Malang, Tugumalang.id – Serial Adolescence belakangan ini ramai diperbincangkan publik, bukan hanya karena alur ceritanya yang menegangkan, tapi juga karena isu psikologis mendalam yang diangkat. Serial ini membedah bagaimana konsep toxic masculinity memengaruhi kehidupan remaja laki-laki sejak usia dini—dari tekanan sosial hingga pembentukan identitas diri.
Serial ini dibuka dengan kisah Jamie, seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun yang dituduh membunuh teman sekolahnya, Katie. Kasus ini mengguncang keluarganya dan menguak konflik internal, luka emosional, serta dinamika relasi yang selama ini terpendam.
Baca juga: Rekomendasi 5 Seri Buku Enid Blyton yang Seru untuk Anak dan Remaja
Meski mengusung cerita kriminal, Adolescence tidak hanya berfokus pada siapa pelakunya, tetapi lebih pada mengapa tindakan tersebut bisa terjadi. Dengan pendekatan sinematografi single shots, penonton diajak memahami kondisi psikologis setiap karakter laki-laki dalam cerita—semuanya hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi menjadi “laki-laki sejati”.
Apa Itu Toxic Masculinity?
Toxic masculinity atau maskulinitas toksik adalah konsep sosial yang menuntut laki-laki untuk selalu kuat, dominan, agresif, heteroseksual, dan tidak menunjukkan emosi. Ekspektasi ini menciptakan tekanan besar yang berdampak pada kesehatan mental dan relasi sosial pria.
Dalam jangka panjang, toxic masculinity tidak hanya menyakiti orang lain—terutama perempuan—tetapi juga merugikan pria itu sendiri. Mereka menjadi takut terlihat lemah, enggan berbagi perasaan, dan cenderung memendam emosi. Hal ini meningkatkan risiko terhadap penyalahgunaan alkohol, narkoba, kekerasan, isolasi sosial, hingga bunuh diri.
Fenomena Red Pill dan Maskulinitas Toksik
Serial ini juga relevan dengan fenomena Red Pill Podcast, yang populer di kalangan pria muda. Istilah “Red Pill” berasal dari film The Matrix, sebagai simbol “melihat kebenaran tersembunyi.” Namun, dalam konteks ini, Red Pill berkembang menjadi gerakan yang menantang narasi sosial arus utama—terutama yang dianggap menguntungkan perempuan.
Baca juga: Tim Penelitian Fakultas Psikologi Universitas Negeri Malang Riset Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Remaja Tunagrahita
Podcast ini kerap membahas isu perceraian, hak asuh anak, dan eksploitasi emosional terhadap pria. Sayangnya, banyak kontennya dinilai memicu kebencian terhadap perempuan (misogini), memperkuat stereotip gender, dan menormalisasi dominasi pria.
Beberapa narasi toksik yang disuarakan dalam gerakan Red Pill antara lain:
-
Menilai nilai seorang pria dari kekuasaan, uang, dan dominasi atas perempuan.
-
Mendorong pria untuk menekan emosi dan menjadikan agresi sebagai simbol kekuatan.
-
Merendahkan perempuan sebagai makhluk manipulatif yang hanya tertarik pada “alpha males.”
Alih-alih mendorong pemulihan dan kesehatan mental pria, Red Pill justru memperkuat luka sosial yang tidak terselesaikan—berbanding terbalik dengan gerakan positive masculinity yang menekankan empati, komunikasi, dan dukungan emosional.
Pentingnya Ruang Aman untuk Remaja Laki-laki
Lewat Adolescence, kita diajak merenung: bagaimana jika remaja laki-laki terus dibesarkan dalam lingkungan yang menolak ekspresi emosional? Ketika kekerasan dan dominasi dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menjadi “laki-laki sejati”, tragedi hanyalah soal waktu.
Sudah saatnya kita menciptakan ruang aman untuk anak laki-laki—ruang yang membolehkan mereka menangis, bercerita, dan merasa cukup hanya dengan menjadi diri sendiri. Sebab, menjadi kuat bukan berarti harus selalu terlihat tegar, dan menjadi laki-laki bukan berarti harus memendam semua luka sendirian.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Keshia Putri Susetyo/Magang
redaktur: jatmiko