaan.
Sayangnya saat dalam keadaan tertekan, banyak dari kita memilih melampiaskan rasa frustrasi dalam perjalanan. Seringkali kepada orang lain. Orang perkotaan sangat familiar dengan perilaku agresif di perjalanan.
Bahkan beberpa diantaranya terekam video dan menjadi viral. Kabar buruknya adalah perilaku agresif yang diakibatkan stress perjalanan dapat terbawa dalam kehidupan lebih luas.
Dalam sebuah artikel yang diberi judul traffic and crime, Louis-Philippe Beland dan Daniel A.Brent menemukan bahwa kemacetan ekstrem Los Angeles mengakibatkan naiknya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 9%. Definisi kemacetan ekstrem dalam penelitian tersebut adalah jika perjalanan membutuhkan waktu dua kali lipat dari yang seharusnya.
Obrolan, Pelukan dan Pagi yang Berharga
Saya tidak menganggap perkiraan kerugian finansial dan psikologis tersebut sebagai hal yang paling menakutkan dari kemacetan pagi hari. Toh penelitian juga sudah menjelaskan bahwa manusia memiliki strategi untuk meminimalisir kemacetan.
Pekerja di Jabodetabek misalnya, disebut Kristi Poerwandari lewat publikasinya tahun 2020 telah mampu melakukan adaptasi dengan mengantisipasi keberangkatan dan bersiap mengisi waktu selama perjalanan. Jika manusia dewasa disebut mulai mampu beradaptasi, bagaimana dengan anak-anak?
Di tengah kemacetandan keruwetan transportasi, anak-anak seringkali luput dari perhatian kita. Beberapa kebijakan telah dikeluarkan, diantaranya bus sekolah. Namun itu tidak menjangkau semuanya, pun begitu dengan transportasi umum lainnya yang jauh dari harapan.
Pagi hari adalah waktu yang harusnya lebih membahagiakan bagi mereka. Sebelum memasuki ruang kelas, pagi hari bisa jadi adalah waktu paling berharga mereka dengan orang tua. Pekerjaan dan berbagai tuntutannya memaksa banyak manusia dewasa memiliki waktu lain sebaik pagi hari.
Sore dan malam hari? Kita tidak bisa berharap terlalu banyak dengan sisa energi mereka yang bekerja dengan penuh tekanan. Tidak membawa residu emosi negatif pekerjaan saja sudah untung.
Mau ataupun tidak, kita harus mengajak anak-anak untuk juga beradaptasi dengan kondisi macet sembari menjaganya untuk tidak mengembangkan emosi negatif. Banyak hal yang bisa digunakan orang tua untuk membuka obrolan sembari terjebak dalam kemacetan.
Bahwa kemacetan adalah permasalahan komplek adalah kenyataan pada satu sisi, namun pada sisi lain kita harus mengurainya menjadi banyak obrolan ringan dan bermutu dengan anak-anak. Kita bisa memulainya dengan nilai-nilai kepatuhan dan sikap egois. Sikap mementingkan diri sendiri seringkali mengantarkan seseorang untuk menabrak aturan dan memperparah kemacetan.
Kita juga bisa menitipkan amanat untuk mereka bahwa masa depan harus lebih baik dengan transportasi umum terintegrasi. Saat melihat insiden pertengkaran di jalan raya, juga saat terbaik untuk menjelaskan kepada mereka bahwa emosi negatif tidak menyelesaikan masalah.
Pun begitu saat kita menuju di stasiun pengisian bahan bakar. Pertanyaan di awal tulisan adalah salah satunya. Sekecil apapun usaha kita untuk menghemat energi adalah sikap yang perlu anak lihat dan praktikkan. Ini bukan hanya menghemat pengeluaran saat ini, melainkan terkait dengan tanggung jawab kepada energi dan masa depan.
Semakin aktif mereka bertanya, semakin dekat mereka dengan orang tua. Saya sering melihat perbedaan mencolok antara anak-anak yang diantar dengan ceria dan mereka yang tidak begitu menunukkan keceriaan atau bahkan mereka yang dititipkan menggunakan tranportasi online.
Kedekatan fisik dan sesekali pelukan menandakan itu semua. Pun begitu saat yang digunakan adalah mobil. Meskipun tidak mungkin mendekat dengan orang tua yang sedang mengemudi, namun kebahagiaan mereka terlihat dari seberapa antusias mereka bercerita dan mengobrol.
Jalanan dan keruwetannya harus kita urai, jika tidak bisa saat ini, mungkin anak-anak kita pada generasi mendatang mampu melakukannya. Mari kita buat mereka bahagia menuju sekolah dan belajar untuk memperbaiki masa depan.
*Dosen Psikologi PIAUD UIN Malang dan Anggota Asosiasi PPIAUD Indonesia